Sukses

Kisah Pasutri 4 Anak di NTT, Hidup Nomaden di Gubuk Reyot Bertahun-tahun

Lukas dan Marta masih menunggu janji Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo yang ingin membangunkannya sebuah rumah.

Liputan6.com, Kupang- Jalan hidup pasangan suami istri, Lukas Lodan dan Marta Pewa sungguh memprihatinkan. Bersama empat anaknya, warga Kelurahan Wailiti, Kabupaten Sikka, NTT, itu bertahan hidup di sebuah bangunan yang lebih tepat disebut gubuk reyot ketimbang rumah.

Rumah tak layak huni berukuran 4,5x3 meter itu terbuat dari pelepah bambu, beberapa bagiannya sudah mulai termakan rayap. Rumah berlantai tanah itu dibagi menjadi tiga kamar tanpa pembatas. Satu bagian jadi tempat tamu, sebelahnya tempat makan, dan satu bagian digunakan untuk tidur.

Di rumah itu, hanya ada dua tempat tidur yang terbuat dari bambu. Tanpa kasur dan hanya beralaskan tikar usang. Tak ada kursi di ruang tamu. Bisa dibayangkan, enam orang harus berdesakan tidur di gubuk itu.

Bukan saja miskin, rumah pasutri ini juga belum memiliki kamar mandi. Mereka terpaksa memilih hutan sebagai tempat buang air.

Warga di wilayah ini juga kesulitan air bersih. Mereka harus menempuh jarak 3 kilometer untuk mengambil air di sungai. Di musim hujan, warga memanfaatkan tadahan air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Kalau musim kemarau begini, kami harus jalan kaki menuju Wolomarang untuk ambil air," ungkap Marta, saat disambangi Liputan6.com, Minggu (24/5/2020).

Ia berharap, pemerintah daerah bisa membangun tempat penampungan air di wilayah itu, agar bisa memudahkan warga mendapat air minum.

"Beginilah hidup kami. Apa adanya," ujar Lukas.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Mengharapkan Belas Kasih

Setelah menikahi istrinya, Marta Pewa pada 2014, mereka hidup nomaden karena tidak memiliki lahan. Tak jarang mereka mengandalkan belaskasihan orang lain.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Lukas menjual jasa membantu orang mencetak batu bata dan membersihkan kebun orang. Sementara Marta, istrinya bekerja sebagai pengumpul batu kerikil untuk dijual.

"Tempat tinggal kami tidak tetap. Tergantung dari kemurahan hati orang yang memberi tanah untuk bangun rumah. Ketika ada perselisihan, pemilik tanah usir, ya kami pindah lagi," ujarnya.

Saking susahnya keadaan ekonomi, dua anaknya harus rela putus sekolah. 

"Anak pertama Niko (14) putus sekolah saat kelas III SD, anak kedua Eman (12) putus sekolah saat kelas I SD, sedangkan Febrianti (4) dan Agus (2) belum sekolah. Kalau Niko dapat bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tetapi dia tidak mau sekolah lagi," ungkap Marta.

Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kecamatan Alok Barat, Yuliana Heni mengaku, sudah ada inisiatif Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo bersama camat setempat dan Dinsos Sikka, untuk membantu pembangunan rumah keluarga Lukas.

"Pemda mau bangun rumah tetapi persyaratannya, pasutri itu harus punya lahan sendiri. Sehingga belum bisa dibangun," jelasnya.