Sukses

Drama Pencarian 2 Santri Pasien Covid-19 yang Kabur dari RS di Sulbar

Setelah 2 pasien Covid-19 kabur dari ruang isolasi RSUD Regional Sulbar, gugus tugas penanganan Covid-19 Mamuju terus melakukan pencarian

Liputan6.com, Mamuju - Gugus tugas penanganan Covid-19 Mamuju terus mecari keberadaan dua orang santri positif Covid-19 yang kabur dari ruang isolasi RSUD Regional Sulawesi Barat pada Jumat 29 Mei. Kedua, yakni MY (20) dan AK (17) santri asal Mamuju yang menuntut ilmu di Pesantren Temboro, Magetan, Jawa Timur.

Keberadaan AK langsung diketahui oleh gugus tugas pada hari pertama mereka kabur. Ia diketahui berada di rumah orang tuanya di Lingkungan Sampoang, Kelurahan Sinyonyoi, Kecamatan Kalukku, Mamuju. Namun, gugus tugas tidak bisa langsung menjemput pasien, karena mendapatkan perlawanan dari keluarga dan warga sekitar.

Berbeda halnya dengan MY, keberadaannya tidak diketahui sejak meninggalkan rumah sakit. Sebab, saat gugus tugas bergerak ke kediaman orang tuanya pada hari pertama ia kabur, rupanya ia tidak berada disana. Gugus tugas harus bekerja ekstra untuk mecari keberadaan santri terjangkit Covid-19 ini.

Titik terang diperoleh ketika gugus tugas mendapat informasi, bahwa pasien tersebut berada di salah satu rumah keluarganya di Lingkungan Tambi, Kelurahan Mamunyu, Mamuju. Namun, saat gugus tugas menuju ke sana, ia kembali tidak ditemukan dan sudah lebih dahulu bergerak ke tempat lainnya.

"Berdasarkan informasi tadi, pasien ada di rumah kakanya, di Kampung Baru Lingkungan Tambi. Info dari kakaknya, ia menuju ke rumah pasien AK, pasien yang ia temani kabur di Sampoang, tadi subuh kesana," kata Sekretaris Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Mamuju Muhammad Ali Rahman saat dihubungi Liputan6.com, Minggu sore (31/05/2020).

Ali Rahman menjelaskan, berdasarkan informasi dari lurah setempat, MY tidak sempat menginap di rumah saudaranya, ia hanya singgah, lalu ke lokasi berikutnya. Namun, karena pasien statusnya masih positif Covid-19, gugus tugas mensterilisasi rumah dan lingkungan sekitar.

"Kita lakukan penyemprotan di kediaman dan sekitar kediaman kakaknya, untuk mencegah penyebaran Covid-19." ujar Ali Rahman.

Lanjut Ali Rahman, karena keberadaan pasien sudah diketahui, pihaknya menunggu keputusan dari RSUD Regional Sulawesi Barat. Sebab ada permintaan dari pasien beserta keluarganya untuk isolasi mandiri. Namun, menurut Ali Rahmah, yang menjadi pertimbanagan adalah protokoler kesehatan, jika pasien melakukan isolasi mandiri.

"Tidak mungkin juga kita paksakan harus bentrokan untuk menjemput mereka, itu tidak mungkin. Bukan kita tidak mengizinkan isolasi mandiri, tapi mereka ini kan, pasien RSUD Regional, jadi yang berkompoten untuk memberikan kata izin adalah RSUD Regional," dia menjelaskan.

Direktur RSUD Regional Sulawesi Barat dr Indahwati Nursyamsi menyayangkan sikap pasien dan keluarganya, yang tak kunjung kembali ke tempat isolasi. Padahal pada Sabtu 30 Mei kemarin, orang tua kedua pasien sudah mengatakan, rela mengembalikkan anaknya ke tempat isolasi.

"Nyata tak terbukti, pasien belum kembali. Kami masih berharap keluarga bisa dengan suka rela menyerahkan pasien. Apa lagi mereka ini masih positif Covid-19," ujar Indahwati.

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Alasan tak ingin isolasi di RS

Salah satu pasien yang kabur, yakni AK mengatakan, alasan utama ia tak mau kembali menjalani isolasi di RSUD Regional Sulawesi Barat adalah masalah fasilitas. Ia tidak nyaman berada di ruang isolasi.

"Tiga hari belakang ini AC-nya mati, dan tidak diberikan kipas angin. Lampu di kamar mandi juga mati, bahkan pakaian yang kami gunakan kami cuci sendiri," ucap AK.

Terlebih, ia mendapatkan informasi bahwa ada anggaran khusus untuk pasien Covid-19 senilai Rp1 juta per harinya. Namun, anggaran itu sama sekali tidak diberikan kepadanya.

"Menurut informasi yang saya ketahui, anggaran untuk pasien nilainya Rp1 juta per hari," ujar AK.

Gusti Suropati, orang tua AK merasa kecewa dengan cara tenaga medis dalam memberikan informasi kepada pasien atau pun keluarganya. Sebab, berdasarkan hasil pemeriksaan dua hari sebelum anaknya meninggalkan rumah sakit, anaknya sudah dinyatakan negatif.

"Informasi dari rumah sakit dua hari yang lalu sudah negatif, tiba-tiba informasinya positif lagi," kata Gusti.

Sebab itu, ia memilih untuk menjemput anaknya secara paksa dari RSUD Regional Sulawesi Barat, karena bisa membuat stres. Terlebih anaknya sudah menjalani isolasi selama 20 hari. Ia juga mengatakan sampai saat ini keluarganya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

Sementara itu, orang tua MY mengatakan selama berada di rumah sakit anaknya tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Bahkan mereka mengatakan selama isolasi anaknya tidak diberikan obat oleh pihak rumah sakit.

Namun, semua tudingan itu dibantah oleh pihak RSUD Regional Sulawesi Barat, menurut mereka selama pasien menjalani isolasi petugas medis selalu memberikan pelayanan yang baik, begitu juga terkait fasilitas yang dikeluhkan pasien.

"Tidak benar itu, kalau kami tidak meberikan pelayanan, ada perawat namanya Nursyamsi, dia yang bawakan kipas ke kamarnya saat AC mati. Kalau masalah mencuci, ya itu mungkin keinginannya sendiri. Pasien lain mungkin begitu juga," kata dr Muhammad Ikhwan.

Untuk masalah anggaran Rp 1 juta perhari untuk pasien, Ikhwan mengatakan hal semacam itu tidak ada. Rumah sakit tidak memberikan uang saku kepada pasien. Ia juga membantah bahwa pasien tidak diberikan obat selama menjalani isolasi.

"Selalu diberikan obat, tapi pasien sendiri yang membuangnya, ada ditemukan petugas keamanan obat berserakan di bawah jendela kamar pasien," tegas Ikhwan.