Sukses

Menilik Makna Plagiat dalam Pementasan 'Plagiat' Teater AiR Jambi

Teater Art in Revolt (AiR) Jambi mementaskan sebuah teater berjudul 'Plagiat' karya EM Yogiswara. Dalam pementasan ini sutradara menghadirkan rumusan plagiarism dalam kehidupan keseharian.

Liputan6.com, Jambi - Adegan mengetik yang diiringi efek suara mesin tik, azan subuh hingga suara ayam berkokok menjadi rangkaian awal alur cerita dalam pementasan teater berjudul 'Plagiat' karya/sutradara EM Yogiswara, yang digelar di teater arena Taman Budaya Jambi, Sabtu (7/3/2020) malam.

Tak ada drama. Hampir semua adegan para aktor berkostum oranye itu lebih sering memainkan simbol-simbol, gerak tubuh hingga gesture.

Pun tak ada dialog yang terjadi, hingga pementasan ini berakhir. Yang keluar dari aktor-aktor, hanya istilah-istilah dalam kesusastraan sampai pada istilah kebahasaan, yang dilafalkan dan kemudian ditirukan secara bersahutan bersamaan dengan gerak tubuh.

Dalam pementasan teater ini, sutradara menggunakan metode teater epic sebagaimana yang dituangkan Bertholt Brecht. Metode ini lebih banyak menggunakan simbol-simbol semiotika.

Pementasan 'Plagiat' yang diproduksi Teater Art in Revolt (AiR) Jambi ini didasarkan atas pengalaman sutradara sendiri. EM Yogiswara pernah dituduh sebagai plagiator karya sastra pada tahun 2016 silam. Namun lewat garapannya itu sutradara mencoba mencurahkan makna atau definisi sesungguhnya dari kata plagiat atas pengalaman individual.

"Pengalaman tahun 2016 itu menjadi cikal bakal saya berpikir tentang makna sesungguhnya sehingga saya disebut sebagai plagiator, bertolak dari situ (pengalaman) saya tahu makna sesusunggunya kata plagiat," kata EM Yogiswara kepada Liputan6.com usai pementasan.

Edi Mulyadi atau yang biasa disapa EM Yogiswara mengatakan, lewat pementasan Plagiat ini, ia mendapat rumusan bahwa manusia tanpa sadar telah masuk pada wilayah Plagiarism Mosaik, Autoplagiarism, Self-Plagiarism (vide indra).

Semua gerak, tingkah laku dan perbuatan manusia menurut dia, adalah peniruan, penciplakan atas rekaman peristiwa yang sudah dilakukan orang lain. Manusia menerimanya dengan baik, baik itu secara negatif maupun positif.

"Meniru, mencontek dan menjiplak, saya yakini itu ada pada diri saya sejak kecil. Plagiat ada positif dan negatif. Dan yang negatif itu kebetulan saya terima, saya langsung dibantai (dituduh plagiat). Tapi kalau tidak dibantai, saya tidak punya karya ini (Plagiat)," kata Edi yang kemudian disambut tepuk tangan penonton.

"Dan saya tidak berpikir plagiat itu hadir dan ada di sini, terima kasih yang sudah pernah membantai saya, saya tunggu karyanya," sambungnya.

Produksi ke-43 Teater AiR Jambi itu digarap bersama sejumlah mahasiswa sebagai aktornya. Proses penggarapan hingga sampai dipentaskan hanya membutuhkan waktu dua bulan. Meski hanya waktu yang singkat, namun pementasan teater yang telah digelar sejak 4 Maret 2020 ini telah menyedot antusias penonton.

"Fesyen, model rambut, sepatu, celana, itu semua kita tiru, kita pakai. Cuma kita tidak pernah mengakui bahwasanya kita adalah plagiat yang disebut Autoplagiarism, Self-Plagiarism, Plagiarism Mosaik," kata EM Yogiswara.

2 dari 3 halaman

Genre Dance Theatre

Pementasan teater dengan judul Plagiat itu, menurut Ketua Program Sendratasik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi, Prof Mahdi Bahar, dikategorikan dalam sebuah genre dance theatre karena pementasannya tersebut, tidak mengutamakan dialog.

Mahdi Bahar yang juga guru besar pengkajian seni pertunjukan ini menilai, banyak koreografi yang dihadirkan dalam pementasan Plagiat. Secara simbolik koreografi itu disusun sebagai rangkaian alur yang diinginkan sutradaranya.

"Tidak ada dialog yang menonjol, jadi ini lebih kepada kelompok dance theatre, di pementasan Plagiat ini saya melihat tidak ada aktor, yang ada pelakon. Tapi Secara keseluruhan pesannya bisa dibaca," kata Prof Mahdi Bahar kepada Liputan6.com usai menyaksikan pementasan Plagiat itu.

Selain itu, Prof Mahdi Bahar turut mengomentari pementasan teater Plagiat dalam hal memahami konteks dari plagiat itu sendiri yang diangkat sebagai sebuah judul besar.

Dalam memahami konteks plagiat yang dipentaskan melalui judul besar Plagiat itu, menurutnya, terjadi semacam anakronisme. Plagiat tidak bisa digeneralisasi dalam artian hanya sekadar meniru. Namun, plagiat juga harus dipahami dalam konteks sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum.

"Kalau tadi dikatakan dalam keseharian fesyen ada orang bersepatu, terus kita ikut bersepatu juga, itu bukan plagiat namanya. Tapi hanya biasa meniru yang itu tidak ada hak ciptanya. Yang salah itu kalau kita mengangkui produk atau karya orang yang sudah ada hak paten. Itu yang tidak boleh dan ada konsekuensi hukum," dia menjelaskan.

3 dari 3 halaman

Tidak Sinkron

Menurut pemerhati teater di Jambi, Kuyut S, dalam pementasan teater 'Plagiat' itu sutradara lebih menekankan emosinya terhadap romantisme yang dipernah dialami tahun 2016. Yang kemudian sutradara mengaitkannya dalam keseharian, bahwa plagiat itu dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Padahal makna plagiat itu bukan begitu.

Dia menilai ada ketidaksinkronan yang ditampilkan sutradara dengan judul besar 'Plagiat' dan ini kata dia, bertolak belakang dengan keinginan sutradara itu sendiri.

"Saya melihat hanya lebih kepada representasi yang pernah (sutradara) dialami tahun 2016. Kalau plagiat itu keseharian, kenapa konteksnya hanya simbol bahasa dan sastra, kenapa tidak memakai simbol-simbol yang lain," kata Kuyut.

Sutradara dalam pementasan teater 'Plagiat' tersebut, kata dia, tidak bisa menerjemahkan arti sebenarnya plagiat yang diperankan aktor. Ditambah properti dan konsep pertunjukan yang secara estetis tidak bisa dirintis dengan baik oleh para aktor.

"Sutradara tidak bisa menerjemahkan plagiat itu apa, juga dasar konsepnya apa? Apakah ini realis, surealis, absurd, atau hanya potongan-potongan narasi yang diterima 2016, lalu diolah menjadi karya dengan mengambil narasi yang menurut dia (sutradara) konsep sebuah plagiat," katanya.

Dalam pementasan 'Plagiat' dengan durasi sekitar 60 menit itu, menurut Kuyut, penonton tidak pernah digiring ke dalam judul besar plagiat. Aspek romantisme yang seharusnya dihadirkan di panggung tidak pernah muncul.

"Penonton hanya dihadapkan ternyata bahwa efek plagiat itu luar biasa, dari awal sampai akhir tidak nyambung, penonton tidak pernah digiring apa itu arti sesungguhnya dari plagiat dalam konteks hukum misalnya," ujar Kuyut menambahkan.

Simak video pilihan berikut ini: