Sukses

Legenda Wabah Kusta dan Topeng Labu di Muarajambi

Sebuah legenda datang dari Desa Muarajambi. Legenda ini adalah wabah kusta dan topeng labu. Kini legenda ini masih lestari di tengah masyarakat. Berikut ceritanya.

Liputan6.com, Jambi - Mukhtar Hadi, seorang pemuda dari Desa Muarajambi, yakin di desanya yang memiliki seabrek tinggalan tapak tuanya pasti meninggalkan jejak legenda dan budaya. Dia terngiang dengan keberadaan tradisi Topeng Labu. Konon tradisi ini berawal dari sebuah legenda wabah kusta yang menyerang penduduk di desanya itu.

Hingga akhirnya, selepas menamatkan kuliahnya pada 2009, Mukhtar Hadi, mulai menggali keberadaan Topeng Labu. Mukhtar lalu, mencari sumber-sumber primer untuk mengangkat tradisi Topeng Labu yang konon berasal dari sebuah legenda wabah kusta.

Borju, begitu sapaan karib Mukhtar Hadi mengatakan, ia mulai mencari alur cerita tradisi Topeng Labu itu dengan metode mendatangi para tetua kampung guna mengumpulkan cerita.

Borju bersama beberapa kawannya, termasuk Abdul Havis dan Brata, tak malu bertanya kepada tetua di sana. Suatu ketika di tengah perjalanan mencari sumber cerita, mereka bertemu dengan Datuk Sahak dan Datuk Hasan. Kedua tetua kampung yang biasa dipanggil datuk ini banyak membagikan cerita kepada mereka.

"Datuk bilang waktu kecil, zaman bengen (zaman lawas) itu sudah turun-temurun. Jelas tradisi topeng ini sudah ada sejak dulu dari gambaran datuk itu," kata Borju kepada Liputan6.com, Selasa (3/3/2020).

Desa Muarajambi terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Desa ini adalah desa yang paling dekat peradaban kuno kompleks percandian Muarajambi. Di desa ini mempunyai cerita turun-temurun yang terus diwariskan. Legenda itu menceritakan bahwa nenek moyang mereka dulu adalah penderita kusta.

Dalam cerita itu, para penderita kusta pantang untuk didekati. Penyakit kusta ini pada zaman dulu disebut-sebut sebagai penyakit kutukan, sehingga penderitanya tidak boleh berbaur dan harus diasingkan ke dalam hutan (ngutan).

Setelah lama diasingkan di dalam hutan belantara, tiba saatnya hari raya Idul Fitri. Para penderita kusta tadi merasa ingin bergabung dan bersilaturahmi dengan masyarakat lainnya di desa kala lebaran.

Saat keluar dari hutan itu lah penderita kusta mengenakan Topeng Labu dan pakaian panjang yang digunakan untuk menutupi borok kusta mereka. Di punggungnya memanggul keranjang untuk tempat warga melempar makanan atau kue lebaran sebagai tanda iba hati.

"Kini untuk mengenang para leluhur, kami membuat kreasi topeng dari buah labu, yang kami kenakan dan dimainkan saat hari pertama perayaan Idul Fitri," kata Borju.

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Tradisi Topeng Labu

Berawal dari legenda malapateka wabah kusta itu, para pemuda di Desa Muarajambi masih mewariskan tradisi Topeng Labu. Legenda tersebut juga mereka tuliskan ke dalam Buku Mimpi-Mimpi Pulau Emas bersama penulis Elisabeth D Inandiak. Itu mereka lakukan untuk mengenang para leluhur.

Mereka aktif membuat topeng dari buah labu manis yang berbentuk lonjong itu. Tak terhitung lagi berapa banyak topeng  sudah mereka buat. Topeng yang dibuat kini lebih kreasi. Topeng mereka buat mulai dari karakter seram hingga lucu. Dibagian atas topeng, dihiasi dengan ijuk untuk rambutnya.

Kini saat hari pertama lebaran Idul Fitri, pemuda Desa Muarajambi tak pernah absen menampilkan tradisi Topeng Labu. Secara rombongan mereka mengenakan topeng, menari diiringi tabuhan gendang. Para pemain topeng berjalan dari ujung desa, mendatangi rumah-rumah warga.

Sama seperti cerita yang diturunkan, mereka mendatangi rumah warga, bersilaturahmi. Lalu, tuan rumah akan memasukan makanan ke keranjang yang digendong pemain topeng itu.

Tradisi main topeng labu selalu ditunggu-tunggu warga saat hari pertama lebaran. Bahkan kini, di desa mereka belum lengkap lebaran kalau belum ada permainan topeng itu.

"Sekarang main Topeng Labu sudah menjadi tradisi di desa kami saat hari pertama lebaran," kata Borju, yang juga aktif sebagai pemain lawak wak kocai itu.

Tak hanya menjadi tradisi yang ditampilkan saat hari pertama lebaran. Topeng Labu, kini juga telah berkembang menjadi sarana yang atraktif untuk mendatangkan wisatawan ke Desa Wisata Muarajambi.

Lewat tangan-tangan kreatif pemuda di Muarajambi, Topeng Labu juga berkembang menjadi sebuah sajian seperti tarian dan teater. Bahkan, beberapa kali topeng dipamerkan dalam berbagai kegiatan lokal, nasional dan internasional.

"Pernah topeng yang kami buat itu dibawa dan dipamerkan di Singapura dan Australia," kata Borju.

Melalui Topeng Labu itu menurut Borju, mempunyai filosofi dan nilai-nilai tentang kehidupan dan kemanusiaan. Berawal dari legenda wabah kusta itu, Topeng Labu memberi pesan tentang bagaimana memanusiakan manusia, tidak boleh ada diskriminasi.

"Berawal dari legendanya itu ada nilai yang terkandung, bahwa manusia dalam kehidupannya adalah setara, tidak boleh ada diskriminasi dan orang sakit tidak boleh jauhi," ujar Borju.

3 dari 3 halaman

Berawal dari Legenda Wabah Kusta

Peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Tanjungpinang, Dedi Arman mengatakan, tradisi Topeng Labu kini telah berkembang dan lestari lewat tangan kreatif. Pemuda di Desa Muarajambi turut andil mengangkat sebuah kesenian yang berawal dari legenda.

"Di Desa Muarajambi saya lihat pemudanya kreatif, mereka mengangkat legenda itu menjadi sebuah kesenian, yang sekarang tumbuh dan berkembang di masyarakat," kata Dedi Arman kepada Liputan6.com.

BPNB Tanjungpinang yang wilayah kerjanya juga meliputi Jambi, kata Dedi Arman, banyak cerita sejarah atau legenda dari daerah yang bisa diangkat menjadi sebuah tradisi dan kesenian. Bahkan masih banyak legenda di masyarakat yang belum terdokumentasi.

"Kreativitas bisa tumbuh dari mana saja, bisa cerita sejarah dan legenda. Itu dihidupkan kembali lewat kreasi boleh-boleh saja," ujar Dedi.

Dedi menyebut, kesenian Topeng Labu dalam konsep pelestariannya yang bermuara pada wisata budaya adalah sesuatu yang perlu terus didukung. Dengan konsep kebudayaan berawal yang dari legenda itu, maka pelestarian bisa mencakup seperti aspek nilai budaya dan kesejarahan.

"Pelestarian legendanya dapat, keseniannya dapat, wisatanya juga dapat. Jadi masyarakat juga masih kenal dengan legenda yang turun-temurun itu, desa juga menjadi lebih dikenal," kata Dedi menambahkan.

Â