Liputan6.com, Aceh - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa kasus pencemaran nama baik, Saiful Mahdi dengan pidana penjara selama tiga bulan serta denda sebanyak Rp10 juta. Tuntutan tersebut dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas IA, Selasa siang (17/03/2020).
"Dan, apabila tidak sanggup membayar denda, digantikan dengan hukuman satu bulan penjara," sebut JPU Fitri kepada Liputan6.com, Selasa sore (17/3/2020).
Baca Juga
Dalam tuntutan yang dibacakannya, JPU Fitri mengatakan bahwa Mahdi terbukti bersalah melanggar pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tuntutan tersebut diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan.
Advertisement
"Yang memberatkan, satu, merugikan orang lain, terdakwa ini bersikukuh tidak mau minta maaf, sudah diselesaikan di tingkat universitas melalui senat, kemudian dimediasi untuk minta maaf, juga tidak mau minta maaf," terang Fitri.
Adapun pertimbangan yang meringankan terdakwa, antara lain, tidak pernah berurusan dengan hukum, dan bersikap sopan selama persidangan. Selain itu, mengakui bahwa dirinya yang menulis pesan di WhatsApp Group (WAG) yang telah menyeret dosen statistika Universitas Syiah Kuala tersebut.
Terkait dengan tuntutan tersebut, tim penasihat hukum (PH) dan terdakwa akan membuat pembelaan secara tertulis atau pledoi. Pembacaan pledoi dilaksanakan pada Selasa, 31 Maret 2020.
Seperti diketahui, Mahdi dijerat hukum setelah pesan yang ditulis dan dikirim ke WAG internal berisi akademisi dipermasalahkan oleh koleganya. Dalam kasus ini, salah satu perumus UU ITE juga staf ahli di bidang hukum Kemenkominfo, Prof. Hendri Subiakto, yang dihadirkan di dalam sidang mengatakan yang ditulis Mahdi merupakan kritik dan seharusnya tidak perlu di bawa ke ranah hukum.
"Ini aneh ini, kampus kok bisa seperti ini? Di dunia akademik itu hal yang biasa berbeda pendapat, hal yang biasa ketika ada pendapat yang menyakitkan tapi selesaikan pendapat dengan pendapat informasi dengan informasi bukan ke pengadilan," ketus Hendri, dalam sidang yang telah lalu.
Apa yang dilakukan Saiful Mahdi, disebut Subiakto sebagai sesuatu yang dijamin oleh pasal 28f UUD 1945. Isi pesan tersebut diklaim evaluatif, kendati kata-katanya tidak terlalu eufemistis.
"Kita sudah berkali-kali mendapat hasil, Indonesia level demokrasinya dianggap buruk karena kesalahan penerapan UU yang sebenarnya sejak awal digunakan untuk melindungi HAM, demokrasi," ujarnya.