Sukses

Rekomendasi Pakar Hukum Tata Negara UMI Makassar Terkait Kondisi Darurat Corona 

Perppu diperlukan dalam kondisi darurat saat wabah corona covid-19 sudah mengancam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pandemi virus corona covid-19. Dia menilai Perppu sangat mendesak untuk mengatasi wabah ini.

"Saatnya Presiden mempertimbangkan opsi state of emergency sesuai prinsip necessity. Perppu itu untuk situasi darurat karena virus corona ini," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/3/2020).

Menurut Fahri, materi muatan Perpu yang dianggap mendesak nanti cakupannya sangat holistik serta teknis, baik pada lapangan penanganan Covid-19, mau pun pada aspek ekonomi, fiskal, serta ketatanegaraan. Itu semua harus diatur secara cermat dan sistemik seperti pengaturan harmonisasi UU No. 4/1984 tentang wabah penyakit menular dan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini penting agar pencegahan penanganan Covid-19 dapat berjalan sistematis.

"Hal yang perlu diatur dalam soal ini termasuk masih belum adanya peraturan pelaksana (PP) terkait implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti aturan memaksa serta sanksi social distancing dan lain-lain, untuk pengaturan sanksi social distancing agar mempunyai daya memaksa, maka idealnya diatur dalam UU," ujar Fahri.

Fahri mengatakan, pada aspek ketatanegaraan jika dalam keadaan darurat karena covid-19 Perppu tersebut juga nantinya untuk mengatur penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 23 September 2020.

"Karena hal tersebut tidak cukup diatur dengan dasar hukum berupa Keputusan KPU atau semacam edaran. Ini membutuhkan produk hukum setingkat UU," tutur Fahri.

 

Saksikan Video Ini

2 dari 3 halaman

Cakupan Perppu Corona

Fahri menambahkan, Perppu tersebut juga sebagai pengaturan tentang merombak postur APBN. Menurut dia, hal ini mendesak dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nasional saat ini, dengan prioritas untuk mengarahkan seluruh sumber daya nasional yang ada untuk mengatasi Covid-19, termasuk mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar.

"Hal ini penting mengingat jangan sampai DPR tidak dapat melaksanakan tugas konstitusional secara normal karena tidak bisa malakukan rapat serta sidang paripurna secara normal," jelasnya.

Materi Perppu, kata Fahri, juga memuat pengaturan tentang mengamankan ketersediaan logistik obat, desinfektan, handsanitizer, serta alat-alat kesehatan lainya, menjamin ketersediaan tenaga medis, volunter, memberikan sanksi hukum bagi semua pihak baik perorangan maupun badan hukum yang secara sengaja mencegah, merintangi ataupun menggagalkan upaya penanggulangan penyebaran Covid-19.

"Perppu juga mengatur tentang pemberian sanksi hukum yang tegas kepada setiap orang/badan hukum yang secara sengaja menimbun, menguasai alat-alat kesehatan, serta mengatur tentang ketersediaan distribusi dan subsidi bahan pokok dari kelangkaan yang disebabkan oleh panic buying," papar Fahri.

Begitu juga dengan pengaturan mengenai jaminan keleluasaan pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan pengadaan barang dan jasa dalam penanganan wabah Covid-19. Maka karena kondisi darurat, Fahri Bachmid menjelaskan bahwa kaidah pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan penanganan Covid-19 terlepas dari instrumen hukum yang diatur dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 13 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa.

Secara normatif mengatur bahwa dalam kondisi tertentu bisa dilakukan dengan penunjukan langsung. Menurut dia, agar lebih protektif hal itu dapat diperintahkan lewat Perpu.

Fahri menjelaskan, pengaturan mengenai pelibatan TNI/Polri dalam mengatasi keadaan tertentu untuk menanggulangi Covid-19 dengan menyelaraskan UU RI No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang POLRI juga perlu diatur dalam Perrpu.

"Hal ini penting untuk mengatur sejauh mana peran TNI/Polri sebagai organ negara strategis dalam mengatasi pendemi covid-19 ini,” ungkapnya.

Sejauh ini penularan Covid-19 sudah terjadi di 28 provinsi di Indonesia. Dampak wabah virus corona ini cukup luas, terutama dalam sektor perekonomian nasional. Menurut Fahri Bachmid, hal ini sangat riskan dan mengkhawatirkan, sehingga perlu dicarikan solusinya.

"Terutama untuk mengatasi serta menyelesaikan berbagai hambatan teknis serta memastikan bahwa lembaga-lembaga negara konstitusional tetap bekerja dan berjalan sebagaimana mestinya," kata dia.

Untuk itu menurut Fahri, Presiden Jokoi segera menetapkan status keadaan bahaya atau darurat nasional. Memang ada konsekuensi secara hukum tata negara jika presiden sebagai kepala negara mengdeclare keadaan darurat nasional. Ini, menurut Fahri, memungkinkan pemerintah untuk mengubah peraturan tertentu agar diorientasikan untuk mengatasi pandemi.

"Secara derivatif perlu disediakan fasilitas hukum yang memadai untuk menerobos dan bekerja secara efektif dalam keadaan serta situasi genting seperti saat ini," ujarnya.

Menurut dia, sudah saatnya presiden mempertimbangkan opsi keadaan bahaya sesuai dengan doktrin proportional necessity dan self-preservation. Dalam ajaran hukum tata negara, ada beberapa ancaman variasi ancaman keadaan yang berhabahaya. Seperti bencana alam (natural disaster) atau kecelakaan yang dasyat atau semacam wabah penyakit atau pendemi yang menimbulkan kepanikan, ketegangan dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

"Keadaan seperti ini tercakup dalam pengertian keadaan darurat sipil yang dapat disebut sebagai walfare emergencies. Dengan demikian maka presiden dapat menggunakan situasi materil seperti itu untuk menggunakan kewenangan konstitusional eksklusivnya dalam mengatasi keadaan objektif nasional saat ini," papar dia.

Menurut Fahri, prinsip necessity atau prinsip adanya keperluan yaitu mengakui hak setiap negara yang berdaulat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara. Untuk kepentingan itu, menurut Fahri, maka hakikatnya adalah keadaan bahaya.

 

3 dari 3 halaman

Kondisi Genting

Dengan begitu, sistem norma yang dipakai adalah dalam keadaan bahaya atau darurat maka norma hukum biasa tidak dapat diterapkan untuk mengatasi keadaan yang tidak normal state of exeption, sehingga diperlukan norma hukum khusus agar kekuasaan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya untuk mengatasi Covid-19 ini.

"Maka materinya dimaksudkan agar dapat mengatasi keadaan tidak normal itu, bersifat sementara sampai keadaan darurat itu berahir, dituangkan dalam bentuk hukum yang tersendiri dan spesifik," tuturnya.

Ia menyebutkan, selama ini instrumen hukum normal digunakan untuk mengatasi covid-19. Seperti : UU RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penangulangan Bencana; UU RI No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU RI No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit dan Menular, PP RI No. 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dan Permenkes RI No. 82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular dan lain-lain.

Menurut Fahri, secara normal pijakan hukum melalui instrumen perundang-undangan yang ada masih menyisihkan persoalan teknis serta menimbulkan hambatan nantinya.Fahri menyarankan, presiden dapat mengeluarkan Perrpu untuk mengatasi beberapa hambatan hukum dan kebijakan strategis dan substansial, baik pada sektor keuangan, fiskal, moneter, maupun pada lapangan administrasi publik lainya.

Untuk kepentingan ini, berdasarkan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, disebutkan Fahari, ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk menetapkan Perppu.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

"Ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif staatsnoodrecht menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera. Sedangkan kebutuhan akan pengaturan materil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak, sehingga pasal 22 UUD Tahun 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada presiden untuk menetapkan Perppu," kata Fahri.