Sukses

Kesulitan Pangan, Kelompok Orang Rimba Jambi Diduga Jadi Korban Intimidasi

Sekelompok orang rimba di Jambi menjadi korban intimidasi. Insiden ini disayangkan sejumlah pihak karena terjadi pada masa pandemi saat kelompok orang rimba kesulitan pangan.

Liputan6.com, Jambi - Orang rimba dari kelompok Sikar yang bermukim di Sungai Mendelang, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi, menjadi korban intimidasi oleh oknum pengamanan perusahaan kelapa sawit. Intimidasi itu disayangkan beberapa kalangan karena terjadi pada masa darurat pandemi Covid-19.

Insiden intimidasi itu bermula ketika anggota kelompok orang rimba yang tinggal di perkebunan kelapa sawit PT SAL. Saat itu, mereka hendak mengambil buah sawit yang jatuh dari tandannya atau yang dikenal dengan brondolan sawit.

Mereka adalah orang rimba yang bernama Begendang, Parang, Bujang Kecik, Mak Erot, Betenda, Nenek, Natas, dan Ebun yang berencana mengumpulkan brondol, pada Selasa 12 Mei 2020. Belum sempat memungut buat sawit, mereka bertemu dengan satpam perusahaan. Mereka diadang dan disuruh balik.

"Kami disuruh putar balik, kami nurut baelah (ikut saja)," kata Begendang.

Setelah putar balik, mereka masih diikuti satpam dari belakang. Dari situlah akhirnya timbul keributan. Mereka terlibat bentrok dengan satpam. Bahkan, tak berhenti sampai di situ, bentrok berlanjut sampai ke permukiman orang rimba di Sungai Mendelang.

Selain mereka mengalami bonyok dan babak belur, akibat bentrok itu juga membuat sudung (pondok) dan pakaian orang rimba dirusak. Motor orang rimba yang digunakan untuk mencari brondolan dibawa ke kantor polisi.

"Pondok kami hancur, satu motor kanti (kawan) dibawa orang itu," ujar Tumenggung Sikar pimpinan orang rimba di Sungai Mendelang.

Pada masa pandemi Covid-19, orang rimba yang tidak lagi tinggal di dalam hutan mulai kesulitan pangan. Umumnya, mereka yang kesulitan pangan itu tinggal di bawah perkebunan sawit milik perusahaan besar.

Sikar menyebutkan, orang rimba mengambil brondol karena perkebunan tersebut berdiri di hutan yang dahulunya dianggap rumah mereka. Secara sepihak perusahaan menggantinya dengan sawit, sehingga orang rimba yang sudah di sana tetap bertahan di bawah batang-batang sawit.

Bagi kelompok orang rimba memungut brondolan sawit merupakan kegiatan yang sah. Sebab brondolan sawit telah jatuh dari pohonnya. Satu kilogram brondolan sawit mereka jual dengan harga Rp800, yang kemudian hasilnya mereka gunakan untuk membeli kebutuhan pokok seperti beras.

"Hopi ado nang bisa di makon, apolagi musim sakin mumpa nio, hopi ado nang membeli bebi (tidak ado yang bisa dimakan, sejak musim wabah, tidak ada yang membeli babi buruan kami)," ungkap Sikar.

 

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Bentuk Ketidakadilan yang Dialami Orang Rimba

Persoalan kelompok orang rimba dengan perusahaan PT SAL sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Dulunya hutan lebat itu menjadi rumah yang nyaman bagi orang rimba, namun kemudian berubah menjadi kebun sawit tanpa memperhitungkan komunitas adat yang ada di dalamnya. Konflik berkepanjangan pun masih terus terjadi.

"Kami sungguh menyayangkan, persoalan ini terus berulang karena ketidakpekaan perusahaan dengan orang rimba yang ada di dalam perusahaan mereka," kata Antropolog KKI Warsi, Robert Aritonang.

Robert mengatakan persoalan mendasar dari konflik ini adalah ketidakadilan yang diterima orang rimba. Mereka tidak dijadikan sebagai bagian dari perubahan yang dilakukan di hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Jika melihat kasusnya, lanjut Robert, seolah orang rimba yang dianggap mencuri dan perusahaan bisa sewenang-wenang untuk menyerang mereka, menghancurkan rumahnya dan mengambil sepeda motor mereka.

Apalagi penyerangan itu terjadi pada masa pandemi. Perusahaan bukannya berkontribusi kebutuhan pokok saat pandemi, perusahaan malah melakukan tindakan yang di luar batas.

Robert menyebutkan nasib yang dialami kelompok Sikar akan terus berulang jika tidak ada penyelesaian yang memberikan ruang untuk orang rimba. "Akan terus berulang, karena inti persoalannya tidak pernah disentuh," katanya.

Di Provinsi Jambi berdasarkan data KKI Warsi, terdapat 441 keluarga orang rimba yang hidup dalam perkebunan sawit, dan 230 di dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI). Kelompok ini rentan dan mengalami kesulitan melanjutkan hidup, kesulitan mendapatkan pangan yang baik, kesulitan meningkatkan derajat kehidupan melalui pendidikan serta layanan kesehatan yang memadai.

"Apalagi di musim pandemi sekarang ini, orang rimba sangat rentan terhadap wabah, juga sangat rentan mengalami kesulitan pangan. Harusnya mereka masuk kelompok yang dilindungi perusahaan," ujar Robert.

 

3 dari 3 halaman

Kronologi Insiden Versi Perusahaan

PT Sari Aditya Loka (SAL) membantah ada terjadi penyerangan orang rimba oleh petugas keamanan. Perusahaan mememiliki versi kronologis insiden yang terjadi. Hal ini disampaikan Manajer Hubungan Masyarakat PT SAL, Mochamad Husni.

M Husni menceritakan kronologi insiden tersebut. Pada Selasa 12 Mei 2020, 2 orang petugas sekuriti patroli di perbatasan kebun inti perusahaan. Pada saat patroli itu petugas bertemu dengan 5 warga orang rimba yang membawa 5 unit sepeda motor dan keranjang.

Anggota sekuriti, kata Husni, mencoba berdialog dan menyampaikan pesan selain karyawan tidak diperbolehkan memasuki perkebunan perusahaan. Pesan ini harus disampaikan mengingat protokol operasional pencegahan Covid-19. Namun, yang terjadi justru di luar dugaan, petugas sekuriti itu dilempari batu oleh orang rimba tersebut.

"Saat itu pertengkaran dapat dihindari. Orang rimba mau mengikuti arahan dua petugas sekuriti," kata Husni melalui keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com.

Kemudian malam berlanjut, sesuai jadwal anggota sekuriti ditambah 3 orang lagi sehingga total menjadi 5 petugas sekuriti yang berpatroli. Namun, di tengah jalan tiba-tiba mereka diadang oleh 8 orang rimba sehingga terjadilah pengeroyokan terhadap petugas security perusahaan.

"Mereka (petugas sekuriti) dipukul hingga babak belur dan basah kuyup karena diceburkan ke parit. Untuk menghindari perkelahian lebih lanjut, tim sekuriti menghindar dan memilih mundur ke pos terdekat," jelas Husni.

Ketika di pos itu para sekuriti bertemu dengan warga masyarakat yang kebetulan melintas. Kemarahan itu mendorong warga mengajak hingga 100 warga yang mencari dan mengejar orang rimba yang mengeroyok warga mereka.

"Musyawarah dan langkah-angkah mediasi terus diupayakan agar permasalahan ini selesai dengan damai dan warga di semua desa sekitar perusahaan hidup rukun kembali," kata Husni.