Liputan6.com, Tasikmalaya - Larangan dan penutupan masjid Al-Aqso milik warga Ahmadiyah di Singaparna, Tasikmalaya mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Salah satunya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid. Dia menyebut, keputusan penutupan masjid tersebut adalah keputusan sepihak, sebab perwakilan Ahmadiyah tidak diikutsertakan.
Kejadian ini, kata dia, kembali menunjukkan keterlibatan negara dalam melanjutkan praktik diskriminasi yang seharusnya sudah dihapuskan. Dan negara wajib melindungi hak warganya untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai keyakinan masing-masing.
"Dalam situasi wabah Covid-19 sekarang ini, kami memahami adanya anjuran beribadah di rumah dan pelarangan kegiatan ibadah yang menciptakan kerumunan orang. Hal ini demi menekan penyebaran wabah Covid-19 yang membahayakan kesehatan masyarakat," kata Usman lewat keterangannya yang diterima Liputan6.com, Selasa (14/4/2020).
Advertisement
Usman menuturkan, pelarangan dan penutupan masjid ini kental diwarnai oleh kebijakan yang diskriminatif dengan dalih mencegah penolakan yang lebih besar oleh warga sekitar terhadap kelompok Ahmadiyah. Bukan atas alasan kesehatan masyarakat, tapi alasan beda kepercayaan dan ketidaktegasan otoritas terhadap pihak-pihak yang hendak main hakim sendiri.
"Alasan tersebut sangat mengejutkan karena berasal dari pihak berwenang. Ini melanggar hukum dan hak asasi manusia. Pemerintah harusnya berada di garda terdepan untuk melindungi keamanan dan kemerdekaan tiap warganya memeluk agama sesuai keyakinan, termasuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Bukan justru menyerah pada pihak-pihak yang intoleran," terang dia.
Oleh karena itu, Amnesty mendesak otoritas pemerintah untuk segera mencabut SKB tersebut dan mengizinkan kelompok Ahmadiyah untuk mengelola rumah ibadahnya. Pembatasan kegiatan keagamaan hanya bisa dilakukan dengan alasan yang melindungi hak asasi manusia, bukan sebaliknya.
"Di tengah wabah COVID-19, Pemerintah harus adil, menindak diskriminasi tersebut, menjamin hak warga untuk menjalankan agama sesuai keyakinan dan hanya membatasi kegiatan sesuai alasan yang dibenarkan oleh hukum internasional hak asasi manusia," ujar dia.
<p><strong>**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan <a href="https://www.liputan6.com/donasi/177995/sembuhdaricorona" target="_blank" rel="nofollow">klik tautan ini</a>.</strong></p>
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Latar belakang
Pada 4 April 2020, pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) yang anggotanya termasuk perwakilan dari kejaksaan, kepolisian dan TNI, mendatangi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Singaparna yang sehari-hari melakukan ibadah di Masjid Al-Aqso.
Bakorpakem memberikan dokumen SKB yang ditandatangani pada 27 Januari 2020 oleh Bupati Tasikmalaya, Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya, Dandim 0612 Tasikmalaya, dan Kapolres Tasikmalaya yang berisi tentang pelarangan renovasi Masjid Al-Aqso dan pelarangan kegiatan JAI di Kampung Badakpaeh, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna. Menurut SKB tersebut, pelarangan itu berdasarkan alasan untuk menghindari protes yang lebih besar oleh kelompok Muslim mayoritas di wilayah tersebut karena mereka tidak setuju adanya kegiatan keagamaan yang dilakukan JAI.
Penolakan Muslim mayoritas tersebut terhadap JAI, masih menurut SKB, membuat masjid tersebut tidak memenuhi syarat sebagai tempat ibadah.JAI telah menegaskan bahwa kelompoknya adalah bagian dari Islam dan memiliki SK legalitas badan hukum sebagai organisasi. Namun, mayoritas Muslim arus utama tidak bisa menerima kehadiran Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam karena dianggap memiliki ajaran yang menyimpang.
Pemerintah pusat bahkan menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri pada 2008 yang berisi tentang larangan ajaran Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.Adanya SKB pemerintah pusat tersebut membuka celah bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan keputusan sepihak yang membatasi, bahkan melarang, segala bentuk kegiatan yang melibatkan kelompok JAI.
Hal ini yang membuat JAI kerap kali mengalami diskriminasi, intimidasi dan ancaman, hingga perusakan property. Banyak dari anggota JAI yang juga kesulitan dalam mengakses dokumen sipil, seperti KTP dan buku nikah, karena agamanya tidak diakui.
Amnesty International Indonesia telah berkali-kali mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut SKB tentang Ahmadiyah tersebut dan memberikan ruang bagi JAI untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya dengan bebas tanpa diskriminasi dan ancaman.Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”
Advertisement