Liputan6.com, Aceh - Komisi Yudisial memantau sidang perkara pencemaran nama baik yang melibatkan dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi, di Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas 1A, Selasa (10/3/2020). Selain dari pusat, salah satu pemantau berasal dari Penghubung KY di daerah.
Pemantau dari Penghubung KY wilayah Sumatera Utara, Elisabeth Ulina Br Manurung, mengatakan bahwa perkara yang menyeret dosen statitiska itu telah menjadi sorotan di tingkat nasional. Hal inilah yang kudian jadi alasan mengapa KY menurunkan pemantaunya di dalam persidangan tersebut.
"Oleh karena itu, KY melakukan pemantauan terhadap persidangan tersebut," kata Elisabeth kepada Liputan6.com, di depan ruang, Senin.
Advertisement
Elisabeth tidak mau berkomentar lebih jauh saat disinggung apakah kedatangan mereka ada sangkut paut dengan pernyataan lembaga nonpemerintah, yang mengkritisi tindak tanduk hakim ketua selama persidangan. Seperti diketahui, KY dibentuk untuk meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Baca Juga
"Kita hanya sebatas memantau saja," timpal Lauren, pemantau dari KY pusat.
Menurut Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, sudah sepantasnya KY mengirim pemantau. Dengan begitu, muruah dan integritas majelis hakim selama persidangan berlangsung tetap terjaga.
"Sebenarnya, besar harapannya KY memantau di awal-awal. Harusnya bisa datang dalam proses pemeriksaan saksi ahli dan fakta," jawab Hendra, dihubungi Liputan6.com, Selasa siang.
Sebelumnya, Hendra menilai perilaku Hakim Ketua, Eti Astuti, selama persidangan tidak sesuai kode etik. Hakim pengganti itu kedapatan mengulang penekanan dari "frasa" yang salah saat saksi yang meringankan tengah memberi keterangan.
Oleh Eti, frasa "determinisme teknik" jadi "fakultas teknik", padahal, kedua frasa memiliki arti yang jauh berbeda dari segi makna satuan lingual. Menyamakan kedua frasa menurut Hendra berpotensi merugikan Saiful Mahdi, karena itu melegitimasi bahwa lulusan Universitas Cornell dan Vermont itu telah menyerang fakultas tertentu.
Frasa determinisme teknik jadi salah satu frasa yang paling disorot di dalam perkara ini. Frasa tersebut ditemukan dalam paragraf dengan kalimat "dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes CPNS kemarin."
Determinisme teknik (engineered determinism) merujuk kepada mekanisme perekrutan pegawai negeri sipil yang seharusnya berlaku dengan standar baku, diatur dan berjalan dengan ketat secara logika teknik yang sangat deterministik. Ia terikat oleh sistem yang mustahil diintervensi oleh kehendak dari luar mekanisme tersebut.
Saiful Mahdi sadar bahwa determinisme dari sebuah teknik atau metode tidak mungkin nirmala. Karena itu, di dalam pesan yang telah menyeretnya ke meja hijau itu, Mahdi menulis "bukti bahwa determinisme teknik itu mudah dikorup?"
Simak juga video pilihan berikut ini:
Menanti Tuntutan Jaksa
Agenda persidangan hari ini adalah pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum. Namun, sidang terpaksa ditunda karena kejaksaan negeri belum menurunkan hasil rencana tuntutan (rentut).
Persidangan akan kembali dilanjutkan pada pekan depan. Kedua pemantau dari KY sendiri belum dapat memastikan apakah nanti pihaknya akan kembali hadir atau tidak.
"Kita koordinasi dulu," ucap Elisabeth.
Kendati sidang ditunda, Ketua Tim PH terdakwa, Syahrul, tetap mengapresiasi kedatangan tim pemantau dari KY. Dengan itu, ia berharap nilai-nilai-nilai keadilan di dalam persidangan bisa terwujud.
"Kampus Unsyiah secara institusional telah memosisikan diri sebagai lawan dari Saiful Mahdi. Orang mengkritik dipidana institusi. Kita membutuhkan pengawalan agar jaminan terhadap kritik itu tetap terpelihara," ujar Syahrul ditemui di kantornya, Selasa siang.
Ia mengaku bahwa pihaknya telah berusaha maksimal dengan menghadirkan para ahli yang dinilai kompeten di dalam perkara ini. Tim PH Mahdi ingin publik tahu bahwa pesan yang dikirim Mahdi di WhatsApp Group (WAG) itu murni sebagai kritik yang dijamin oleh konstitusi.
"Kita menghadirkan perumus UU ITE sendiri, ahli ITE yang kini masih staf ahli di bidang hukum Kemenkominfo. Jelas dikatakan, jika itu kritik dan tidak menyerang pribadi, jelas itu bukan pencemaran nama baik. Ahli lain dari Unair, ahli hukum dan hak asasi yang jelas menyebut pesan tersebut adalah kritik semata yang dijamin," terang Syahrul.
Dengan pelbagai upaya pembuktian tersebut, Syahrul berharap jaksa kelak menuntut dengan adil. Tidak semata melihat terdakwa sebagai pesakitan yang mesti dijebloskan ke balik jeruji besi.
"Kita ingin melihat ada aparat penegak hukum yang progresif, yang bisa berpikir, inilah keadilan. Tidak rugi bahkan ketika menuntut terdakwa bebas jika kemudian dianggap tidak cukup untuk dipidana," pungkas dia.
Advertisement