Liputan6.com, Ketapang - Di tengah wabah Covid-19 yang ditengarai berawal dari satwa liar, kasus pemeliharaan illegal satwa liar dilindungi masih juga terjadi di Ketapang. Perbuatan yang tidak hanya melanggar hukum namun juga berisiko meningkatkan penularan penyakit dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Padahal kontak langsung dengan satwa liar dapat menularkan berbagai penyakit serius yang dapat membahayakan manusia. Tidak hanya bagi pemelihara, namun masyarakat di sekitarnya juga turut menanggung risiko ini.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang dan IAR Indonesia kembali menyelamatkan satu individu bayi orang utan peliharaan dari Dusun Sabang Keramat, Desa Batu Lapis, Kecamatan Hulu sungai, kabupaten Ketapang, Jumat (17/4/2020).
Advertisement
Baca Juga
Bayi orang utan jantan ini dipelihara oleh seorang warga bernama Bumeng selama tiga bulan. Pemiliknya mengaku tidak sengaja menemukan bayi orangutan ini sendirian di tepi hutan. Awalnya Bumeng mendengar suara aneh di hutan tempatnya bekerja.
Karena penasaran, Bumeng mencari sumber suara dan menemukan bayi orangutan sendirian tanpa induknya. Setelah menunggu beberapa jam, induk orangutan ini tidak muncul dan Bumeng berinsiatif membawanya pulang untuk dipelihara.
Selama dipelihara, orang utan yang diberi nama Batis ini ditempatkan di dalam kandang kecil berukuran 80x80x50 sentimeter. Oleh pemiliknya, bayi orang utan ini diberi makan nasi putih, pisang, pepaya dan tebu dan diberi minum kopi dan air putih.
Bayi orang utan ini tidak pernah dikeluarkan dari kandang. Makan dan minum diberi dikandang saja. Pemeliharaan illegal yang tidak memperhatikan kebersihan dan kesejahteraan satwa.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Kondisi Bayi Orang Utan
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara oleh dokter hewan IAR Indonesia di lapangan, kondisi kesehatan orangutan berusia lebih dari enam bulan terlihat cukup baik, tidak nampak ada kelainan maupun gejala dehidrasi. Namun untuk memastikan kondisinya, Batis harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Saat ini Batis sudah berada di kandang karantina di Pusat Penyelamatan dan Konservasi orangutan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Kabupaten Ketapang untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut. Karantina ini akan dilakukan selama delapan pekan.
Pemeriksaan mendalam juga akan dilakukan beberapa kali selama masa karantina untuk memastikan Batis tidak membawa penyakit yang bisa menular ke manusia ataupun orang utan lain di pusat rehabilitasi.
Pemeliharaan satwa liar seperti ini memang seharusnya tidak lagi terjadi. Selain mengancam kelestarian satwa liar, perilaku tidak bertanggungjawab seperti ini juga beresiko membahayakan manusia dengan penyakit yang mungkin dibawa oleh satwa liar.
Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L Sanchez menegaskan, sudah saatnya menghentikan pemeliharaan satwa liar baik orang utan maupun satwa lain yang seharusnya tetap tinggal di hutan.
Orang yang menemukan atau melihat orang utan dan satwa liar lainnya di tempat yang tidak semestinya harus segera melaporkannya ke pihak berwajib.
“Kita tidak pernah tahu virus, bakteri, atau penyakit apa yang bisa dibawa oleh satwa liar dan ditularkan ke manusia. Jika masyarakat tidak mau bekerja sama menyerahkan orangutan, maka diperlukan penegakan hukum, sebab hal ini bukan lagi sekadar isu konservasi spesies atau kesejahteraan satwa melainkan isu kesehatan manusia secara global,” kata Karmele dalam siaran persnya, dikutip Selasa malam (21/7/2020).
Advertisement
Larangan Pemeliharaan Satwa Dilindungi
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta menyebut, sebagian besar masyarakat sudah paham bahwa orang utan merupakan satwa dilindungi dan memeliharanya adalah perbuatan yang melanggar hukum.
Namun rupanya pemahaman masyarakat masih perlu ditingkatkan lagi terkait dengan kasus-kasus penyerahan satwa liar kepada pihak yang berwenang.
Beberapa kesalahan kasus penyerahan satwa liar seringkali diawali dari temuan satwa liar oleh masyarakat di pinggir hutan yang sebenarnya memang merupakan habitat atau wilayah jelajah mereka.
Dalam kasus seperti ini mestinya masyarakat perlu diingatkan bahwa satwa liar yang berada di habitatnya atau di ruang jelajah mereka tidak harus ditangkap. Opsi yang bisa diambil antara lain menggiring kembali ke dalam hutan. Dan tentu saja bila perlu melibatkan ahlinya atau pihak yang berwenang.
“Menangkap, memelihara dan selanjutnya menyerahkan ke pihak yang berwenang tidak selalu menjadi langkah yang tepat,” kata dia.