Liputan6.com, Dharmasraya - Ringkih bunyi motor mengiringi perjalanan menuju Jorong Koto Lamo, Nagari Lubuk Karak, Kecamatan IX Koto, Dharmasraya. Butuh waktu 1,5 jam dari Sungai Daerah menuju Nagari Lubuk Karak. Sesekali tersentak, karena ban motor menerjang lubang yang cukup dalam.
Hal ini sangat lumrah terjadi, jalan yang dilalui memang kondisi tanahnya berbatu, menanjak dan sedikit sekali yang telah di beton. "Namun, itu pula seninya," sebut Julniwarnis (39), atau akrab dipanggil Ni Jul.
Ni jul merupakan masyarakat Nagari Lubuk Karak yang berdomisili di Jorong Koto Lamo. Saat kami temui, Ni Jul sedang berada di rumahnya, memisahkan buah rambutan dan buah langsat yang memang baru dipanen pagi ini dari kebunnya.
Advertisement
Tidak hanya buah-buahan, Ni Jul juga telah menyiapkan Godok Durian, makanan khas Lubuk Karak ketika musim durian berlangsung.
Berlimpahnya buah durian di kampung ketika musim durian, membuat masyarakat mencari inovasi baru agar bisa memanfaatkan durian.
"Kalau dimakan langsung, kami sudah bosan, buah durian sangat melimpah saat ini," katanya.
Ni Jul dan suaminya, Sudirman (40) atau akrab dipanggil Pak Sudir, kami temui bukan tanpa alasan. Dua orang ini merupakan anggota dari Kelompok Tani Harapan Baru Jorong Koto Lamo.
Baca Juga
Mereka berdua boleh dikatakan sosok pembaharu yang menginginkan adanya perubahan dalam pola berpikir terkait pertanian dan perkebunan di Jorong Koto Lamo. Dengan tergabung dalam Kelompok Tani Harapan Baru Jorong Koto Lamo, mereka mulai melakukan pembudidayaan tanaman kopi.
Sambil sesekali mengupas rambutan dan langsat yang telah dihidangkan, Ni Jul dan Pak Sudir mulai bercerita. Budidaya Kopi di Jorong Koto Lamo sudah dimulai sejak awal tahun 2019.
Namun perencanaan dan penyediaan bibit sudah mereka lakukan pada akhir tahun 2018. Boleh dikatakan tanaman kopi yang telah ditanam di kebun sudah berumur hampir 2 tahun.
Budidaya kopi di Jorong Koto Lamo merupakan suatu hal yang baru. Sebelumnya, masyarakat di sini belum pernah membudidayakan kopi.
Sumber pemasukan ekonomi masyarakat lebih dominan didapatkan dari hasil bertani sawah, manggis, rambutan, duku dan durian serta yang paling ekstrem dan memiliki dampak lingkungan yang buruk adalah kegiatan illegal logging.
"Hampir seluruh masyarakat di sini menggantungkan hidup dari hasil berkayu, terutama kelompok bapak-bapak. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, kami mulai meninggalkan aktivitas perkayuan," ujar Pak Sudir.
Meskipun alasan pemicu di balik berkurangnya aktivitas berkayu didasari oleh razia besar-besaran yang dilakukan pihak berwenang untuk menerapkan Zero Illegal Logging yang pada prinsipnya, kebijakan ini muncul akibat dari maraknya pencemaran Hulu Sungai Batang Hari, imbas dari maraknya praktik illegal logging dan illegal mining.
Sehingga ruang gerak praktik illegal logging sangat tertutup dari berbagai sisi. Konsekuensinya, masyarakat mulai memikirkan sumber ekonomi alternatif untuk mensubtitusi hasil dari berkayu yang selama ini menjadi sumber pemasukan.
Sementara pada akhir bulan Desember 2019 lalu, Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Hermanto pun melakukan rapat koordinasi dengan para pihak untuk memutus rantai kegiatan ilegal yang terjadi.
Adapun hasil rapat, mengungkap memang betul sudah terjadi illegal logging dan illegal mining di antaranya di Kabupaten Solok Selatan, Pesisir Selatan, Dharmasraya, dan Sijunjung.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Kopi dan Konservasi di Lubuk Karak
Pembudidayaan kopi di Lubuk Karak dirintis oleh Kelompok Tani Harapan Baru, yang berjumlah 28 orang dan berpusat di Jorong Koto Lamo.
Sementara itu, di Nagari Lubuk Karak sendiri ada 6 Jorong, yaitu Jorong Sumanik, Jorong Singolan, Jorong Siraho, Jorong Lubuk Karak, Jorok Sungai Kapur dan Jorong Koto Lamo. Saat ini, budidaya kopi masih terbatas di Jorong Koto Lamo dan belum dikembangkan di Jorong yang lain.
Awal mula penerapan budidaya kopi diinisiasi oleh Fasilitator Komunitas pendamping di wilayah tersebut, yaitu Bimo Premono. Ia yang juga kemudian memfasilitasi kelompok untuk memperoleh bibit kopi, melalui dukungan KKI Warsi pada akhir tahun 2018.
Bibit kopi untuk kelompok Tani Harapan Baru diperoleh dari salah satu lokasi pembibitan di Solok Selatan. KKI Warsi memberikan dukungan bantuan bibit sebanyak 13.000 batang dan dibagikan kepada 28 orang anggota kelompok dengan masing-masing memperoleh 250 batang per orang. Sebelum itu, anggota kelompok juga sudah diberikan pelatihan singkat mengenai budidaya kopi.
Penanaman bibit tidak butuh waktu yang lama, segera setelah bibit diperoleh dan sampai di nagari, anggota kelompok langsung menanam di kebun masing-masing.
Budiman, selaku ketua Kelompok Tani Harapan Baru, menyebutkan bahwa anggota kelompok rata-rata memiliki luas lahan paling sedikit satu hektare. Sehinggga, bisa diasumsikan masing-masing orang telah menanam kopi di lahan masing-masing dengan luas 0,5 hektare.
"Maka, hingga saat ini, diperkirakan ada 10 hektare tanaman kopi yang sudah dibudidayakan di Jorong Koto Lamo," kata Budiman.
Membangun hasrat masyarakat untuk berbudidaya kopi di Jorong Koto Lamo, tidak semudah yang dibayangkan dan terjadi begitu saja. Hasrat masyarakat itu muncul, seiring dengan intensitas diskusi yang terus-menerus dilakukan oleh fasilitator.
Setiap diadakan agenda pertemuan fasilitator senantiasa menggali informasi dan potensi yang bisa dikembangkan sebagai sumber ekonomi alternatif untuk meminimalisasi aktivitas perkayuan. Beruntung usaha giat dari fasilitator komunitas KKI Warsi disambut baik oleh masyarakat di Jorong Koto Lamo.
Segera setelah pertemuan terakhir diadakan, kemudian disepakati bahwa KKI Warsi akan memfasilitasi masyarakat untuk penyediaan bibit, masyarakat Jorong Koto Lamo yang diwakili oleh Kelompok Tani Harapan Baru, diajak ke Solok Selatan, selain untuk kunjungan belajar sekaligus untuk menjemput persediaan bibit kopi.
Pada kondisi terkini, secara pemahaman dan pengetahuan sederhana dan singkat, anggota kelompok Tani Harapan Baru telah mampu untuk menerapkan proses dari awal pembibitan, penananaman, pemeliharaan hingga pemanenan, berbekal ilmu yang diperoleh melalui pelatihan oleh KKI Warsi.
Semangat untuk beralih dari aktivitas berkayu menuju pertanian agroforest kopi tentu mesti dipandang sebagai suatu semangat konservasi yang dilatarbelakangi oleh kesadaran masyarakat lokal itu sendiri dalam melihat kondisi kawasan hutan dan lingkungan yang semakin kritis dan tingkat destruksi amat tinggi.
Kalau saja tidak ada itikad baik untuk mengubah pola perilaku dan tetap bertahan dengan kultur lama yang telah terpatri, lambat laun akan berimbas pada masa depan generasi mendatang.
Kelompok Tani Harapan Baru selaku pionir dalam pengembangan agroforest kopi di Nagari Lubuk Karak, Jorong Koto Lamo, menaruh asa yang besar pada komoditas baru ini.
Kelompok sudah mampu mandiri, meskipun kendala seperti bantuan pupuk yang terbatas dan waktu panen yang butuh kesabaran agak cukup lama dibanding tanaman muda/holtikultura yang bisa dipanen dalam waktu dekat, menjadi ujian kesabaran Kelompok Tani Harapan Baru.
Menurut perkiraan, asa yang telah ditanam pada sebatang kopi, tidak lama lagi, sekitar tahun 2021, akan mampu dituai oleh masyarakat.
Harapannya asa ini akan menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat, dengan tetap memperhatikan asa akan konservasi hutan dan lingkungan, setidaknya untuk Nagari Lubuk Karak.
Penulis: Nabhan Aiqani/ Spesialis Manajemen Pengetahuan KKI Warsi
Advertisement