Sukses

OPINI: Obor Barus dan Api Bahasa Indonesia

Mengapa dengan obor Barus dari Tapanuli, Sumatra Utara? Memang, kegelapan masih tampak dalam perjalanan bahasa Indonesia. Jejak lingua franca dari situs memori kota kuno, Barus, bisa jadi titik api penerang.

Liputan6.com, Jakarta - Mengapa dengan obor Barus dari Tapanuli, Sumatra Utara? Memang, kegelapan masih tampak dalam perjalanan bahasa Indonesia. Jejak lingua franca dari situs memori kota kuno, Barus, bisa jadi titik api penerang.

Liputan6.com (Yopi Makdori pada 20-02-2020, pukul 23:56 WIB) menerbitkan laporan yang bertajuk ”Mimpi Nadiem Jadikan Bahasa Indonesia Bahasa Pengantar Asia Tenggara”. Dalam laporan itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menyatakan, “Enggak tau apakah ini bisa tercapai, tapi kita harus punya mimpi besar.”

Bahasa kita masih sulit mencapai Asia Tenggara karena faktor geopolitik. Bahasa Indonesia memang termasuk peringkat ke-10 pada daftar 100 Bahasa Berpenutur Terbanyak Sedunia (‘The 100 Most Spoken Languages Around Worldwide’: Imam Ghost, 15 Februari 2020). Di sana, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bentuk lingua franca dari varian Melayu (Selat) Malaka.

Terobosan Barus

Dunia bahasa masih tampak begitu gelap katupnya, sehingga gagasan Indonesia tidak mudah mengalir ke warga negara asing, bahkan ke warga Asia Tenggara. Ke Thailand, misalnya, pengajar BIPA dikirim dari Indonesia untuk sebuah universitas pada tahun 2018.

Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing/BIPA itu masih dinarasikan sebagai konsentrasi mata pelajaran; aksi kegiatan jurusannya tetap berbahasa Melayu. Memang, perlu terobosan berbentuk narasi dan aksi agar bahasa kita dapat diterima di Asia Tenggara guna mengangkat martabat Indonesia di mata internasional.

Tanpa pengakuan Barus, agaknya, gagasan bahasa kita belum tampak terang-benderang dalam narasi dan aksi. Aksi obor Barus ini perlu untuk terobosan menyalakan api semangat atas perjumpaan umat manusia yang berbeda-beda—dalam lintasan ras dan agama—dengan jembatan bahasa: pengantar perdagangan kapur barus di masa silam (bahkan, ada di masa Ramses II: jauh sebelum abad Masehi).

Sekarang, dalam bahasa persatuan Indonesia, jembatan perbedaan bangsa ini dimimpikan dapat terhubung dengan bangsa lain, terutama dengan mereka di Asia Tenggara.

Api semangat berkeindonesiaan di dunia internasional tersebut sangat menyala ketika penginternasionalan bahasa Indonesia dipandang dalam proyeksi narasi sejarah sebagai gerakan kebangsaan. Gerakan ini sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mengenai bahasa negara dan arah Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 mengenai bahasa Indonesia yang ditingkatkan fungsinya untuk menunjukkan jati diri dan daya saing bangsa Indonesia.

Dalam hal ini, menurut laporan Liputan6.com tersebut, api semangat telah dinyalakan untuk menjadikan Indonesia: bukan hanya pemimpin dari sisi ekonomi saja, melainkan juga dari sisi budaya dan sisi bahasa.

Patut dicatat di sini bahwa dari sisi budaya dan bahasa, di dalam ruang gerak bangsa Indonesia sekarang pada saat wilayah NKRI harga mati, terdapat tiga isu strategis. Tiga isu kewilayahan itu terperinci dalam buku Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan (Mahsun, 2015) sebagai berikut: (1) isu kemelanesiaan di Indonesia bagian timur, (2) isu otonomi daerah di Indonesia bagian tengah, dan (3) isu kemelayuan di Indonesia bagian barat. Di tiga wilayah Indonesia tersebut, gerakan itu terpola sangat sistematis, massif, dan terstruktur untuk meredupkan api semangat berkeindonesiaan.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Berkembangnya Isu Bahasa

Meskipun segmentasi kewilayahan NKRI itu berdasarkan fakta budaya dan bahasa, tidak tertutup kemungkinan di baliknya terdapat motivasi ekonomi. Sebagai contoh kasus, sejauh ini, isu kemelayuan berkembang lintas-batas ruang kebangsaan di kawasan Asia Tenggara. Pusat isu kemelayuan sebagaimana gambaran peta politik bahasa dari Imam Ghost tersebut berada di seputar Selat Malaka: basis ekonomi perdagangan se-kawasan sejak era Kesultanan Malaka. Pada abad ke-15 titik pusat perekonomian itu ada dalam kekuasaan Sultan Iskandar Syah atau Parameswara dari Kerajaan Sriwijaya, yang dalam narasi sejarahnya berbudaya dan berbahasa Melayu kuno (Melayu pra-Islam: Hindu-Buddha).

Perkembangan terkini isu kemelayuan tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah budaya dan bahasa Indonesia yang hendak diinternasionalkan, setidaknya di kawasan ini. Setakat ini, masih ada teorema bahasa Indonesia sama persis atau sejajar dengan bahasa Melayu. “Yang sebenarnya, bahasa Melayu Kepulauan Riau (Riau pada masa lalu) secara utuh dan menyeluruh menjadi bahasa Indonesia atau nama lain daripada bahasa Melayu,” tulis Abdul Kadir Ibrahim (2013) dalam buku Tanah Air Bahasa Indonesia.

Kerangka narasi sejarah bahasa tersebut menjadikan argumen pembenaran asal-usul bahasa Indonesia dari kawasan kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga. Kerajaan yang menguasai negeri-negeri di sekitar Malaka itu diklaim oleh Awang Sariyan (2018) sebagai kewujudan sistem pemerintahan di tangan bangsa Melayu hingga kini dengan bahasa Melayu sebagai bahasa resminya.

Klaim pengetahuan seperti pengakuan Sariyan itu telah dikukuhkan oleh James T. Collins (2005) dalam buku Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Klaim itu menunjukkan terputusnya mata rantai narasi sejarah bahasa kita dengan titik nol peradaban di Barus.

Terobosan Barus--dengan jejak sejarah peradaban sebagai kota pelabuhan internasional pertama di kawasan, menurut pandangan arkeologis (Ketut Wiradyana, 2020)—merupakan jalan pembuka di dalam lorong waktu sepanjang perjalanan atau pergerakan pada manusia Indonesia. Dari titik perjumpaannya di Kota Barus kala itu, pada satu sisi, Indonesia diketahui tidak terbatas asal-muasal manusianya dengan ras Melayu-Polinesia.

Obor Barus secara simbolik menarasikan api semangat berkeindonesiaan dalam satu bahasa pengantar kita atas beragamnnya ras dan agama juga. Pada sisi lainnya, api Barus ini bisa jadi pemantik semangat kebangsaan dalam keberagaman di kawasan Asia Tenggara.

3 dari 3 halaman

Dari van Ophuijsen ke Sanusi Pane

Titik api dari obor Barus merupakan cahaya penerang atas dunia bahasa (manusia) Indonesia: baik dalam hubungan Indonesia dengan dunia Melayu (termasuk, dunia Melayu dunia Islam/DMDI) maupun dalam relasinya dengan dunia yang lebih besar (relasi antara bahasa/budaya Austronesia dan bahasa/budaya Melanesia).

Dalam konteks berkeindonesiaan itu lingua franca berkembang dan perkembangannya sebagai bahasa persatuan kita terkait erat dengan prakarsa Charles Adrian van Ophuijsen hingga ke gerakan Sanusi Pane. Jejak dua tokoh itu ada di wilayah Tapanuli.

Ihwal DMDI dari Barus, Tapanuli terbaca dalam karya sastra Melayu Islam, sebagaimana temuan A. Teeuw (1994), paling awal dari sastrawan sufi Hamzah Fansuri (abad ke-16). Dengan nama Fansur, perintis bahasa Melayu klasik ini berasal dari Kota Barus, yang pada abad ke-7 telah terdapat warga keturunan Arab (lihat situs makam Syekh Rukunuddin bertarikh 48 Hijriah).

Dari titik nol kota itu, berkembang begitu pesat tradisi literasi Arab-Melayu dan terseraplah kosakata Arab—setidaknya 2.000 butir leksikal, menurut Abdul Hadi (2000)—ke dalam bahasa dan budaya bahasa Melayu dari khazanah sastra Islam itu.

Baik di dalam maupun di luar ihwal DMDI tersebut, dunia bahasa Melayu berkembang lebih lanjut dengan tradisi literasi Latin-Melayu. Tradisi beraksara Latin ini, bahkan, telah menjadi budaya literasi di luar kelompok penutur Austronesia (bukan kelompok ras Melayu-Polinesia), sebagaimana terlihat sekarang di Indonesia bagian timur hingga di Merauke, Papua.

Gerakan literasi berkeindonesiaan ini tentu pada awalnya menggunakan tata bahasa Kitab Logat Melayu (1901) dari van Ophuijsen, yang sekitar tahun 1890 duduk dalam jabatan kepala sekolah guru (Kweekschool) di Padangsidimpuan, Tapanuli.

Sekolah guru terbaik di masa kolonial Belanda itu diperkirakan telah menghasilkan banyak sosok guru kebangsaan Indonesia. Seorang sosok guru di antaranya ialah Soetan Pangoerabaan Pane, yang berhasil mewariskan api semangat berkeindonesiaan kepada anak didik dan anak sendiri. Tak-banyak yang ingat ada Sanusi Pane, yang menggerakkan lahirnya bahasa persatuan Indonesia pada tahun 1926 dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

Ingat pula bahwa pendiri Perhimpunan Pemuda Indonesia (semula, Indische Vereneeging di Belanda pada tahun 1908) adalah Soetan Kasajangan Soripada: salah satu murid dari van Ophuijsen di sekolah guru Padangsidimpuan.Dari kota Barus ke kota Padangsidimpuan, sekarang, marilah kita gerakkan aksi obor atau api semangat berkeindonesiaan (nantinya, aksi di seluruh wilayah NKRI: dari Barus ke Barus). Aksi ini pengingat tiga hal.

Pertama, kelahiran bangsa Indonesia dalam lintasan ras dan agama, sebagaimana berjumpanya beragam umat manusia di kota kuno Barus. Kedua, perjumpaan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bersatu atas bahasa pengantar atau lingua franca yang digerakkan kelahirannya menjadi bahasa persatuan Indonesia oleh tokoh pergerakan kebangsaan (putra asli Tapanuli, Sumatera Utara: Sanusi Pane).

Ketiga, ini tak-kalah pentingnya dari aksi obor Barus untuk bahasa kita pada hari ini. Di tengah kesibukan bersatu melawan wabah Koronavirus (Covid-19), persatuan Indonesia pun tetap terjaga. Nyala obor Barus mengaktifkan narasi bahasa persatuan kita sebagai lingua franca dalam proyeksi peradaban umat manusia di kawasan Asia Tenggara. Inilah indahnya mimpi Indonesia dalam kegelapan pada malam hari!---

*Maryanto. Penulis adalah pemerhati politik bahasa.