Sukses

Pesan Egaliter dari SMA Katolik De Britto Yogyakarta

Sekolah SMA Kolese De Britto yang merupakan sekolah katolik di Yogyakarta memiliki pesan khusus kepada masyarakat luas dalam kesamaan derajat dan tidak memandang suku dan agama.

Liputan6.com, Yogyakarta - Ada yang berbeda dengan wisuda Jumat, 8 Mei 2020 lalu di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Pesan egaliter terlihat ketika seorang wali murid dan anaknya memberikan pidato dan memberikan doa secara Islam. 

"Kami memilih Bapaknya untuk memberikan sambutan mewakili orangtua. Kami memilih Pak Rahman Hidajat karena 3 anaknya laki-laki semua sekolah di De Britto, termasuk Jalu Jagad Maharsi yang memimpin doa," kata Widi Nugroho Humas De Britto kepada Liputan6.com.

Widi mengatakan siswanya yang memimpin doa secara Islam saat wisuda bukanlah kali pertama dilakukan. Namun, pertama kali dilakukan secara daring saat pandemi Covid-19.  

"Karena mereka keluarga Muslim, kami mempersilakan Jalu Jagad untuk memimpin doa mewakili murid-murid secara Islam," katanya.

Momen itu menurut Widi adalah pesan egaliter dari De Britto di lingkungannya. "Kami memegang teguh prinsip egaliter. Semua semua sederajat, apa pun latar belakang agama dan budaya/sukunya. Kami menghargai keberagaman dalam hal apa pun," katanya. 

Rahman Hidayat mengaku dirinya yang memberikan pidato mewakili orangtua siswa dan anaknya Jalu Jagad memimpin doa wisuda dinilai sangat wajar. Pemilihan dirinya dan anaknya menurutnya berkaitan erat dengan prestasi anaknya di bidang non akademik.

"Satu paket ya, kami mewakili orangtua menerima kembali anak dan Jagad memimpin doa secara daring," katanya.

Rahman mengaku isi pidatonya juga sangat normatif, seperti mengucapkan terima kasih kepada guru-guru karena telah membantu tugas orangtua dalam pendidikan anak.

"Saya merasa banyak hal sesuai dengan prinsip pendidikan saya. Yang istimewa pendidikan egaliter, pendidikan karakter, toleran sangat tumbuh di sana," katanya.

Menurutnya visi dan misi sekolah De Britto cukup konsisten ditampilkan dalam kurikulum hingga belajar mengajar. Lalu sekolah 6 hari membuat anak memiliki kesempatan untuk belajar di lingkungan keluarga dan sosial.

"Dapat keluhan dari orangtua lain yang menceritakan seolah-olah anak waktunya habis untuk pendidikan formal saja," katanya.

Anaknya yang minoritas di sekolah Katolik itu, menurutnya, mendapatkan pembelajaran soal toleransi. Bahkan, tidak memengaruhi kehidupan beragamanya.

"Perilaku kami dalan beragama tidak berubah dengan sekolah. Anak saya masih bisa salat Jumat dan sebagainya," katanya.

Program sekolahnya juga mendukung anaknya berkembang dalam nilai yang bagus. Seperti pekan toleransi, magang, pramuka, hingga live in. "Live in, anak dipencar, Jagad kemarin di keluarga petani. Jadi diajak untuk harus ikut menanam jagung dan lain-lain," katanya.

Sementara itu, Jalu Jagad mengaku belajar banyak selama sekolah di De Britto. Tidak hanya soal akademik tetapi juga karakter.

"Perbedaan agama hal biasa karena di De Britto tidak Islam dan Katolik tapi juga Hindu dan Buddha juga," katanya.

Ia mendapat pandangan baru selama sekolah di De Britto, yakni bagaimana egaliter sangat terlihat di sekolahnya itu. Selain itu, sekolah ini juga memperhatikan kemandirian anak.

"Saat Live ini saya dapat pengalaman baru. Saya baru tahu kalau Hindu di Gunungkidul ternyata beda di Bali dan sebagainya. Saya bertambah pengetahuan," katanya soal pesan egaliter dari sekolahnya.

Simak video pilihan berikut ini: