Liputan6.com, Jakarta - Kurangnya alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis di rumah sakit rujukan pasien corona Covid-19 di daerah-daerah, menjadi kabar buruk yang mesti dicarikan solusi secepatnya. Apalagi jumlah pasien positif virus corona Covid-19 di Indonesia terus bertambah, bahkan sudah meluas ke Ambon dan Papua.
Hingga Minggu, 22 Maret 2020, jumlah pasien positif virus corona Covid-19 di Indonesia sudah menembus angka 514 orang. Tak menutup kemungkin jumlah itu akan terus bertambah jika tidak dicarikan jalan keluar secepatnya.
RSUD TC Hillers di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya. Meski telah ditunjuk pemda sebagai rumah sakit rujukan pasien corona Covid-19, namun faktanya rumah sakit tersebut tidak siap menerima pasien lantaran keterbatasan alkes dan APD.
Advertisement
Kepala Dinas Kesehatan Sikka, Petrus Herlemus dalam rapat koordinasi gugus tugas penanganan covid-19 di aula Bapelitbang, Jumat (20/3/2020) mengatakan, tidak adanya APD menjadi kendala utama yang paling dirasakan tenaga medis di RS tersebut. Apalagi RSUD TC Hillers tengah merawat dua pasien dalam status Orang Dalam Pantauan (OPD) corona Covid-19.
Baca Juga
Dia menjelaskan, petugas dalam satu shift berjumlah 10 orang. Tenaga medis itu dibagi menjadi tiga shift. Idealnya 10 petugas tersebut harus mengenakan APD yang hanya bisa digunakan sekali pakai.
"Sekarang APD yang ada hanya tersisa tiga buah. Ini yang benar-benar membuat kita kesulitan. APD ini wajib bagi petugas. Nah kalau misalkan ada lagi pasien rujukan ODP, maka akan fatal untuk kita. Dan pasti kita akan menolak,” ucapnya.
Hal tersebut juga dikhawatirkan Direktur RSUD TC Hillers dr Mercy Pareira. Dirinya membenarkan rumah sakit rujukan virus corona Covid-19 di NTT itu kekurangan APD.
"Ini yang jadi kendala buat kami. Kalau tidak ada APD, perawat dan dokter di sini agak segan melayani," kata Mercy.
Idealnya RSUD TC Hillers membutuhkan 30 ADP setiap harinya. Jumlah itu diperuntukkan masing-masing 10 pasang untuk setiap shift. Setiap hari ada tiga shift yakni pagi, siang, dan malam.
"Selain APD, RSUD TC Hillers juga membutuhkan tambahan sarana prasarana habis pakai dan viral transport medium (VTM)," ujarnya.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Baju Bekas Operasi Jadi APD
Hal serupa juga dirasakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel.
Selain masker, rumah sakit terbesar di Kabupaten OKI Sumsel yang menjadi rusukan pasin corona ini masih kekurangan pasokan hand sanitizer dan APD.
Diungkapkan Direktur RSUD Kayu Agung Mirda T Zulaikha, kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan sangat berisiko bagi tim medis, terutama yang menangani pasien Corona Covid-19.
"Di tengah penularan Corona Covid-19 yang berkembang masif, kebutuhan sarana medis sangat krusial bagi kami. Apalagi RSUD Kayu Agung menjadi rumah sakit rujukan," katanya kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu. Bahkan untuk menyiasati keterbatasan APD, paramedis terpaksa memakai baju bekas operasi yang dicuci ulang.
“Daripada pelayanan terhenti sama sekali, kami terpaksa,” ucap Mirda.
Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, di Pulau Jawa sendiri masih banyak rumah sakit yang kekurangan APD dan alkes untuk merawat pasien corona Covid-19.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyebut masih membutuhkan ribuan alat pelindung diri (APD) bagi anggotanya yang bertugas di 34 rumah sakit rujukan COVID-19 di Jawa Barat.
Ketua PPNI Jawa Barat Wawan Hernawan bahkan telah menghimpun dana untuk membeli APD untuk perawat di rumah sakit rujukam corona.
“APD ini sangat diperlukan bagi perawat, supaya jangan terjadi kontak yang bermasalah. Contoh saja hari ini masih kekurangan APD baik itu masker, sarung tangan, google, baju dan lain sebagainya,” katanya.
Dirinya juga mengatakan, bahkan ada rumah sakit rujukan di Tasik yang memakai jas hujan sebagai pengganti APD.
Wawan menjelaskan rencana bantuan APD tersebut, tidak hanya ditujukan kepada perawat saja. Karena dalam penanganan pandemi COVID-19 terdapat pula dokter, petugas gizi dan farmasi yang nantinya akan memperoleh bantuan serupa.
Diakui oleh Wawan, kebutuhan APD di setiap rumah sakit disesuaikan dengan kebutuhan. Jika dalam satu rumah sakit terdapat tiga paruh kerja dengan 10 perawat yang bertugas, maka dibutuhkan 30 APD setiap harinya.
“Karena seperti masker yang digunakan hanya bertahan 30 jam dan tidak boleh digunakan kembali. Sudah digunakan langsung dihancurkan dengan cara digunting, ya kalau perlu kita musnahkan ditempat yang masyarakat tidak tahu. Kontribusi pemakaian APD ini memang luar biasa sekali,” ujar Wawan.
Advertisement
Bantuan China
Pemerintah Indonesia hari ini, Senin (23/3/2020), baru saja menerima bantuan alat kesehatan (alkes), termasuk Alat Pelindung Diri (APD) untuk paramedis, dan obat-obatan virus corona Covid-19. Bantuan itu langsung didatangkan dari Republik Rakyat Tiongkok.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menerima bantuan itu secara simbolik di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta mengatakan, bantuan yang terdiri dari 20.000 pakaian pelindung, 15.000 masker N-95, 10.000 sarung tangan sekali pakai, 15.000 masker sekali pakai, serta 10.000 pelindung mata, dengan berat kurang lebih 9 ton itu akan segera didistribusikan ke daerah-daerah, khususnya ke rumah sakit rujukan pasien virus corona di Indonesia.
"Segera didistribusikan ke rumah sakit-rumah sakit dan ini akan kita laksanakan terus-menerus," kata Prabowo.
Bantuan alat kesehatan dan obat-obatan ini diharapkan bisa menjadi jawaban atas kegelisahan paramedis di banyak rumah sakit rujukan di Indonesia, untuk tetap berjuang di garda terdepan memerangi penyebaran corona Covid-19.
Rumah Sakit Khusus Covid-19
Kurangnya APD dan alkes rumah sakit rujukan dalam menangani pandemic corona Covid-19 di daerah menjadi tolok ukur siap atau tidaknya Indonesia menghadapi wabah ini.
Berlian Idriansyah Idris, Dokter Kardiologi yang menamatkan pendidikan Spesialisnya di Universitas Indonesia dalam surat terbukanya bahkan menuliskan, pemerintah perlu menyiapkan RS khusus Covid-19 di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia adalah pilihan yang logis, daripada memusatkan perawatan di Pulau Galang.
“Kita mendorong agar pemerintah pusat segera merealisasikan rencana pembuatan RS khusus COVID-19 baik dari RS yang sudah ada atau mengubah fasilitas lain seperti wisma atlet menjadi RS. Namun janganlah RS khusus tersebut dibuat di pulau Galang. Bagaimana kita bisa membawa pasien ke sana? Indonesia adalah negara yang luas, dengan belasan ribu pulau. Tentu akan sangat sulit untuk merujuk pasien ke sana,” katanya dalam surat tersebut.
Namun, dirinya juga menegaskan, mekanisme penetapan RS khusus ini tidak bisa main tunjuk, apalagi dengan mem-fait accompli, langsung mengumumkan di media massa. Harus benar-benar disiapkan. Berbahaya jika RS dipaksa merawat pasien COVID-19, padahal RS tersebut tidak siap. Ini sangat berpotensi membantu memperluas penyebaran, belum lagi membahayakan mereka yang bertugas. Kita tahu tidak ada RS khusus infeksi selain RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Kebanyakan RS tidak punya fasilitas isolasi khusus yang terpisah. Walaupun kamarnya terpisah, ruang isolasi ini bercampur dalam satu bagian, di satu lantai, dengan ruang perawatan pasien non infeksi. Kriteria ruang isolasi yang ideal pun belum tentu terpenuhi.
“Belum lagi saat ini semua fasilitas kesehatan, puskesmas, klinik dan RS, kesulitan mendapat alat pelindung diri yang terstandar,” katanya.
Tak jauh berbeda dengan Berlian, Ahli Epidemologi yang juga Pengamat Kesehatan UI Syahrial Syarif mengatakan, di tingkat provinsi Indonesia perlu bersiap menghadapi skenario terburuk penyebaran virus corona Covid-19. Perbandingan kebutuhan rumah sakit di daerah untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala ringan-sedang dan berat harus 4 berbanding 1. Artinya, katanya, kalau provinsi punya 1.000 bed, perlu 4.000 bed untuk pasien ringan sedang.
"Alihfungsi wisma atlet bisa jadi contoh. Namun Pemda harus memaksimalkan kerja sama dengan swasta yang ada," katanya.
Kerja sama pemda dan swasta itu bisa menggunakan skema RS pemerintah dan swasta tipe B dan C digunakan untuk merawat pasien yang serius, sementara RS tipe D digunakan untuk pasien ringan dan sedang.
"Jika tidak cukup, baru bisa menggunakan fasilitas yang dialihfungsikan untuk merawat pasien sedang dan ringan," katanya.
Skenario ini, kata Syahrial, paling tidak perlu dipertimbangkan daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur.
Advertisement