Sukses

Wali Kota Medan Dzulmi Eldin Jalani Sidang Perdana Kasus Suap

Wali Kota Medan non aktif, Tengku Dzulmi Eldin, menjalani sidang perdana kasus suap jabatan dan proyek. Sidang digelar di Ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jalan Pengadilan, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara

Liputan6.com, Medan Wali Kota Medan non aktif, Tengku Dzulmi Eldin, menjalani sidang perdana kasus suap jabatan dan proyek. Sidang digelar di Ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Jalan Pengadilan, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut).

Dalam dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Eldin disebut menerima uang setoran dari sejumlah kepala dinas (kadis) dan pejabat Eselon II di Pemerintah Kota (Pemko) Medan sebesar Rp 2,1 miliar. Kasus suap terhadap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).

Jaksa KPK, Iskandar Marwanto menyebut, pada pertengahan Juli 2018, Eldin selaku Wali Kota Medan menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara, yaitu sebesar Rp 200 juta. Namun yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencapai jumlah tersebut.

"Mendapat laporan, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada para Kepala Organisasi Perangkat Daerah atau OPD dan Pejabat Eselon II. Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya," kata jaksa dalam persidangan di hadapan Hakim Ketua, Abdul Azis, Kamis (5/3/2020).

Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan Kepala OPD dan Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang, serta perkiraan besarannya yang mencapai Rp 240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri, Eldin menyetujui. Namun, permintaan Eldin melalui Samsul Fitri hanya terkumpul Rp 120 juta.

Permintaan Eldin terus berlanjut hingga yang terakhir meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa, Jepang, Juli 2019.

Kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang sejumlah Rp 1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp 500 juta. Edin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang.

"Uang yang dikumpulkan dari para Kepala OPD, dan disetorkan ke Eldin, totalnya mencapai Rp 2,1 miliar lebih," terang Iskandar dalam dakwaannya.

Eldin diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Ajukan Eksepsi

Terkait dakwaan jaksa, Eldin melalui pengacaranya, Junaidi Matondang, langsung mengajukan eksepsi. Menurutnya, ada kekeliruan KPK dalam menulis surat dakwaan.

"Kami melihat ada absrutlitas yang ada didalam surat dakwaan," ujar Junaidi, pengacara Eldin.

Kekeliruan tersebut didapatkan dalam surat dakwaan yang menjelaskan Dzulmi Eldin mendapatkan uang Rp 2,1 miliar. Padahal dalam hutang tersebut hanya mencapai Rp1,4 miliar. Dengan eksepsi yang diajukan, diharapkan dapat menyempurnakan isi dakwaan yang harusnya menjadi patron persidangan.

"Eksepsi yang kami ajukan bukan untuk mencari-mencari kesalahan, namun mencari kesempurnaan, agar tidak kabur," sebutnya.

Junaidi juga menyatakan, mengenai nama Dzulmi Eldin yang dibawa-bawa dalam sidang Isa Ansyari dan Samsul Fitri, sebagai pengendali tindak pidana korupsi, adalah hak mereka.

"Itu memang hak mereka, itu kata mereka. Nanti kita buktikan. Itu masih tuduhan. Kalau mereka menjawab seperti itu, Eldin bersalah? Kan, tidak. Eldin juga memiliki hak untuk menyatakan itu keliru," Junaidi menandaskan.