Sukses

Soal Indikasi Terbentuknya Gunung Api Baru di NTT, Ini Penjelasan PVMBG

PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, menerbitkan hasil penyelidikan lapangan soal laporan indikasi gunung api baru yang muncul di NTT.

Liputan6.com, Bandung - Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM, menerbitkan hasil penyelidikan lapangan soal laporan gundukan tanah yang diduga calon gunung berapi, dengan mengeluarkan api disertai asap pekat dan air panas di Desa Sebot, Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 15 Februari 2020 lalu.

Menurut Kepala PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM Kasbani, berdasarkan analisis data dasar geologi setempat dan hasil penyelidikan lapangan, disimpulkan aktivitas gas di lokasi tersebut tidak mengindikasikan akan munculnya gunung api baru.

Kasbani menerangkan sumber dari gas dan temperatur panas, bukan berasal dari aktivitas vulkanisme (gunung api) baru, namun berasal dari sisa aktivitas magmatisme masa lampau (purba) yang mengisi zona lemah pada struktur geologi dan tertutup oleh batulempung.

"Konsentrasi gas sulfur (SO2 dan H2S) yang terukur melebihi ambang batas normal di udara, dimana ambang normal gas SO2 adalah 2 ppm dan H2S adalah 10 ppm," ujarnya, Rabu (4/3/2020).

Kasbani menuturkan, pengamatan di lapangan menunjukkan wilayah Desa Sebot dan Desa Netpala tersusun oleh batu lempung berwarna abu-abu kehitaman. Pada area keluarnya gas, batu lempung berubah warna menjadi merah, kuning dan hitam akibat terdapat tanda-tanda efek bakar.

Pada area tersebut, kata Kasbani, ditemukan mineralisasi kuarsa dan pirit pada tanah di sekitar rekahan tempat keluarnya gas. Batuan di lokasi ini merupakan bagian dari Formasi Bobonaro.

"Manifestasi gas sendiri berada pada zona hancuran akibat struktur geologi atau sesar. Morfologi wilayah manifestasi gas berupa perbukitan bergelombang kuat, dengan kemiringan lereng secara umum berkisar 20 – 30 derajat. Di mana secara setempat berbentuk terjal di bagian tebing dengan kemiringan lereng mencapai lebih dari 40 derajat," ucap Kasbani.

Kasbani menerangkan hasil pemeriksaan visual tanggal 19 Februari 2020 teramati kemunculan gas ata asap pada area bekas longsoran di lereng Sungai Taumin di Desa Sebot. Luas area kemunculan gas atau asap ini relatif kecil, yaitu berada di dalam area sekitar dua meter persegi.

Pada area ini tidak teramati adanya tekanan emisi gas yang tinggi, tidak terdengar suara mendesis (blazer), tidak teramati adanya sublimat belerang, dan tidak teramati adanya nyala api. Visual asap teramati berwarna putih tipis keluar dari celah-celah batu lempung dengan tinggi asap sekitar dua meter.

"Bau gas sulfur tercium dengan intensitas sedang hingga kuat pada jangkauan sekitar 50 meter dari area manifestasi. Sebaran bau tidak merata bergantung pada arah angin," tutur Kasbani.

Kasbani bilang selain fluida gas, tidak ada fluida lain seperti air panas atau lava yang muncul dari area keluarnya gas seperti yang diberitakan sebelumnya. Secara geografis, manifestasi gas terjadi pada koordinat 09°42’19,1’’ LS dan 124°16’23,5’’ BT atau tepatnya 728 meter di atas permukaan laut.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Penjelasan Ilmiah

Sementara informasi dari masyarakat setempat, menyebutkan tidak merasakan adanya getaran-getaran pada saat munculnya fenomena gas tersebut pada tanggal 7 Februari 2020 maupun pada hari-hari berikutnya. Temperatur lubang gas di Desa Sebot terukur lebih dari 300 oC dengan temperatur udara 32 oC.

"Selain di Desa Sebot, fenomena manifestasi gas juga teramati di Desa Netpala, yaitu pada koordinat geografis 09°43’31,3’’ LS dan 124°15’46,2’’ BT atau 933 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan informasi dari masyarakat, manifestasi gas ini muncul pada sekitar bulan Juli 2019, namun saat ini intensitas aktivitasnya sudah jauh menurun atau melemah," jelas Kasbani.

Lapangan manifestasi yang ada saat ini lanjut Kasbani, hanya berupa bekas-bekas tembusan gas yang sudah padam. Pada pemeriksaan tanggal 19 Februari 2020 terdapat satu titik yang tersisa. 

Visual asap teramati berwarna putih sangat tipis keluar dari celah batu lempung dengan tinggi asap sekitar 15 Centimeter. Tidak teramati adanya tekanan emisi gas yang tinggi, tidak terdengar suara mendesis dan tidak teramati adanya sublimat belerang. 

"Bau gas sulfur tercium sangat lemah hingga jarak sekitar dua meter, tergantung arah angin. Berdasarkan karakteristik dari rasio gas yang terukur di Desa Sebot dapat disimpulkan bahwa gas berasal dari aktivitas magmatisme (tipe subduksi) yang didominasi oleh gas-gas sulfur," tukas Kasbani.

Gas ini ditengarai sebagai sisa proses sulfidasi dari magma (magma cooling system) yang keluar ke permukaan melalui rekahan yang dipengaruhi oleh kondisi struktur geologi (sesar) setempat. Kelurusan manifestasi gas yang muncul di dua tempat (Desa Sebot dan Desa Netpala) sesuai dengan pola sesar normal berarah timurlaut-baratdaya yang terdapat di bagian timur Mollo Utara.

Adanya bekas-bekas intrusi di daerah Mollo Utara (munculnya marmer) merupakan bukti aktivitas magmatisme di masa lampau (purba). Keterdapatan mineral-mineral yang merupakan hasil dari proses mineralisasi menguatkan indikasi adanya gas dan panas yang terjebak dalam zona struktur geologi dimana lapisan batulempung berfungsi sebagai batuan penutup (caps rock). 

"Intensitas aktivitas gas di Desa Sebot diperkirakan akan melemah seiring dengan waktu, identik dengan kondisi manifestasi gas di Desa Netpala dimana selama tujuh bulan intensitas aktivitasnya terus melemah dan menuju padam. Gas yang tidak bertekanan tinggi dan cenderung melemah menjadi indikasi tidak adanya penambahan akumulasi gas yang keluar melewati rekahan," sebut Kasbani.

Dengan mempertimbangkan kondisi geologi dan morfologi wilayahnya dan berdasarkan hasil penyelidikan di area manifestasi gas, maka PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM merekomendasikan masyarakat dihimbau untuk tidak beraktivitas dan memasuki area radius 100 meter dari titik keluarnya gas untuk menghindari paparan gas beracun yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan.

Masyarakat juga diminta untuk tidak beraktivitas di sekitar area keluarnya gas karena merupakan area yang rawan longsor. Selain itu, masyarakat diharapkan untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh isu-isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.Â