Liputan6.com, Tarakan - Terlahir dengan menyandang status disabilitas bukanlah pilihan setiap orang. Namun, beban hidup tersebut sudah ditangung Viviani seorang gadis, warga Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Viviani, akrab disapa Fitri, menderita kurang gizi serta adanya tumor ringan di sekitar wajahnya. Kondisi ini membuat putri yang lahir pada 24 November 2007 ini harus menghabiskan waktunya di tempat pembaringan sepanjang waktu.
Di alas tikar sederhana, Fitri terbaring lemah di sebuah kontrakan dengan ukuran sekitar 8 kali 4 meter. Tentu bisa dibayangkan kesedihan gadis cilik berusia 13 tahun ini tak bisa menghabiskan waktu bermain seperti anak-anak lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Jumain (63), ayah Fitri, menyebut tanda adanya keterbatasan pada Fitri sudah terlihat sejak sang buah hati berusia tujuh bulan. Menyadari hal tersebut, kala itu ia bersama sang istri langsung membawa ke salah satu rumah sakit di Kota Tarakan.
Karena keterbatasan fasilitas rumah sakit dan biaya yang dimiliki kala itu, Fitri hanya mendapatkan perawatan selama satu minggu. Kondisi tersebut membuat pihak keluarga tidak dapat berbuat banyak.
"Akhirnya setelah satu minggu kami membawa Fitri pulang, di rawat di rumah saja," ujar Jumain berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya, Sabtu (15/4/2020).
Akhirnya Fitri mendapatkan perawatan ala kadarnya di rumah. Meski demikian, hal itu tidak membuat kondisinya membaik.
Hari demi hari terus berlalu namun kondisi fitri tidak jauh berbeda. Bahkan, kedua kaki Fitri semakin lama semakin mengecil.
Sebagai orangtua yang penuh keterbatasan Jumain hanya dapat berdoa untuk kesembuhan sang buah hati. Mungkin saja, tuhan memiliki rencana lain sehingga harapan tersebut belum terwujud.
Setelah Fitri berusia 10 tahun, keluarga Jumain mengalami musibah baru dengan berpulangnya sang istri tercinta menghadap sang ilahi. Sehingga dalam kondisi kesendirian, jumain harus bertahan menjalani dua peran yaitu sebagai ayah yang mencari nafkah dan seorang ibu yang harus mengurus rumah tangga.
"2017 istri saya meninggal saat anak berusia 10 tahun. Itu menjadi cobaan saya kedua. Saat kami berjuang merawat Fitri, istri saya lebih dulu dipanggil tuhan karena sakit," katanya.
Setelah setahun menjalani hidup dengan dua peran, ditambah usia yang semakin menua, alhasil membuat kondisi fisik Jumain tidak setangguh dulu. Karena kondisi itu, akhirnya Jumain memutuskan pilihan yang cukup berat yakni memilih fokus untuk merawat anak keduanya dari dua bersaudara tersebut.
"Tidak lama setelah mamanya Fitri meninggal saya akhirnya fokus untuk merawat fitri saja. Karena kalau saya kerja dia tidak ada yang jaga di rumah," ungkap Jumain.
Hingga saat ini Jumain masih setia menjaga putri cantiknya tersebut. Sebagai manusia normal, Jumain pernah merasakan jenuh dengan beban hidupnya.
Meski demikian, ia teringat jika dirinya tetap harus tetap menjalankan peran sebagai orang tua yang baik.
"Kadang jenuh pasti ada, tapi namanya hidup memang tetap harus dijalani. Mungkin ini cobaan dari Allah untuk takdir hidup saya,” katanya.
Di usia yang sudah tua , Jumain berharap suatu saat putri kecilnya dapat sembuh dan hidup normal seperti anak-anak lainnya. Meski demikian, ia juga menyadari jika hal tersebut sangat sulit diwujudkan.
Walau begitu, melihat putrinya tertawa saja, ia merasa cukup senang dan bersyukur.
"Tentu semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Walaupun kemungkinannya kecil, saya berharap anak saya bisa sembuh dan bisa bermain layaknya anak normal lainnya," harapnya.