Liputan6.com, Semarang - Sebagai seorang pemimpin umat, Pangeran Diponegoro memiliki lebih dari satu pusaka, berupa keris dan tombak. Pusaka-pusaka ini akhirnya diwariskan kepada keturunannya, seperti umumnya manusia jawa.
Meski demikian ada satu pusaka yang dia bawa sampai ke makamnya. Keris Kiai Bandayuda adalah satu-satunya pusaka yang dikubur bersama jenazahnya.
Ada sebuah keris kecil atau cundrik yang biasa dipakai perempuan bernama Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rondan akhirnya diberikan kepada Diponegoro II. Pusaka lainnya adalah keris Kiai Abijoyo dan tombak Kiai Gagasono diberikan kepada Raden Mas Joned.
Advertisement
Baca Juga
Pusaka lainnya adalah keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi yang akhirnya diberikan kepada Raden Mas Raib. Kemudian keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro. Ada pula keris Kiai Hatim dan tombak kiai Simo kepada yang diwariskan kepada Raden Ayu Joyokusumo.
Adapun tombak Kiai Dipoyono diberikan kepada Raden Ajeng Impun. Untuk tombak Kiai Bandung diberikan kepada Raden Ajeng Munteng.
Nama-nama pusaka tersebut dicatat Peter Carey, sejarawan dan peneliti Babad Diponegoro. Pusaka-pusaka itu bisa kita temukan dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan dan data itu dimasukkan dalam apendiks XI oleh Peter Carey.
Menurut peneliti budaya dari Yayasan Cahaya Nusantara, Hangno Hartono, pusaka-pusaka di Jawa sesungguhnya bukanlah senjata pembunuh, meskipun bisa berfungsi sebagai senjata. Pusaka-pusaka itu diperlakukan sebagai “sipat kandel” atau “cekelan” yang lebih menyerupai jimat.
“Kenapa? Karena pusaka-pusaka itu mengandung dan memancarkan energi semesta,” kata Hangno Hartono.
Sejumlah Catatan Tentang Pusaka Diponegoro
Lepas dari perdebatan apakah keris Kiai Naga Siluman dirampas Belanda ataukah sengaja diberikan Pangeran Diponegoro sebagai tanda persahabatan, namun keris Kiai Naga Siluman memang akhirnya berada di Belanda dan ada di tangan Raja Belanda Willem I sebagai simbol kemenangan atas Diponegoro.
Hangno menjelaskan bahwa setelah usai perang Jawa, Belanda merampas keris Kiai Resa Gemilar saat menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo.
Ini sejalan dengan tulisan di buku Pater Carey disebutkan pula bahwa Mayor Edouard Errembault de Dudzeele menulis pengakuan.
“…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…”
Tombak Kiai Rondan juga dirampas tapi kemudian dikembalikan kepada pemerintah Indonesia dan tersimpan di Museum Nasional. Selain pusaka itu, Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintulu. Namun, Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada ramalan yang mengatakan barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.
Babad Diponegoro juga memuat keterangan tentang keris yang digunakan Diponegoro dalam pertempuran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Ini berbeda dengan keris-keris lain yang lebih merupakan pusaka. Keris ini memiliki bilah penusuk lurus dan disebut sebagai pedang (pedhang).
Sedangkan satu pusaka yang dikubur bersama jenazah Pangeran Diponegoro adalah keris Kiai Ageng Bondoyudo. Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur Tanpa Senjata. Namun, dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Kesaksian Sang Pengantar
Kisah Kiai Bondoyudo sendiri bahkan sampai dibawa Pangeran Diponegoro ke pengasingannya di Manado kemudian Makassar. Seorang perwira Jerman kelahiran Luxemburg, Justus Heinrich Knoerle (1796-1833) yang menemani Diponegoro ke pengasingan mencatat dalam jurnalnya.
“Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan, ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah. Keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda.”
Menurut Carey meskipun Diponegoro menyebut keris itu pusaka keraton, namun berdasarkan babadnya, Kiai Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo.
Keris Kiai Sarutomo diberikan kepadanya ketika berziarah ke pantai selatan kira-kira musim kemarau tahun 1805.
Dalam buku Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, K.H. Muhammad Sholikhin menyebut bahwa Diponegoro memperoleh keris kecil itu (cundrik) dari Ratu Kidul ketika khalwat di Cepuri Parangkusumo. Ratu Kidul mengingatkan agar Diponegoro jangan mau mendapat jabatan apapun yang diberikan Belanda.
“Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin.
Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro saat Diponegoro diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa oleh Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio.
“Keris ini (Kiai Bondoyudo) dibuatnya dari pusaka lain pada tahun kedua Perang Jawa dan lebih sebagai jimat daripada senjata tempur,” kata Carey.
Keris Kiai Bondoyudo dikubur bersama Diponegoro pada 8 Januari 1855 di Makassar.