Liputan6.com, Kupang - Sebanyak 4.115 warga eks Timor Timur yang tergabung dalam Paguyuban Pejuang dan Korban Politik Timor Timur mengancam melaporkan pemerintah Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Mereka kesal karena usai jajak pendapat 1999 silam, tidak ada perhatian dari pemerintah Indonesia terkait upaya mereka mempertahankan NKRI. Sebanyak 4.115 warga ini berasal dari eks Kabupaten Dili, Liquiza, Aileu, Ermera, Bobonaro, Ainaro, Kofalima, Ambenu, Manufai dan Manatutu. Saat ini, mereka hidup tersebar di daratan pulau Timor dengan kehidupan ekonomi memprihatinkan.
Advertisement
Baca Juga
Mantan pejuang merah putih ini berencana akan berangkat ke Jakarta untuk bertemu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, tetapi masih terkendala pandemi covid-19. Mereka menilai, pemerintah Indonesia tidak serius menangani persoalan para pejuang integrasi.
"Kami ini dianggap pelanggar HAM berat, tetapi anehnya sampai sekarang kami tidak pernah dihukum, dan dilarang, tidak boleh ke Timor Leste. Kami di Indonesia pun diterlantarkan, penderitaan ini sudah kami rasakan sejak 21 tahun lalu," ungkap Canzio Lopez de Carvalho yang dipercayakan sebagian koordinator delegasi Peguyuban Pejuang dan Korban Politik Timor-Timur, kepada Liputan6.com, Senin (18/5/2020).
Canzio mengancam akan membawa pemerintah Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda jika tidak menghiraukan tuntutan mereka, sebab berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka harus mengorbankan harta benda di Timor Leste.
Selain itu, warga 10 kabupaten eks Timor-Timur akan menggelar aksi damai di perbatasan Mota Ain di Belu dan Mota Masin di Malaka, jika pemerintah tidak menghiraukan aspirasi mereka.
Bahkan, hal terburuk yang terakhir menjadi pilihan politik mereka, yakni akan kembali ke tanah kelahiran masing-masing, di negara Timor Leste dengan segala konsekuensi yang akan diterima.
"Jika tidak ditanggapi, kami akan melakukan aksi damai di perbatasan. Yang kedua kami akan gelar kongres luar biasa seluruh warga eks Timor-Timur di Nusa Tenggara Timur, untuk menentukan nasib apakah tetap menjadi warga negara Indonesia yang terabaikan seperti ini, atau kita tentukan sikap politik untuk harus pulang kembali ke Timor Leste dengan segala resiko berat. Tapi ingat sebelum kami pulang, kami akan membuat perhitungan dengan negara yang kami cintai ini di Mahkamah Internasional. Bila perlu kami tuntut Indonesia ganti rugi," dia menegaskan.
"Harta benda ditinggal di sana, kami ke Indonesia hanya bawa pakaian di badan dan selama 21 tahun ini kami sangat susah. Pak Prabowo Subianto sudah jadi Menteri Pertahanan maka kami ingin bertemu untuk sampaikan aspirasi. Waktu berjuang itu kami hanya kenal nama Prabowo Subianto, tidak ada yang lain," sambung mantan Komandan Sektor C, Panglima Wilayah C Pasukan Pejuang Integrasi itu.
Menurut dia, jika bertemu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mereka tidak meminta muluk-muluk. Mereka hanya meminta dimasukkan sebagai veteran. Sebab, menurut Canzio, banyak pejuang integrasi yang tidak terdaftar sebagai veteran, malah ada oknum yang tidak pernah ke Timor-Timur waktu itu bisa terdaftar sebagai veteran.
Bahkan, untuk bergabung dalam organisasi veteran, mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan anggota veteran.
"Kami ini murni pejuang, masa untuk jadi veteran, harus setor uang? Negara yang harus hargai jasa kami," imbuhnya.
Ia mengatakan, mereka telah menunaikan tugas sebagai warga negara Indonesia dengan perjuangan fisik, membela dan mempertahankan merah putih sehingg berhak diberikan status veteran oleh negara.
Selain hak veteran, negara bisa memberi kompensasi atau bantuan kemanusiaan. "Orang kena bencana dibantu, terus kami? Kalau bilang tekanan dari internasional, internasional enggak serius kok, ternyata kami pelanggar HAM tidak diadili sampai sekarang," dia menandaskan.