Sukses

Sarapan Sehat dengan Nasi Sagu Rempah Kaya Antioksidan Khas Kepulauan Meranti

Beragam produksi makanan sagu diperkenalkan di Festival Sagu Nusantara Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, di antaranya Nasi Sagu Rempah kaya antioksidan.

Liputan6.com, Meranti - Rempah-rempah menjadi buruan sejak virus corona covid-19 mulai menginfeksi ratusan warga Indonesia. Kandungan antioksidannya dinilai mampu meningkatkan daya tahan tubuh dan menangkal beragam penyakit berbahaya.

Tidak hanya secara langsung, masyarakat mulai membuat panganan bercampur rempah. Misalnya sagu khas Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, yang disulap menjadi nasi bakar sagu dan nasi sagu rempah oleh doktor dari Universitas Indonesia, Saptarining Wulan.

Nasi bakar dan sagu rempah ini diperkenalkan di Festival Sagu Nusantara Meranti oleh Wulan akhir pekan lalu. Pengelola Putri Sagu ini berharap suatu saat resepnya tersebut menjadi makanan pokok di Indonesia.

Bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Wulan menyebut sudah memisahkan pati sagu dari seratnya sehingga menjadi beras. Beras ini sudah mulai dipasarkan di Jakarta dan berharap bisa dicontoh masyarakat Desa Sungai Tohor.

Wulan langsung mempraktikkan cara membuat nasi sagu rempah di depan warga setempat. Begitu adonan dibakar memakai wadah di atas kompor, bau khas sudah menggoda hidung supaya lidah mencicipinya.

Tidak seperti produk sagu lainnya, nasi bakar ini tidak terlalu lengket di lidah. Ketika di kunyah teksturnya sedikit kenyal dan tak perlu banyak dimakan karena cepat membuat perut kenyang.

"Nantinya masyarakat sini yang identik dengan sagu akan diajarkan bagaimana cara membuat beras sagunya," kata Wulan.

Lain halnya dengan nasi sagu rempah, aromanya lebih menggoda. Rasa rempah seperti lengkuas, jahe dan serai wangi begitu dominan sehingga membuat yang menciumnya ingin cepat mencicipi.

Menurut Wulan, nasi rempah kaya antioksidan ini bisa menangkal beragam penyakit. Wulan juga percaya banyak mengkonsumsi sagu rempah ini bisa membuat tubuh lebih tahan terhadap infeksi virus corona.

"Sebagaimana diketahui, rempah itu bisa menangkal ragam penyakit. Tidak ada salahnya sagu dicampur rempah untuk membiasakan lidah masyarakat Indonesia dengan sagu," kata Wulan.

Simak Video Pilihan Berikut:

2 dari 3 halaman

Rendah Gula

Wulan juga berharap masyarakat Desa Sungai Tohor berinovasi banyak terhadap sagu. Impiannya, sagu dimasa depan menjadi makanan pokok seperti beras dan jagung.

"Ini juga sebagai ketahanan pangan nasional karena produksinya begitu banyak di Meranti," kata Wulan.

Wulan menjelaskan, sagu punya serat lebih tinggi dan rendah gula serta lebih tahan lama di usus. Olahan sagu lebih awet dibanding beras tapi harus cermat membuatnya.

"Sagu ini ibarat tanah liat, banyak air bisa hancur, terlalu sedikit bisa keras," katanya.

Sejak puluhan tahun lalu, sagu menjadi sumber kehidupan masyarakat. Setiap bulan, ratusan ton sagu diproduksi 15 kilang di sana dan sebagian besar diekspor ke Malaysia. Sisanya diolah menjadi makanan oleh masyarakat setempat dan dipasarkan ke berbagai daerah.

Menurut penggerak masyarakat setempat, Abdul Manan, Desa Sungai Tohor menanam sagu sudah dari pendahulu mereka. Warga mengambil manfaat ekonomi sekaligus menjaga gambut yang sangat dominan di sana.

"Orang tua kami dulu tahu tanaman bersahabat dengan gambut itu adalah sagu. Tanaman ini menjaga degradasi gambut karena air asin," jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, banyak perusahaan mendapat konsesi di sana dan membabat hutan gambut tanpa memikirkan ekosistem. Kekeringan gambut mulai terjadi dan puncaknya pada tahun 2014 dan 2015.

Ribuan hektare gambut masyarakat terbakar karena perusahaan mengeringkan gambut di hulu. Asapnya menutup sebagian besar wilayah Riau dan sampai ke Malaysia.

3 dari 3 halaman

Bentuk Koperasi

Kini, masyarakat sudah dibimbing Badan Restorasi Gambut membuat sekat kanal dan embung untuk mempertahankan muka air gambut. Sekat kanal permanen usianya bisa bertahun-tahun ke depan.

"Orang tua dulu juga buat sekat, namanya tebat untuk mengalirkan tual sagu di air. Itu tahannya enam bulan, kalau sekarang sekat kanal tahan lama," kata Manan.

Pria disapa Cik Manan ini menjelaskan, jarak air dengan permukaan gambut adalah 40 centimeter. Lebih ke atas bisa membuat gambut banjir dan lebih ke bawah membuat gambut kering.

"Kalau 40 sentimeter itu ada api takkan dimakan sampai ke dasar, memadamkannya sebentar. Tapi kalau kering gambut, susah padamkan," jelasnya.

Dia berharap festival ini bisa membuat masyarakat berinovasi membuat makanan dari sagu. Dia pun berkeinginan membentuk koperasi sagu masyarakat sehingga pemasaran produk sagu lebih terakomodasi.

"Sekarang sudah ada central sagu terpadu, dengan koperasi mudah memasarkan. Memang butuh biaya, itulah harapan kami dari festival ini," kata Cik Manan.

Tak hanya produk hilir, dia pun berharap ada solusi mengenai varietas sagu sehingga masa panennya lebih cepat. Jika saat ini panen bisa dilakukan ketika sagu berusia 10 tahun, dia berharap ada bibit yang bisa panen saat berusia 5 tahun.