Sukses

Monza dan Identitas dalam Pakaian Bekas

Monza bukan sekadar akronim, di dalamnya ada budaya perlawanan dari orang-orang yang gemar memakai pakaian dan barang bekas impor.

Liputan6.com, Aceh - "Sempak tahu, kan? kolor itu. Istri, anak, saya, (pakai) monza semua." 

Suatu hari di medio 90-an, Sastra mengunjungi salah satu pasar yang ada di Dumai. Dia ingin membeli kemeja seperti yang dikenakan para pegawai di kantor tempatnya bekerja.

Sastra bekerja di bagian mekanik salah satu perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Gajinya saat itu cuma Rp5000 sebulan.

Ia sadar tidak mungkin mampu membeli kemeja baru bermerek dengan gaji segitu. Jangankan untuk kemeja keluaran terbaru, untuk mengisi perut sehari-hari saja dirinya makan mi instan.

Satu-satunya pilihan ialah mendatangi pasar yang khusus menjual pakaian bekas pakai atau di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan monza. Monza merupakan akronim dari Monginsidi Plaza, yakni, sebuah istilah satire yang merujuk pada fenomena pedagang pakaian bekas yang membanjiri Jalan Monginsidi, Medan, pada tahun 70-an.

Hati Sastra tertambat kepada sebuah kemeja putih yang ada di sudut toko. Harga sesuai dengan yang dibayangkan, tak mahal, namun tampak berkelas, sehelai baju idaman pun dibawa pulang dengan raut muka yang berseri-seri.

Itu adalah pakaian bekas pertama bagi lelaki kelahiran Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat tersebut. Kelak, kata monza menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Sastra hingga orang-orang pun melekatkan kata "monza" di belakang nama depannya.

Monza memang memiliki tempat tersendiri di hatinya. Semua yang membaluti tubuh lelaki penggemar motor gede (moge) itu adalah barang bekas pakai, dirinya pun bangga dengan itu.

Sastra sangat pilih-pilih dalam hal merek. Ia tidak mau berkompromi dengan yang namanya kualitas.

2 dari 7 halaman

Hobi

Mengenakan pakaian monza bagi lelaki bernama panjang Sastra Bakti Salam itu adalah hobi. Ia tak peduli apa kata orang-orang mengenainya.

Ini soal kepuasan belaka. Jika ia bisa mengenakan barang-barang berkelas tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam, kenapa mesti membeli yang baru?

Lelaki ini pasti akan mencari pusat-pusat penjualan pakaian bekas setiap kali berada di daerah yang baru didatanginya. Ia suka sekali berburu pakaian bekas untuk dijadikan koleksi.

"Ke mana pun saya pergi, saya akan cari monza. Ke Jawa, Pekanbaru, pokoknya di mana pun saya pergi, saya cari monza," demikian akuannya, ketika ditemui Liputan6.com di tokonya, di salah satu bilangan Kota Banda Aceh, belum lama.

3 dari 7 halaman

Koleksi

Sastra sempat berpindah-pindah dari satu provinsi ke satu provinsi karena tuntutan pekerjaan. Pensiunan pegawai PT Pertamina itu terakhir kali ditempatkan di bagian personalia umum hingga pensiun di usia 59 tahun.

Hobinya itu membuat Sastra memiliki banyak sekali koleksi pakaian monza. Lemarinya pun penuh dengan baju dan celana impor bekas pakai bermerek terkenal.

Sastra menjadi pria penuh gaya nan necis yang menganggap nonsens semua penilaian buruk orang-orang terhadap sandang monza. Omong kosong, ini lagi-lagi soal kualitas.

Saking banyaknya, terbesit di pikiran Sastra bagaimana jika ia menjual beberapa pakaian yang dikoleksinya. Nyatanya, Sastra punya ide yang lebih berprospek, ia menawarkan diri untuk jadi penyuplai pakaian monza seorang karibnya di Padang, sementara dirinya masih berdinas di Pematang Siantar, Sumatera Utara, saat itu.

"Saya tidak pernah tanya berapa yang terjual dan uang yang saya dapat. Toko itu masih ada sampai saat ini," terang Asra.

Pada 2015 lalu, Sastra dipindahtugaskan ke Serambi Makkah dan pensiun dua tahun kemudian. Kini, sebagian besar masa pensiunnya diisi dengan duduk menanti pelanggan di salah satu sudut toko miliknya sambil sesekali memacu moge di atas aspal jalanan Kota Banda Aceh.

4 dari 7 halaman

Tgk. Monja Klass

Di sisi jalan bilangan Kota Banda Aceh itu terdapat satu rumah toko (ruko) yang cukup menarik perhatian. Di sebelah kanan bagian depan toko tersebut terdapat maneken tua dengan pakaian yang telah usang dan koyak moyak.

Ujung paranet berwarna hijau yang dipasang sebagai kanopi terlihat menyelendangi kepala maneken tersebut, sementara, puluhan maneken setengah badan berjejer sepanjang teras toko tersebut. Maneken-maneken bertelanjang dada itu tampak seperti tawanan perang yang sedang dibariskan.

Di situ tertulis "Tgk. Monja Klass." Di bawah papan nama itu terdapat pula nama beberapa negara dari benua yang berbeda-beda, yakni, Italia, Amerika Serikat, Korea, Cina, dan Vietnam, dalam fon yang lebih kecil.

Bau apak yang khas mulai tercium saat memasuki toko tersebut. Bagian dalam toko ternyata penuh dengan barang-barang fesyen bermerek berupa pakaian, sepatu, tas wanita, jam tangan dan kacamata.

Saat dikunjungi Liputan6.com, dua lelaki sedang terlibat tawar-menawar dengan seorang perempuan yang bertugas sebagai pelayan toko. Rayuan murahan lelaki itu rupanya tidak mempan sama sekali, sepasang safety shoes ditahan dengan harga Rp200 ribu.

"Enggak mungkin, lah, segitu bang," balas perempuan tersebut.

Pemilik toko tersebut adalah Sastra. Toko itu didirikan pada 2018 lalu setelah ia resmi pensiun dari statusnya sebagai pegawai perusahaan BUMN.

5 dari 7 halaman

Baju Monza Pertama

Sudah jadi kebiasaan, jika berada di satu daerah yang baru dikunjungi, Sastra pasti akan menyasar pusat-pusat penjualan pakaian bekas. Hari itu, ia pergi ke Pasar Aceh.

"Saya membeli sebuah kemeja. Kemeja itu ada koyaknya, saya jahit kembali," kisahnya.

Kelak, kemeja tersebut dipajang Sastra di antara deretan pakaian monza yang dijual di tokonya. Sampai saat ini, kemeja tersebut masih belum laku terjual.

Sastra tidak berniat membuka toko di Aceh pada awalnya. Ia hanya ingin menghabiskan masa tuanya di provinsi paling barat itu dengan tenang.

"Dari semua tempat, saya paling nyaman di sini," ucapnya.

Semua berawal dari ide yang diajukan seorang teman agar dirinya menjual sepatu loakan. Saat itu, sepatu bekas pakai bermerek jarang sekali dijual di Aceh.

Usaha kecil-kecilan pun dirintisnya dengan setengah hati saja. Ia tidak menyangka minat pembeli di Kota Banda Aceh atas sepatu loakan cukup tinggi, alhasil, ratusan sepatu bermerek disuplainya dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung.

Mulai dari situ, Sastra berpikir untuk memasok lebih banyak sepatu hingga akhirnya ia membuka toko sendiri yang diisi dengan berbagai barang fesyen bekas pakai dari luar negeri. Toko tersebut kini jadi salah satu surga bagi pemburu barang-barang fesyen di Kota Banda Aceh.

6 dari 7 halaman

Barang Bermerek, Harga Miring

Gucci, Louis Vitton, Balenciaga, Polo, Levi's 501, Nike, Bally, hingga Converse 'all star', adalah beberapa merek barang-barang fesyen seken yang dijual di toko Sastra. Harga barang-barang tersebut dijual mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah.

"Itu tas Gucci, saya jual Rp4 juta, barunya itu Rp20 jutaan. Kita tutup sampai jam satu dini hari. Puncaknya memang malam hari. Kadang-kadang, banyak supir truk yang berhenti, pada jam segitu," sebutnya.

Untuk sekali pasok, Sastra mengaku membuang duit hingga ratusan juta rupiah. Barang-barang yang ada di tokonya itu dibelinya dari sejumlah pemasok di Pematang Siantar.

Lelaki itu mengaku tidak menjadikan tokonya sebagai lumbung ekonomi karena ia memiliki gaji pensiun yang cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Ia hanya sedang menggeluti hobi saja.

7 dari 7 halaman

Dicecar dan Diburu

Keberadaan pakaian bekas bukan tanpa penolakan. Pemerintah Indonesia via  Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas telah menegaskan hal tersebut.

Pakaian bekas impor digadang-gadang berpotensi membahayakan kesehatan. Juga diklaim menganggu keberadaan industri tekstil dalam negeri.

Oleh karenanya, barang-barang bekas yang didatangkan dari luar negeri itu harus menembus tameng Bea dan Cukai terlebih dahulu untuk masuk ke Indonesia. Ia mesti diselundupkan.

Di Sumatera Utara, monza lekat dengan histori dan budaya masyarakatnya. Pusat pakaian monza di Medan antara lain, pajak Melati, Sukaramai, Simalingkar, Sambu, dan sebagian Petisah.

Kegandrungan akan pakaian monza itu bukan tanpa alasan, jika tidak menjadi jalan pintas agar terlihat berkelas dan necis di tengah himpitan ekonomi. Bagi wong cilik, membeli pakaian monza menjadi jalan keluar untuk merayakan hari-hari besar tanpa harus membeli pakaian di mal atau di toko pakaian eksklusif ternama dengan label harga yang "menyeramkan."

Lalu, bagaimana dengan Aceh? penulis sendiri pernah dirisak hanya karena mengenakan celana monza saat main bola di waktu kecil. Saat itu, pakaian monza identik dengan huruf hanzi yang tertera di pakaian tersebut, karena kebanyakan pakaian bekas pada saat itu cenderung dipasok dari Cina.

Kini, pakaian monza yang dijual di pusat-pusat penjualannya banyak yang bermerek. Di Aceh, penjual pakaian bekas biasanya diaspora, terkadang ditemukan di sudut pasar, atau terhimpit di antara toko-toko lain.

Pada 2015 lalu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Aceh, Safwan, mempertegas larangan penjualan pakaian monza. Dalam konferensi persnya, ia mengklaim bahwa otoritas terkait menemukan mikroba dan kapang (jamur) dengan nilai cukup tinggi dari pengujian 25 contoh pakaian impor bekas.

Kandungan mikroba pada pakaian itu, yakni, 216.000 koloni/g dan kapang 36.000 koloni/g. Mikroba dan kapang tersebut dibilangnya dapat menyebabkan penyakit kulit hingga infeksi saluran kelamin.

Kendati demikian, pakaian monza tetap diburu para pembeli. Seperti ditegaskan Yuri Nasution di dalam artikelnya, di tengah segala stigma mengenainya, membeli pakaian monza menjadi jalan untuk melawan, bahkan jadi salah satu alternatif untuk mengurangi limbah pakaian yang semakin menggunung karena masyarakat kiwari yang kian konsumtif.

 

Simak juga video pilihan berikut ini: