Sukses

Noyo Gimbal, Kisah Gerilya Pejuang Anti-Kolonial Belanda di Blora

Bukan rastafarian, rambut Noyo Sentiko menjadi gimbal lantaran darah musuh bercampur keringatnya saat bergerilya melawan penjajahan Belanda di Blora.

Liputan6.com, Blora - Noyo Gimbal, tidak banyak orang tahu sosok pejuang anti-kolonialisme Belanda itu. Bernama asli Noyo Sentiko, atau dalam bahasa sansekerta berarti 'orang yang bijaksana', sosok berambut gimbal itu kerap diceritakan dari mulut ke mulut bak sebuah dongeng.

Sariman Lawantiran, Koordinator Komunitas Jelajah Blora kepada Liputan6.com mengatakan, Noyo Gimbal ada pada abad ke-18, menuntut ilmu di daerah Nglengkir, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

"Noyo Sentiko pada saat itu melakukan tapabrata di Gunung Genuk, wilayah pegunungan Kendeng Utara turut Kabupaten Rembang, Jawa Tengah," katanya.

Berdasarkan catatan yang diketahuinya dari buku cerita sejarah Lasem yang ditulis R Panji Kamzah tahun 1858, Noyo Sentiko adalah tokoh dari Rembang.

"Di buku tersebut tertulis, karena terkena tipu muslihat teman dekatnya yang berkhianat, sebab tergiur tawaran upah kedudukan berupa pangkat dan jabatan menjadi kaki tangan Belanda dengan tidak disadarinya," kata dia.

Sariman menceritakan, Noyo Sentiko kemudian mengawali perlawanan terhadap kolonial Belanda dari arah Utara yaitu Rembang. Pada saat itu, kata Sariman, keputusan untuk memerangi Belanda disambut dengan sorak-sorai masyarakat, yang akhirnya wilayah basis pengorganisirannya dikenal dengan sebutan Gunung Surak. Dari teks dalam naskah kuno yang diketahui Sariman, kejadian itu sebelum bulan Agustus 1750.

"Karena tertipu oleh rekan seperjuangannya, Noyo Sentiko bersama para pejuang yang terdiri dari para brandal Sedan dan Pamotan akhirnya terjebak di tanah lapang daerah Tireman, Rembang. Pusakanya yang berwujud payung terbakar menjadi abu karena terkena meriam Belanda," tutur Sariman mengisahkan.

Dikatakannya, tekad pantang menyerah yang sudah menyatu dengan kehendak para pejuang tidak membuat mundur selangkah pun. Hal tersebut, membuat berita itu kemudian santer tersiar dari mulut ke mulut masyarakat menjadikan banyak orang turut bersimpati pada perjuangan Noyo Sentiko.

"Akhirnya para pejuang yang terdiri dari orang-orang pribumi dan keturunan Cina, para berandal, santri hingga kyai berkumpul di alun-alun depan masjid Lasem," katanya.

Setelah sembahyang Jumat semua bersatu padu angkat senjata untuk melawan Kompeni Belanda, beserta serdadu dan para prajurit dari bupati-bupati yang menjadi kaki-tangan kolonial Belanda.

"Dalam kisahnya, dengan sumpah semboyan 'Lega lila sabaya pati sukung raga lan nyawa ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda seko bumi Jawa (Sukarela berjuang sampai mati mengorbankan raga dan nyawa untuk menyingkirkan Kompeni Belanda dari Bumi Jawa)' mereka bersama-sama mengumandangkan semangat perjuangan untuk melakukan Perang Sabil terhadap penjajah kolonial beserta antek-anteknya," ujar dia.

Pada saat itulah Noyo Sentiko bersumpah tidak akan memotong rambutnya hingga penjajah kolonial Belanda mundur dan hengkang dari bumi Jawa.

"Karena sekian lama bergerilya dari gunung, hutan, desa hingga kota menjadikan rambutnya terurai panjang, bercampur dengan keringat dan debu jalanan," ucap Sariman.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Gimbal karena Darah dan Keringat

Tokoh masyarakat dan sesepuh dari Desa Bangsri, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora bernama Moeljadi (83) menjelaskan hal senada, dari perang di wilayah Rembang akhirnya Noyo Sentiko melakukan perjalanan sampai di Desa Bangsri.

"Di sini pernah terjadi perang terbuka yang berlokasi di Ara-ara (Tanah lapang) Sedodol antara Noyo Sentiko beserta para pejuang melawan kompeni Belanda dan antek-anteknya," kata Mbah Moeljadi, dengan menyebut perang 'Geger Bangsri'.

Disampaikannya, pada perang itu banyak musuh yang terbunuh hingga menjadikan rambut Noyo Sentiko yang terurai panjang akhirnya bercampur dengan darah sehingga menjadikan rambutnya menggimbal.

"Ki Noyo Gimbal menjadi julukan barunya saat itu,” terang Mbah Moeljadi.

Dari kisah perjalanan perang gerilya Noyo Gimbal, Mbah Moeljadi menyebut, mulailah muncul nama-nama desa, seperti Desa Ngrapah, Desa Nglorog, Desa Sitinggil, Desa Semampir, Desa Kemiri (Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah)

"Termasuk Desa Sambeng dan Desa Besah, turut Kecamatan Kasiman (Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur)," jelas dia.

Karena perlawanan rakyat yang dibangun Noyo Gimbal cukup masif, tidak menetap dan non-kompromis, akhirnya Belanda pada saat itu kewalahan. Pihak kolonial kemudian mencari strategi untuk mengalahkannya dengan segala cara, termasuk dengan siasat licik dan cara-cara yang tidak ksatria. Konon lewat makanan yang telah dicampur racun membuat Noyo Gimbal tidak sadarkan diri dan berhasil ditangkap.

"Karena tergolong sakti yang mempunyai banyak kelebihan, menurut kisah tutur, tubuhnya kemudian diikat, dimasukkan ke dalam tong besar, dipatri lalu diceburkan ke laut," kata dia.

Sebab itulah tidak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada. Hanya ada satu monumen di Desa Bangsri, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa Noyo Gimbal.