Sukses

Panik Membunuhmu, Kisah Kepanikan dan Ritus Menghadapi Wabah

Ada ritus yang tak masuk akal, namun membuat tenang masyarakat karena percaya. Kuncinya, mengendalikan agar tak ada kepanikan.

Liputan6.com, Semarang - Mari belajar dari kisah masa lalu. Kisah yang entah fiktif entah faktual, namun mampu menginspirasi. Termasuk kearifan lokal dan kepanikan saat menghadapi pagebluk atau wabah. Seperti wabah dunia corona covid-19 saat ini.

Alkisah, Kaisar Konstatinus menugaskan seorang prajurit untuk menaklukkan suku-suku di perbatasan, yakni  suku Franka, Alemanni, Goth, dan Sarmatia. Sang prajurit diperintahkan untuk mengacau dan membunuh 100 prajurit saja.

"Pilihannya hanya dua, berhasil atau mati. Waktumu hanya sepekan,” kata Kaisar.

Sang prajurit tak membantah. Sebagai anggota unit lapangan yang mobil, ia yakin didukung oleh satuan garnisun. Ia pamit kepada isterinya dan minta dibuatkan seragam dengan lima macam warna. Setelah seragam jadi, ia berangkat ke medan tempur.

Hari pertama ia sukses melumpuhkan 10 prajurit musuh. Hari kedua ia berganti seragam dan sukses melumpuhkan 20 prajurit musuh. Hari ketiga kembali ia berganti seragam dan jumlah korban meningkat hingga tiga kali lipat. Begitulah, tiap ganti seragam ia sukses melipatgandakan kemenangan.

Pada hari terakhir, pasukan garnisun yang berjaga-jaga dan siap mengevakuasi mencatat bahwa ia sukses mengalahkan 1000 musuh. Maka ia dielu-elukan sebagai pahlawan.

"Bukankah aku hanya meminta kau mengalahkan 100 musuh? Mengapa sampai 1000 musuh yang kau kalahkan dan dari berbagai suku?” tanya Konstantinus.

"Sebenarnya, saya memang hanya mengalahkan 100 musuh, atau mungkin malah kurang,” kata sang prajurit.

"Lalu sisanya bagaimana kau mempertanggungjawabkannya?” tanya sang Kaisar.

"Mereka mati karena kepanikannya sendiri. Sehingga ketika malam mereka kadang saling bertabrakan dan saling bunuh karena tak mengetahui siapa musuh mereka. Sesungguhnya musuh mereka adalah kepanikan mereka sendiri,” kata sang prajurit.

 

2 dari 4 halaman

Perintah Tak Masuk Akal

Dari kisah ini ada sebuah pesan di mana menghadapi sebuah peristiwa maupun wabah, dibutuhkan ketenangan. Salah satu contoh terjadi di Yogyakarta.

Saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi raja Yogya, pernah memberi perintah aneh ketika Yogyakarta diserang wabah penyakit.

Parto Dikromo, warga Kalibawang Kulonprogo bercerita bahwa ia pernah mendapatkan dhawuh (perintah) agar membuat lodeh Kluwih. Karena saat itu buah kluwih mudah didapatkan, tak ada yang memanfaatkan untuk menaikkan harga. Apalagi hasil masakan saling dibagikan kepada tetangga.

“Saya lupa, ada wabah apa ya dulu. Selain lodeh kluwih juga menggoreng gereh pethek (ikan asin dari ikan petek). Yang tak punya pohon kluwih bisa meminta tetangga,” kata Parto.

Dijelaskan bahwa warga banyak yang melaksanakan perintah itu. Maka interaksi antar warga menjadi lebih semarak.

“Selain itu, lingkungan juga jadi bersih karena malu kalau ada tamu meskipun tetangga sendiri rumah kita kelihatan kotor,” tambahnya.

Perintah itu memang tak masuk akal. Namun karena masyarakat sangat taat pada rajanya, maka rakyat Yogya lebih tenang dan tak ada kepanikan. Segala desas-desus yang dikabarkan dari mulut ke mulut langsung terkonfirmasi.

Ditambahkan, banyak perintah yang sifatnya aneh-aneh. Termasuk membuat dua buah ketupat yang diisi dengan beras kuning dan digantung diatas pintu.

“Paling sering adalah ketika ada tanda-tanda gunung Merapi batuk,” kata Sulistio, warga Sleman.

 Simak video pilihan berikut:

3 dari 4 halaman

Minim Edukasi

Soal kepanikan membawa sengsara juga terjadi di 1984 atau 1985. Saat itu di Kota Tegal ada wabah penyakit cangkrang atau cacar air. Gejalanya adalah tangan gatal lalu muncul benjolan-benjolan kemerahan berair dan bernanah.

Menurut Jahro (45) seorang warga Tegal, ia juga sempat mengalami penyakit tersebut. Saat itu satu sekolah bergantian kena. Dan mereka yang terkena cacar air itu ada saja yang tetap masuk sekolah.

“Dulu kan jarang dokter, apalagi di desa,” kata Jahro.

Penyebaran wabah cangkrang ini melalui bagian kulit yang terinfeksi, lalu benjolan pecah dan cairan benjolan tersebut menyebar ke bagian kulit yang sehat. Wabah ini umumnya menyerang anak usia Sekolah Dasar, dan hanya menginfeksi di area telapak tangan, punggung tangan, dan sela-sela jari tangan.

“Pas sakit dulu, kita tetep sekolah biasa. Nulis aja dulu sampe kesakitan pelan-pelan,” kata Jahro.

Karena tak ada tradisi menenangkan penderita, maka warga menganggap biasa. Mereka mengandalkan tenaga kesehatan yang jumlahnya terbatas. Tak ada juga edukasi mengisolasi diri.

Tiap siswa lalu diberi obat secara gratis. Tetapi tak sedikit juga yang menggunakan obat alami buatan sendiri, seperti menggunakan tanaman bratawali yang ditumbuk lalu dioleskan di tangan. Selain itu juga bisa menggunakan biji Mahoni yang dianggap mampu mengeringkan dan menghilangkan bekas luka.

“Sempat meluas dan warga pada takut ketularan. Tak ada yang menenangkan apalagi mengedukasi,” katanya.

Ada juga wabah kolera. Prapto Riyadi (51) warga Slawi menceritakan kepada Liputan6.com bahwa pada tahun 1974 pernah ada penyakit ini dan menyerang banyak orang.

“Dokter sangat sedikit. Apalagi di desa. Satu-satunya cara adalah bersikap tenang dan menggunakan obat herbal racikan sendiri,” katanya.

Siapapun yang panik, biasanya ada keluarga yang tertular. Ini disebabkan karena mereka tak mau ikut menggunakan racikan herbal dan takut tertular.

“Sebenarnya hanya karena makannya kurang bersih aja sih. Dulu obat paling disukai minuman serbat asem jawa itu,” kata Riyadi.

 

4 dari 4 halaman

Pusaka Menenangkan

Peneliti budaya Jawa Hangno Hartono dari Yayasan Cahaya Nusantara Yogyakarta menyebutkan bahwa ada kearifan lokal dalam setiap ritual. Seperti ketika terjadi wabah influenza di Yogyakarta tahun 1919, Kraton Yogyakarta langsung mengeluarkan panji-panji Kraton yang bernama Kyai Tunggul Wulung.

Panji ini diyakini membawa berkah, apalagi terbuat dari bekas kiswah Ka’bah di Mekah. Bekas kiswah ini didapatkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1784.

“Bendera pusaka milik Kasultanan berwarna wulung (ungu kehitaman) dari kiswah ini pernah disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII-VI 2015) di Yogyakarta,” kata Hangno.

Panglima Keprajuritan Keraton Yogyakarta GBPH Yudhaningrat‎ menyebut, selain kiswah juga ada bendera hijau dengan lafaz tauhid yang dinamakan Kyai Pare Anom. Benda itu menurut Yudha, dikeluarkan bila ada bencana atau wabah.

"Kiai hanya hadir kalau Yogyakarta ada wabah atau bencana, yang pagi sakit, sore mati," kata Yudha.

Zaman Jepang benda yang dianggap keramat itu pernah dikeluarkan karena ada wabah pes. Saat diarak, lanjut Yudha, yang membawa adalah abdi dalem dengan pangkat bupati.

"Dan harus ikhlas, karena akan meninggal dunia setelah itu. Saat itu KRT siapa ya saya lupa, yang menyanggupi membawa tunggul wulung langsung mengumpulkan sanak saudaranya, aku pamit, aku mesti mati," kata Yudha.

Benda itu juga tak bisa diperlihatkan ke publik. Hanya keluarga keraton dan abdi dalem saja yang tahu. Demikian juga saat diarak tak boleh ada yang tahu.

“Saya baca di majalah Mekar Sari nomor XIX Juni 1967 menyebutkan, pada tahun 1919, Kasultanan Ngayogyakarta mengarak bendera pusaka Kiai Tunggul Wulung mengelilingi beteng Kraton Ngayogyakarta. Ini dilakukan saat Yogyakarta terkena wabah penyakit influenza. Dan saat itu wabah mereda,” kata Hangno.

Tak dijelaskan penyebab musnahnya wabah itu, namun untuk menyambut kirab Kiai Tunggul Wulung warga begitu bersemangat sehingga lingkungan lebih bersih.

“Utamanya adalah mengambil energi semesta dan membuat rakyat tenang dan tidak panik,” kata Hangno. (erlinda puspita wardhani)