Sukses

'Suara Lirih' Anak-Anak Orang Rimba di Pedalaman Jambi

Kondisi kehidupan orang rimba yang kian sulit, membuat mereka lebih rentan terkena penyakit dan gizi buruk, terutama anak-anak. Alih fungsi lahan pun menekan kehidupan mereka. Beginilah getir kehidupan orang rimba tanpa rimba.

Liputan6.com, Jambi - Senja sebentar lagi datang. Di bawah gubuk nonpermanen tanpa dinding itu, Nanam (6) duduk meringkuk di samping adiknya yang masih bayi. Nanam lalu perlahan menghampiri Ngijap (4) yang tengah duduk di gubuk sebelahnya.

Nanam dan Ngijap adalah dua anak perempuan orang rimba di pedalaman Merangin, Jambi. Ia bersama puluhan anak lainnya tinggal di sudung, berupa gubuk yang beratap terpal, tanpa dinding, dan beralas pelepah sawit.

Saban sore, biasanya Nanam bersama anak-anak orang rimba lainnya bermain di kelompok mereka. Namun sore itu, anak-anak lebih banyak di sudung. Sepekan yang lalu mereka baru saja sakit beruntun seperti demam tinggi, batuk, hingga infeksi saluran pernapasan.

Meski mereka kini telah sembuh, tetapi raut wajah mereka masih belum ceria. Rata-rata tak mengenakan baju, mereka pun terlihat kurus dengan perut yang sedikit buncit dan iga yang terlihat gambang. Hanya suara lirih yang keluar dari mereka saat ditanya namanya satu persatu.

"Selengking, Nyalin, Ngijap, Nanam, Tertib," kata mereka yang menyebutkan satu persatu namanya dengan suara lirih kepada Liputan6.com, Jumat, 21 Februari 2020. Sesekali mereka masih terbatuk-batuk.

Nama anak-anak orang rimba memang mempunyai keunikan tersendiri. Nama-nama yang terbilang unik itu diberikan kepada anak-anak dari kearifan lokal. Menurut kepercayaan orang rimba, sebelum memberi nama, mereka terlebih dulu meminta kepada dewa sesuai kepercayaannya.

Kelima anak itu adalah cucunya Ngandun, tetua adat orang rimba setempat. Di kelompok yang dipimpin Ngandun itu, terdapat sekitar sembilan sudung yang didirikan terpisah agak jauh dengan sudung keluarga lainnya.

Di sana, Ngandun beruntung mendirikan sudung di kebun sawit masyarakat di sekitar Desa Sungai Bulian, Kecamatan Tabir Timur, Kabupaten Merangin, Jambi, sehingga mereka tidak terusir. Biasanya mereka selalu terusir jika mendirikannya di kebun milik perusahaan.

Ngandun sendiri memiliki delapan orang anak. Dari delapan anaknya itu, ia memiliki 40 orang cucu. Sementara cucunya yang masih anak-anak ada 30 orang, termasuk tiga cucunya yang masih bayi berusia empat bulan. Kebanyakan, kini cucunya itu berpencar bersama orangtuanya, tinggal di sudung yang berada seberang sungai.

Duduk di bawah sudung, Ngandun mengatakan, seluruh anak-anak rimba dikelompoknya baru saja dilanda sakit beruntun. Juga baru-baru ini, Ngandun masih dirundung duka kesedihan, cucunya yang baru berumur dua minggu telah meninggal dunia.

"Semuo sakit, anak-anak kecik semuo," kata Ngandun yang sesekali menggaruk kakinya itu.

Kesedihan akibat sakit secara beruntun anak-anak orang rimba juga dirasakan Tumenggung Silitai, pimpinan kelompok orang rimba di Simpang Bedaro, Makekal Ulu, Merangin. Sakit beruntun itu menimpa 70 anak-anak orang rimba yang terjadi pada awal bulan ini.

Bahkan, dua cucu perempuan dari Tumenggung Silitai, terpaksa dirujuk ke rumah sakit di Kota Bangko Merangin. Kedua cucunya yang masih berusia di bawah satu tahun itu harus mendapat perawatan intensif dan transfusi darah akibat demam tinggi yang menimpanya.

Saat saya temui, Silitai tengah kebingungan. Dia diminta rumah sakit mengganti darah golongan A yang sebelumnya ditransfusikan ke cucu perempuannya yang bernama Bapunjung dan Panangkap.

"Waktu iko cari darah dak ado, akhirnyo pakai darah rumah sakit, tapi sayo diminta ganti. Sekarang iko bepak (saya) lagi cari darah," kata Tumenggung Silitai.

2 dari 4 halaman

Hidup Kian Sulit, Anak-Anak Rentan Sakit

Kondisi kehidupan orang rimba yang kian sulit, membuat mereka lebih rentan terkena penyakit, terutama untuk kelompok rentan seperti anak-anak.

Jangankan imunisasi atau berobat jika anak sakit, Ngandun bilang untuk makan saja kini mereka sulit. Biasanya mereka mendapatkan uang dari hasil berburu yang mereka jual ke masyarakat desa, yang kemudian uang itu mereka belikan beras dan bahan pokok. Jika tidak ada uang untuk membeli beras mereka makan umbi-umbian.

"Berburu masih terus, cuma dapatnyo jarang. Masonyo kini buru lah susah, rimbo habis, buruan jugo habis, nak jugo makan susah," kata Ngandun.

Selain itu, orang rimba juga punya tradisi besale atau upacara untuk menghormati nenek moyang supaya mereka mendapatkan keberkahan dan dijauhkan dari malapetaka. Namun, belakang ini ritual besale sudah jarang mereka lakukan karena hutan yang semakin hilang.

Pun pada saat anak-anak mereka sakit, orang rimba punya penangkal berupa ramuan obat tradisional dari hutan. Penangkalnya itu biasa disebut daun Kuro. Namun kini, daun tersebut sudah susah dicari dan tak pernah lagi digunakan untuk mengobati saat anak-anak mereka sakit.

"Dulu yang namonyo di rimbo segalo ado, kalau anak sakit diobati pakai tumbuhan obat Kuro, sekarang iko lah dak ado lagi," katanya.

Saat musim penghujan seperti sekarang ini, anak-anak orang rimba memang rawan terserang penyakit. Mereka rawan terkena serangan malaria karena tinggal di sudung, tanpa selimut juga kelambu. Ditambah asupan makanan bergizi yang kurang.

Menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, sebuah lembaga nirlaba yang fokus terhadap isu orang rimba menyebut, keberadaan orang rimba kini semakin terdesak. Penghidupan mereka semakin sulit di tengah masifnya alih fungsi kawasan hutan.

Sumber makanan yang biasanya mudah didapatkan di hutan sekarang telah berkurang akibat alih fungsi hutan yang tak terbendung itu. Akibatnya, orang rimba kesulitan mendapat asupan makanan berupa protein dan karbo hidrat.

"Dengan rendahnya asupan gizi, maka yang duluan melemah terhadap penyakit adalah anak-anak sehingga mereka banyak yang sakit," kata Direktur KKI Warsi, Rudisyaf kepada Liputan6.com.

Orang rimba, kata dia, mempunyai tradisi melangun, sebuah tradisi bepindah-pindah ke tempat yang jauh hinga berbulan-bulan lamanya. Tradisi melangun ini mereka lakukan untuk melupakan kesedihan akibat ditinggal mati sanak saudara mereka.

Saat menjalankan tradisi itu, semua anggota kelompok orang rimba termasuk anak-anak ikut serta. Semakin hilangnya kawasan hutan, membuat tradisi melangun terpaksa mereka lakukan di kawasan perkebunan sawit dan jalan lintas Sumatra.

"Jalur (melangun) mereka sekarang tidak lagi berhutan, saat bergerak melangun mereka tidak bisa mengumpulkan bahan makanan. Jadi pilihannya sekarang mereka membeli, itu pun kalau ada uang," kata Rudi.

Persoalan kesehatan yang berujung terhadap kematian orang rimba, berdasarkan catatan Warsi sudah terjadi sejak tahun 1997 atau sejak masifnya alih fungsi hutan. Terakhir empat tahun silam, 11 orang rimba mati beruntun hanya dalam kurun waktu tiga bulan.

Dari 11 kematian orang rimba secara beruntun tersebut, di antaranya terjadi pada 6 orang anak orang rimba. Kesimpulan Warsi, penyebab kematian yang dialami kelompok ini menunjukkan telah terjadi malnutrisi yang akut.

Kombinasi malnutrisi, kelelahan karena terus berpindah, lingkungan yang buruk dan ketiadaan akses ke fasilitas kesehatan menjadi serangkaian faktor-faktor penyebab kematian beruntun itu.

Saat itu, sebut Rudi, dokter yang melakukan pemeriksaan tidak menemukan satu wabah yang menyerang kelompok ini. Namun, justru kelemahan fisik karena rendahnya asupan kalori dan gizi, sehingga setiap penyakit dapat mudah menyerang dan berakibat fatal.

"Yang sekarang ini ada risiko begitu (kematian beruntun), itu mereka akan bisa kena masalah kekurangan gizi, terutama untuk kelompok anak-anak," jelas Rudi.

3 dari 4 halaman

Kurang Gizi

Hilangnya kawasan hutan yang menjadi tempat penghidupan dan sumber makanan orang rimba mengakibatkan kehidupan mereka semakin terhimpit. Akibatnya, banyak dari mereka memilih bermukim di gubuk-gubuk yang didirikan di kawasan kebun sawit.

Kondisi ini berdampak buruk terhadap kehidupan orang rimba, terutama anak-anak yang paling rentan. Kondisi lingkungan dan asupan gizi yang kurang bisa memperburuk pertumbuhan anak-anak. Anak-anak orang rimba kini lebih rentan terkena penyakit.

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Sekolah Tinggi Kesehatan Baiturrahim Jambi, Merita mejelaskan, untuk mendeteksi gizi buruk terhadap seorang anak diperlukan penelitian, yakni dengan mengukur berat dan tinggi badan anak. Dari hasil tersebut kemudian bisa dinilai status gizi anak atau berdasarkan Z-score.

Namun, ciri-ciri fisik anak-anak yang diindikasikan gizi buruk bisa dilihat secara kasat mata. Misalnya, kata Merita, iga anak tersebut terlihat gambang, badan kurus dan perut buncit, serta terjadi pembekakan cairan atau adema.

Setelah menengok foto kondisi anak-anak orang rimba dari kelompok Ngandun itu, Merita mengaku belum bisa memastikan apakah mereka menderita gizi buruk. Sebab, untuk mendiagnosis gizi buruk diperlukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui beragam indikatornya.

"Kalau saya lihat dari kondisinya, mereka (anak-anak orang rimba) bisa dikatakan status gizinya kurang. Kalau gizi buruk itu kan sudah parah ya, dan untuk mendiagnosisnya perlu penelitian juga," kata Merita kepada Liputan6.com.

Terdapat standar pengukuran status gizi kurang dan gizi buruk. Menurut Merita, dapat dilihat dari Z-score dengan indikator pengukuran berat badan dan tinggi badan terhadap anak. Standar antropometri anak untuk gizi kurang berada pada score -2,0 standar deviasi (SD). Sedangkan gizi buruk berada pada score -3,0 standar deviasi (SD).

Kondisi lingkungan atau person hygiene dan kurangnya pola asupan makan orang rimba tidak dipungkiri bisa berpengaruh terhadap kondisi tumbuh kembangnya anak-anak. Merita menyebut, kondisi ini juga bisa memperburuk kondisi kesehatan anak-anak orang rimba sehingga jika tidak segera ditangani berujung pada gizi buruk.

"Kalau memang masih awal (kurang gizi), masih bisa dikejar untuk normal. Juga imunisasi itu penting, dengan imunisasi itu bisa mendeteksi dan pencegah gizi buruk, anak-anak harus dipantau sampai umur lima tahun," katanya menjelaskan.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Samsiran Halim, mengatakan, penanganan kesehatan orang rimba menjadi kewenangan dari pemerintah daerah yang memiliki populasi orang rimba. Selama ini Pemprov Jambi hanya mengawasi, jika pemerintah kabupaten tidak bisa menangani kemudian Pemprov membantu.

"Kalau sekarang banyak anak-anak orang rimba yang sakit ataupun itu kurang gizi saya tidak tahu, karena tidak ada laporan. Biasanya ada laporan, tapi ini belum," kata Samsiran.

Orang rimba dalam mengakses layanan kesehatan kata dia, telah difasilitasi pemerintah setempat. Saat ini menurut Samsiran, mayoritas orang rimba tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK) sehingga terjadi problem tersendiri untuk mereka mengakses layanan kesehatan.

Persoalan kesehatan orang rimba, terutama untuk anak-anak belum menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Jambi. Hal ini terbukti tidak ada anggaran kesehatan yang mengarah khusus kepada orang rimba yang merupakan komunitas adat marginal.

"Anggaran kesehatan secara khusus untuk kelompok mereka (orang rimba) di APBD Provinsi Jambi tidak ada. Saya tidak tahu di kabupaten ada atau tidak, itu kewenangan Pemkab," kata Samsiran.

4 dari 4 halaman

Orang Rimba Tanpa Rimba

Orang rimba merupakan komunitas terasing yang membangun kehidupannya di dalam kawasan hutan. Namun, kini orang rimba hidup tanpa rimba. Hilangnya hutan telah mengubah kehidupan mereka.

Orang rimba di Jambi sering juga disebut sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan orang rimba menjadi SAD ini disematkan oleh pemerintah mulai tahun 1970.

Survei terakhir yang dilakukan organisasi nirlaba pemerhati lingkungan dan orang rimba, KKI Warsi menyebutkan jumlah populasi orang rimba mencapai 5.200 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.

Di Provinsi Jambi, orang rimba tergabung dalam masing-masing kelompok yang biasanya dipimpin oleh seorang tumenggung. Setiap populasi orang rimba selalu terdapat kelompok anak-anak, satu ibu rata-rata memiliki anak di atas lima.

Kini alih fungsi hutan yang begitu masif menjadi korporasi perkebunan kelapa sawit membuat kelompok orang rimba semakin kesulitan mencari sumber pangan. Luas kawasan hutan di Jambi tersisa 900 ribu hektare atau 17 persen dari total luasan provinsi ini.

Semakin berkurangnya luas kawasan hutan tersebut, juga membuat orang rimba tergusur. Orang rimba masih sulit mengakses akses kesehatan dan dibayangi kemiskinan.

Menurut Rudi, dari jumlah populasi orang rimba saat ini sekitar 99 persen hidup dalam kondisi miskin. Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, orang rimba juga hidup secara semi nomaden di sepanjang jalan lintas tengah Sumatra, Jambi.

"Mau pakai ukuran atau paramater apapun, orang rimba itu adalah kelompok masyarakat yang paling miskin," kata dia.

Selain masih dibayangi kemiskinan, kelompok orang rimba juga memiliki gaya hidup yang belum sehat. Tak jarang saat musim sulit, anak-anak orang rimba mengonsumsi berondolan sawit.

Untuk jangka pendek dan sangat mendesak khusus orang rimba yang sedang mengalami malnutrisi dan sakit, sebut Rudi, pemerintah harus segera mengambil tindakan darurat. Penyediaan makanan, penambahan nutrisi gizi dan pemberian imunisasi harus segera dilakukan.

"Anak-anak orang rimba punya hak untuk sehat, sehingga kalau kita lihat dengan kondisi seperti ini sudah sangat diperlukan adanya anggaran kesehatan yang dikhususkan untuk kelompok orang rimba," demikian Rudi.