Liputan6.com, Aceh - Hamparan air laut terlihat diam dan tenang. Permukaannya memerak diterpa sinar matahari sore, sementara, segaris dengan siluet pelintang, gugusan pulau tampak mengabur di kejauhan.
Sebagian besar kapal telah merapat, seperti barisan kuda pacu yang sedang menanti pecutan dengan tiang-tiang kecil yang menjulang seperti joran. Ada aroma khas yang meruap dari kapal-kapal tersebut, perpaduan antara bau limbah ikan, lumut di badan kapal, serta segala bebauan yang berasal dari lambung dan kamar mesin, yang membuat isi perut berputar.
Baca Juga
Tidak ada tanda-tanda aktivitas kecuali beberapa suara lelaki yang terdengar saling menyeru dan bergema di sela-sela kapal tersebut. Namun, suasana di dermaga terasa sangat hiruk.
Advertisement
Lusinan orang lalu lalang tiada henti, terlibat saling tawar dengan para pedagang ikan yang rata-rata menumpuki barang dagangannya di atas terpal pelapis meja berkaki pendek atau stirofoam.
Seperti suasana pasar ikan pada biasanya, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Kota Madya Banda Aceh terlihat agak becek, beruntung tempat itu terbuka sehingga bau amis tidak terkurung.
Di tengah situasi pandemik, aktivitas di TPI tersebut tidak banyak berubah, tidak berbeda dengan sebagian besar aktivitas sejak status "jam malam" dicabut. Tidak ada pembatasan jarak secara fisik, kecuali sejumlah pembeli dan pedagang yang tampak mengenakan masker.
Harga ikan yang dijual di tempat itu pun tergolong normal. Itu karena para nelayan tidak membatasi aktivitas mereka untuk melaut.
Simak Video Pilihan Berikut:
Diresmikan 2014
TPI Lampulo merupakan pusat perdagangan ikan segar di kota tersebut sejak diresmikan pada 2014. Kapal-kapal akan berlabuh membawa ratusan ton ikan yang siap dilelang bahkan pembeli datang dari daerah lain.
Pada 2015, pemerintah kota memunculkan wacana hendak memindahkan pasar ikan Peunayong berdekatan dengan TPI Lampulo. Rencananya pasar ikan Peunayong akan dialihfungsikan sebagai pasar wisata karena dianggap memiliki nilai sejarah.
Setahun yang lalu, para pedagang ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja direlokasi ke kawasan pesisir tersebut. Lapak para pedagang dialihkan ke depan pintu gerbang pelabuhan.
BKIPM Kementrian Kelautan (KKP) RI pun telah membuka kantor Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan Aceh di TPI tersebut. Kawasan itu dikenal pula dengan wisata "kapal di atas rumah".
Kapal tersebut disebut-sebut telah menyelamatkan puluhan nyawa saat semong menerjang Aceh pada 2004. Gelombang besar telah menyangkutkan kapal tersebut ke atas atap sebuah rumah yang masih dirawat hingga kini.
Advertisement
Mi Aceh Plus Ikan Tongkol
Tapi, salah satu hal yang mesti dicoba di tempat itu ialah menyantap mi Aceh yang dicampur dengan cacahan daging ikan. Makanan satu ini cukup akrab di kalangan orang-orang yang tinggal di kawasan pesisir itu.
Resep tersebut sebenarnya tidak ada di dalam menu. Warung-warung yang berjualan di dalam kawasan TPI Lampulo hanya menyediakan mi Aceh biasa.
Pembeli dapat membawa ikan segar —baiknya anak ikan tongkol (Mackerel tuna) atau disebut jeureubok di Aceh— yang dibeli di dermaga. Kemudian meminta tukang masak untuk mengolahnya.
Tidak ada bumbu khusus. Potongan ikan tersebut sebenarnya hanya menjadi tambahan seperti suwiran daging ayam atau telur.
Daging ikan yang telah dipotong-potong kira-kira seukuran satu buku jari orang dewasa langsung diaduk dalam adonan mi setelah dipastikan bersih dari tulang. Satu anak ikan tongkol cukup untuk seporsi.
Kuah mi yang kental "meleleh" dan panas bercampur potongan daging ikan matang akan menjadi sensasi tersendiri di lidah.Â