Sukses

Istri Diambil Orang, Seorang Narapidana Menolak Bebas

Seorang narapidana di Rutan Samarinda menolak mengambil program asimilasi pembebasan bersyarat karena tidak memiliki keluarga.

Liputan6.com, Samarinda - Panggil saja namanya Ambo, pria berusia 42 tahun yang sedang menjalani hukuman penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIA Samarinda. Harusnya, pria asal Parepare, Sulawesi Selatan ini bisa menghirup udara bebas sejak 7 April 2020 lalu.

Lewat program asimilasi saat pandemi Covid-19, sebanyak 141 narapidana mendapat pembebasan bersyarat. Rutan yang terletak di Jalan KH Wahid Hasyim 2 itu berupaya mencegah penularan Covid-19 dengan melakukan pengurangan narapidana di dalam penjara.

Ambo menolak program itu. Dia memilih tetap berada di penjara, menjalani seluruh masa hukumannya.

Alasannya sederhana, tak ada rumah yang dituju saat bebas nanti. Tentu juga tidak ada sambutan kebahagiaan penuh haru menanti. Perantauan di Kota Samarinda ini mengaku tak memiliki keluarga di Kota Samarinda.

“Biar saya keluar, tidak tahu ke mana arahnya, kalau di sini sudah banyak teman,” dalihnya penuh semangat saat ditemui di rutan, Selasa (14/4/2020).

Saat ditanya soal kasus yang menjeratnya, Ambo dengan ringan menceritakan saat dia harus disidang dengan tuduhan pelaku peredaran narkotika. Sidang itu memutuskan jika Ambo bersalah dan harus menjalani hukuman 4,5 tahun penjara.

Dari putusan pengadilan itu, dia sudah menjalani masa tahanan selama 2,5 tahun. Waktu yang tidak sebentar bagi siapapun dan ingin segera bebas.

Saat ditanya soal keluarga, raut muka Ambo berubah. Suaranya pun tidak selantang dan sesantai saat wawancara dimulai.

“Tidak ada keluarga. Sedangkan orangtua sudah meninggal, istri diambil orang,” katanya sedikit terbata-bata.

Pengucapan kata istri saja, Ambo seolah harus sedikit memaksa bibir dan lidahnya bergerak. Ada sesuatu yang tertahan, ada raut kekecewaan.

“Saya memang perantau ke sini, ikut sama orang,” sambungnya.

Dia bercerita, saat merantau ke Samarinda Ambo membawa serta istrinya untuk mengadu nasib. Untuk menyambung hidup, Ambo berjualan ikan di Pasar Segiri, Samarinda.

Sudah rahasia umum, dahulu pasar ini adalah zona merah peredaran narkotika. Polisi sampai harus membuat posko khusus untuk mengungkap peredaran narkotika di tempat itu.

Tergiur keuntungan yang besar, Ambo tertarik untuk ikut mengedarkannya. Tak disangka, itu adalah awal petaka dalam hidupnya. Dia ditangkap dan dihukum sesuai perbuatannya.

“Istri ikut di sini. Tapi pas masuk penjara, istri diambil orang sudah,” kata Ambo sambil berusaha tersenyum seolah itu lucu, padahal raut mukanya berkata tidak.

Dia mulai kembali sedikt santai saat ditanya kenyamanan berada di dalam rutan. Teman yang banyak untuk berbagi cerita sehingga merasa betah.

“Sudah nyaman di sini, sudah betah,” ungkapnya.

Ambo juga bercerita jika dirinya sempat sedih melihat tahanan yang lain ada yang menjengkuk. Sementara dia, tak ada keluarga yang berkunjung menemuinya selama ditahan.

Ambo sebenarnya memiliki soerang anak, namun memilih tinggal di kampung halamannya. Otomatis dia hanya sendiri di ibukota Provinsi Kaltim ini.

Meski demikian, dia merasa betah masih bisa memiliki banyak teman di dalam rutan. Program asimilasi di tengah pandemi Covid-19 juga membuat blok ruangannya sedikit lega.

Simak juga video pilihan berikut

2 dari 2 halaman

Empat Narapidana Menolak Bebas

Kepala Rutan Klas IIA Samarinda Taufiq Hidayat menyebut tidak semua dari 141 narapidana ingin bebas. Tercatat ada empat narapidana yang memilih tetap dipenjara.

“Itu mungkin karena tempat tinggalnya tidak jelas, mau pulang juga tinggal di mana, jadi memilih di dalam,” kata Taufik.

Dia menjelaskan, program asimilasi itu artinya narapidana dirumahkan atau menjalani hukuman di rumah. Sehingga yang tidak punya rumah tidak bisa menjalani asimilasi.

“Sambil menunggu integrasinya, dia menjalani hukuman di rumah. Jadi harus jelas, keluarganya ada, rumahnya juga harus jelas,” tambah Taufik.

Narapidana yang menjalani asimilasi belum masuk kategori bebas. Proses menjalani hukuman dipindahkan ke rumah dengan pengawasan keluarga.

Program ini merupakan bagian dari kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengantisipasi pandemi Covid-19. Agar penjara tidak menjadi lokasi penularan, sebagian narapidana mengikuti program asimilasi.