Sukses

Usir 'Homesick', Mahasiswa Papua di Madura Bercocok Tanam

Mereka Butuh Paket Data Untuk Kuliah Daring

Liputan6.com, Bangkalan Nama panjangnya agak sulit diingat, apalagi jika baru pertama kali berkenalan. Meski oleh teman-temannya di kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM), ia biasa disapa dengan nama panggilan yang begitu familiar yaitu Nia.

Lewat aplikasi percakapan online WhatsApp, ia mengirimkan nama lengkapnya: Argunia Cristal Kurni, adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Papua di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.

Kami bertemu di sebuah rumah kos mahasiswi Papua, dekat kampus UTM, pada sebuah sore yang sejuk, Kamis, 21 Mei 2020. Sore itu, rombongan organisasi sosial Gerakan 25 Ribu (G25) juga KONI Bangkalan menyambangi para penghuni kos yang terletak di Perum Cendana, untuk menyalurkan bantuan kebutuhan pokok.

Nia bilang, jumlah anggota HMP lebih dari 40 orang. Yang bertahan tidak pulang akibat pandemi corona sekitar 32 orang, dan hanya 19 orang yang hadir saat pembagian sembako sore itu. Sebagian lain terjebak PSBB di kota lain sehingga tak bisa balik ke Madura.

"Kondisi kami baik-baik saja, walau ada satu teman sakit. ini lebaran pertama tidak pulang," kata Nia.

Sejak Maret lalu, Rektorat kampus UTM memberlakukan kuliah daring sebagai antisipasi pencegahan virus Corona. Sejak itu, Nia dan kawan-kawan, bertahan di Bangkalan karena Pemprov Papua memberlakukan lockdown dengan menutup seluruh bandara mulai 16 Maret 2020.

"Beberapa teman di kampus pernah coba pulang, tapi dicegat di Makassar, jadi mereka terpaksa balik lagi ke sini," ujar Nia, yang kini berusia 22 tahun.

Pengalaman sejawatnya itu, membuat Nia dan yang lain tak punya pilihan selain bertahan. Mereka bertahan hidup dengan bantuan sembako dari kampus, sehingga bisa menghemat uang jajan.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Pesan Untuk Pemerintah Provinsi di Papua

Ketika homesick datang, mereka mengusir rindu akan kampung halaman itu dengan mengerjakan tugas kuliah sembari belajar bercocok tanam bersama.

"Kami beraktivitas di rumah saja, pulang juga bukan solusi, kami gak mau jadi silent carrier (pembawa penyakit tanpa gejala) bagi keluarga," tutur dia.

Maka, ketika ada lembaga yang peduli pada mahasiswa asal Papua, Nia berucap syukur karena stok sembako aman sampai setelah lebaran.

"Terima kasih atas kepeduliannya," ujar dia.

Selama pandemi, aktivitas mereka lebih banyak dihabiskan di rumah kos itu, sembari mengerjakan tugas kuliah secara daring.

Mereka pun tak jalan-jalan. Bila suntuk datang, Nia yang masuk ke UTM pada 2016 berkat beasiswa, bercocok tanam, sekaligus mempraktikkan ilmu yang dia dapat di jurusan Teknik Pertanian.

Sepetak lahan kecil di halaman kos, mereka gemburkan tanahnya. Bibit pepaya, kangkung hingga Kemangi yang tumbuh setelah disemai dalam pot dipindah ke lahan itu. Hasilnya untuk kebutuhan makan sehari-hari.

"Kami ke pasar kalau benar-benar ingin makan ikan, tapi kami berusaha menghindar, karena kalau ke pasar sama saja menyerahkan diri sama Corona," kata dia sambil tertawa.

Di masa pandemi, satu hal yang dikeluhkan Nia adalah Pemerintah Provinsi di Papua hingga kini belum menunjukkan perhatiannya pada mahasiswa Papua di rantau khususnya Madura. Nia sendiri mengaku hanya mendapat bantuan dana dari pemerintah Kabupaten di tanah kelahirannya, Biak.

"Selain untuk bertahan hidup, kami juga sangat membutuhkan paket internet agar bisa mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk. Bisa jadi nilai kami tahun ini ditentukan ada tidaknya paket data," ungkap dia.

Selain ke Mahasiswa Papua, Bantuan sembako yang diserahkan langsung Ketua KONI Bangkalan, Fauzan Djakfar dan Ketua Relawan Sosial G25, Dasuki Rahmat, juga diberikan ke komunitas mahasiswa Medan yang tak pulang kampung karena pandemi flu mematikan ini.