Sukses

Muncul Fenomena Tolak Rapid Test di Daerah-Daerah di Indonesia, Ada Apa?

Setidaknya dalam kurun waktu seminggu terakhir, tercatat ada tiga kasus penolakan rapid test yang dilakukan warga di berbagai daerah di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Penolakan rapid test terjadi di banyak daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu seminggu terakhir, tercatat ada tiga kasus penolakan rapid test yang dilakukan warga. Bahkan, aksi penolakan juga disertai dengan intimidasi terhadap petugas medis.

Di Ambon, Kamis, 4 Juni 2020, kehadiran tim medis dari Gugus Tugas Covid-19 setempat yang ingin melakukan rapid test di RT 002/04 Kelurahan Silale Kecamatan Nusaniwe disambut aksi penolakan. Puluhan warga bahkan mengadang dan menutup pintu masuk ke kawasan permukiman mereka.

Bukan tanpa alasan, lunturnya kepercayaan terhadap tim medis menjadi penyebabnya. Ketua RT setempat menceritakan, Amran seorang warga setempat divonis Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Hasil rapid test-nya dinyatakan reaktif dan harus diisolasi. Namun sudah hampir sebulan, tak ada kejelasan selanjutnya soal status Amran.

"Sesuai protokol Covid-19 karantina itu hanya 14 hari saja, ini sudah hampir sebulan melebihi waktu penanganan, tapi Amran masih diisolasi," ujar Ruslan Abdul Gani, Ketua RT.002/04 Kelurahan Silale kepada Liputan6.com.

Parahnya lagi, tes swab yang sudah dilakukan kepada Amran beberapa hari lalu belum ada hasilnya. Amran sendiri memiliki riwayat penyakit kolesterol.

Sesuai hasil percakapan terakhir dengan warga Silale, kesehatan Amran baik-baik saja dan dalam keadaan kondisi prima di lokasi karantina.

"Warga juga menilai, Pemerintah Kota Ambon terkesan menutupi hasil pemeriksaan swab Bapak Amran, salah satu warga Silale yang sedang berada di lokasi karantina," ujar Ruslan.

Penolakan rapid test oleh warga, kata Ruslan, juga dipengaruhi faktor minimnya sosialisasi petugas medis ke masyarakat.  

"Apabila mau melakukan rapid test agar terlebih dulu sosialisasi kepada masyarakat," saran warga.

Akibat aksi penolakan itu, petugas medis akhirnya menunda digelarnya rapid test. Petugas medis mengaku hanya ingin kontak tracing terhadap PDP atas nama Amran, dan rapid test tidak dilakukan ke seluruh warga desa.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Penolakan Rapid Test di NTT

Sebanyak 22 warga Desa Sagu, Kecamatan Adonara, yang sebelumnya diketahui kontak erat dengan pasien positif Covid-19, menolak menjalani rapid test di puskesmas setempat.

Camat Adonara, Ariston Kolot Ola, mengatakan tim Gugus Tugas Covid-19 kecamatan sudah menjadwalkan rapid tes pada Senin, 1 Juni 2020, namun pemeriksaan dibatalkan karena adanya penolakan warga.

Penolakan itu, menurut dia, karena warga meragukan hasil pemeriksaan swab terhadap pasien 02, yang merupakan warga Desa Sagu.

"Kita sudah bangun komunikasi, awalnya warga siap, tetapi sekarang menolak. Menurut mereka, masa inkubasi itu 14 hari, sementara pasien positif baru ditemukan. Keragu-raguan mereka ini sebagai dasar penolakan, bahkan mereka menanyakan hasil swab," katanya.

Untuk mengatasi ini, pihak kecamatan sudah berkoordinasi dengan ketua gugus tugas kabupaten untuk melakukan langkah persuasif.

Wabup Flores Sebut Ada Provokasi

Wakil Bupati Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Agus Payong Boli meminta aparat kepolisian untuk menangkap mereka yang menyebarkan provokasi terkait penolakan rapid test Covid-19 di Desa Sagu, Kecamatan Adonara.

"Pihak-pihak lain luar Desa Sagu jangan menebarkan provokasi dengan pernyataan-pernyataan aneh di medos maupun langsung, baik menggunakan akun palsu atau apapun. Mohon polisi tangkap karena masuk kategori ujaran kebencian, hasutan, hoaks dan provokator busuk," kata Agus Payong Boli.

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan banyaknya pernyataan-pernyataan berbau provokasi yang muncul di media sosial, dan adanya penolakan rapid test yang dilakukan warga Desa Sagu.

Menurut dia, pernyataan-pernyataan itu akan mengganggu kamtibmas dan timbul keresahan publik.

"Polisi jangan menunggu lagi. Langsung bisa ditangkap dan di proses," kata Agus Boli.

Intimidasi di Makassar

Aksi penolakan rapid test massal juga dilakukan warga di Kelurahan Layang, Kecamatan Bontoala, Makassar, Sabtu, 6 Juni 2020. Aksi itu bahkan sempat tersebar dalam bentuk video dan viral di media sosial.

Dalam aksi penolakan itu, warga memblokade jalan demi mengadang kedatangan petugas medis yang hendak melakukan rapid test. Warga juga memasang spanduk penolakan dan terus mengintimidasi tenaga medis lengkap dengan pakaian pelindung diri yang masuk ke pemukiman mereka.

Kapolsek Tallo, Kompol Amrin mengatakan, penolakan tersebut terjadi karena salah paham. Warga mengira petugas medis dari puskesmas setempat memaksakan untuk melakukan rapid test.

 "Rapid testnya tetap jalan, tapi kan masyarakat di situ dikira mau dipaksakan. Jadi tidak ada masalah," kata Amrin.

 

3 dari 3 halaman

Tiga Faktor Penyebab

Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan penolakan rapid test terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Faktor tersebut antara lain, mudahnya warga termakan hoaks soal alat rapid test yang kabarnya justru menyebarkan virus corona. Faktor kedua, minimnya sosialisasi tenaga medis ke masyarakat soal apa itu rapid test, dan mengapa kegiatan ini perlu dilakukan di suatu tempat secara massal. Faktor ketiga, minimnya kepercayaan warga terhadap tim medis terkait status reaktif seseorang setelah menjalani rapid test.

Kabar soal alat rapid test justru akan menyebarkan virus corona telah lama dibantah berbagai pihak, termasuk ahli epidemiologi. Dua artikel Cek Fakta Liputan6.com berjudul Cek Fakta: Hoaks COVID-19 Sengaja Dimasukkan ke Tubuh Masyarakat Lewat Rapid Test dan Cek Fakta: Hoaks Klaim 40 Ribu Alat Tes COVID-19 dari China untuk Bunuh Rakyat RI, juga telah banyak menjelaskan kabar bohong alias hoaks tersebut. 

Soal kurangnya sosialisasi soal apa itu rapid test, masyarakat perlu mengetahui, ahli nutrisi Dr Tan Shot Yen pernah membagikan edukasi mengenai apa itu rapid test Covid-19 melalui media sosialnya.

Menurut Tan, ada beberapa huruf  atau tanda yang merujuk pada hasil tes yang perlu dipahami masyarakat. Huruf dan tanda tersebut antara lain, strip merah, C, Ig M Positive (+), Ig G Positive (+), Ig M/Ig G Positive (+), dan Negative (-).

Menurut Tan, huruf C adalah Control. Dalam kode ini strip harus muncul. "Jika tidak, bisa jadi alat rusak atau darah yang digunakan kurang," tulis Tan.

Sedangkan Ig berarti Immunoglobulin atau antibodi dalam darah yang dibuat manusia spesifik terhadap paparan infeksi.

Selanjutnya, tulisan Ig M (+) pada rapid test menandakan terjadinya paparan baru-baru ini saja. Sedang, Ig G (+) berarti terjadi paparan di masa lampau.

Jika hasil rapid test menunjukkan Ig M (+), Ig G (-) maka pemeriksaan harus dilanjutkan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Genome Sequencing di rumah sakit rujukan untuk memastikan. Langkah ini juga dilakukan jika hasil tes menunjukkan Ig M (+), Ig G (+).

Tapi bila tes menunjukkan kode Ig M (-), Ig G (+) maka dibutuhkan rapid test ulang dalam satu dan dua minggu selanjutnya. Hal ini disebabkan antibodi pada saat tes pertama belum cukup untuk mendeteksi.

Pengulangan rapid test juga harus dilakukan jika hasilnya Ig M dan Ig G negatif semua, karena risiko paparan tetap ada.

"Edukasi ini seharusnya dijalankan sebelum rapid test dikerjakan, agar tidak menimbulkan kepanikan dan salah pemahaman," tulis Tan.

Pemerintah melalui tim Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19 juga telah mewanti-wanti sebelumnya, bahwa rapid test massal bukan untuk mendiagnosis apakah seseorang positif atau tidak terkena virus corona (Covid-19). Tidak semua orang perlu menjalani rapid test, hanya mereka saja yang berisiko dan pernah kontak langsung dengan pasien positif sebelumnya.

"Tes Corona massal ini baru tahap skrining saja, bukan untuk deteksi atau diagnosis pasti orang yang bersangkutan positif atau tidak kena Covid-19," kata Juru Bicara Penanganan Percepatan Covid-19 Achmad Yurianto.

Yuri menambahkan, bila hasil screening dinyatakan positif, maka pasien akan kembali diperiksa dengan metode PCR. Sebab, kata Yuri, seseorang yang sudah sembuh juga masih bisa terditeksi positif corona (Covid-19).

Sementara itu, soal makin rendahnya kepercayaan warga terhadap tenaga medis Covid-19, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan semua pihak, termasuk warga dan tenaga medis itu sendiri. Warga perlu menyaring informasi soal Covid-19 yang berseliweran di media sosial. Tanyakan langsung kepada petugas apabila ada informasi soal Covid-19 yang dirasa membingungkan. Sedangkan di sisi lain, pihak tenaga medis dan rumah sakit perlu melakukan sosialisasi lebih masif soal rapid test dan Covid-19, serta transparan agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat. Â