Liputan6.com, Jambi - "Rusak parah" begitulah diksi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi ekosistem gambut. Kerusakan parah kawasan gambut di Provinsi Jambi mulai terjadi sejak masifnya pemberian izin untuk sektor industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit.
Luas gambut yang tersebar di Provinsi Jambi mencapai 716.838 hektare. Dari luasan tersebut, menurut analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, sekitar 70 persen atau 400 ribu luas gambut telah dibebankan izin.
Advertisement
Baca Juga
"Puncak dari kehancuran gambut ini bisa kita lihat dari kebakaran 2015. Dan tahun itu harusnya pemerintah merefleksi bagaimana model tata kelola lahan gambut, tapi sistem masih menggunakan pengelolaan spot by spot," ujar Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi Rudiansyah kepada Liputan6.com, Rabu 13 Mei 2020.
Gambut merupakan kawasan yang unik. Lahan gambut adalah timbunan pepohonan, rerumputan, jasad hewan, dan sisa-sisa materi ogranik lainnya yang terbentuk selama ribuan tahun silam.
Namun sayang, gambut dengan ekosistem yang unik dan mampu menyerap karbon, justru kini mengalami kerusakan. Gambut telah dieksploitasi oleh industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Kedua industri tanaman monoklutur itu membuka kanal-kanal, mengeringkan air.
Kanalisasi dibangun secara masif untuk mengeringkan gambut dan juga pembakaran. Gambut yang kering menjadi rawan terbakar hingga akhirnya melepaskan karbon ke atmosfer sehingga memperparah laju perubahan iklim.
Untuk mengetahui kondisi kerusakan gambut, pengelolaan yang dilakukan korporasi, hingga pemantauan implementasi restorasi, berikut petikan wawancara dengan Rudiansyah, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Awal Mula Kerusakan Gambut di Jambi
Flashback ke belakang, bisa dijelaskan awal mula kerusakan gambut di Jambi dari hasil kajian yang dilakukan Walhi?
Berdasarkan data yang kami olah, proses pemberian izin di kawasan gambut oleh industri kehutanan dan perkebunan itu di era tahun 1990-an sudah mulai masuk. Yang pertama masifnya pemberian izin itu tidak didukung untuk menstabilisasi daya dukung gambutnya itu sendiri, waktu itu UU PPLH belum disahkan.
Kemudian yang kedua waktu itu ada stigma bahwa gambut itu tidak bisa dikelola masyarakat, dan yang bisa mengolah hanya korporasi dengan membuka kanalisasi atau sebagainya karena membutuhkan modal yang besar. Karena prosesnya tidak terkontrol dengan baik, hingga akhirnya terjadi kebakaran yang sangat parah pertama itu terjadi tahun 1997.
Karena proses izinnya yang masif, tidak terkontrol dengan baik, maka dampaknya kebakaran semakin meningkat. Hal lain problem konflik agraria tumpang tindih pengelolaan meningkat juga. Kemudian puncak dari kehancuran gambut itu terjadi lagi pada 2015 mengalami kebakaran. Dan seharusnya tahun 2015 itu pemerintah merefleksi bagaimana model tata kelola lahan gambut, tapi ternyata sistem masih menggunakan pengelolaan spot by spot.
Gambut tidak lagi menjadi wilayah serapan air yang banyak, tapi lebih banyak mengeluarkan air sehingga relatif rentan terbakar. Itu terus menerus terjadi kebakaran sampai sekarang.
Dan juga sebenarnya ada regulasi, bahwa pemerintah punya kewenangan untuk audit kepatuhan terhadap industri yang ada di wilayah gambut. Audit kepatuhan itu kalau kita lihat dan baca cukup sistematis, isinya bagaimana melihat kesiapsiagaan sarana prasarana kebakaran dalam pengendalian lingkungan.
Tapi itu sejauh ini belum dilakukan secara maksimal. Misalnya Dinas Lingkungan Hidup melakukan audit kepatuhan, tapi hanya melihat kerja laporan perusahaan saja, mereka tidak lihat fakta konkrit di lapangan. Itu ya seperti omong kosong saja.
Regulasi audit kepatuhan itu dilakukan sejak kapan?
Audit kepatuhan relatif baru dilakukan pascakebakaran 2015 memuncak. Model audit kepatuhan itu hanya laporan korporasi kepada pemerintah, tapi tidak dimonitoring di lapangan dan sebagainya. Audit kepatuhan ini masih ideal dilakukan, asal sepanjang sistem audit dilakukan secara maksimal, tidak hanya menerima laporan dari perusahaan. Audit yang dilakukan seharusnya melihat fakta di lapangan bagaimana infrastruktur pembasahan yang dibangun, dampak lingkungan, tata kelola hidrologis dan lain sebagainya.
Sehingga ruang dan kewenangan yang dipakai oleh pemerintah secara substansi perlidungan gambut dengan situasi yang sekarang tidak dilakukan dengan baik. Itu kita melihat dari proses perizinan hingga terjadi kerusakan gambut di Provinsi Jambi.
Tadi Anda bilang, ada stigma kalau hanya perusahaan saja yang bisa mengelola gambut karena membutuhkan biaya yang besar. Tapi buktinya ada kearifan lokal masyarakat bisa mengelola gambut. Apakah itu bisa dibantah?
Kami sudah mengeluarkan buku tentang ekosistem rawa gambut. Kami memastikan gambut yang dikelola masyarakat tidak berpotensi merusak lingkungan karena ada sistem dan tata cara yang masyarakat lakukan dalam mengelola gambut. Masyarakat gambut juga mengenal prinsip dan nilai-nilai terkait gambut kedalaman, gambut untuk resapan air. Itu sudah diatur mereka sendiri. Modelnya mereka membuka tidak dengan bagi habis semuanya, tapi dengan bagaimana melihat ekeosistem wilayah gambut itu sendiri.
Kami memastikan sistem itu masih dilakukan masyarakat gambut, dan itu tidak berisiko terhadap kerusakan gambut itu sendiri. Masyarakat mampu mengelola gambut.
Bagaimana dengan setelah banyaknya izin perusahaan di wilayah gambut, justru masyarakat gambut semakin kehilangan mata pencahariannya ya?
Problemnya sekarang karena ada ketimpangan terhadap akses pengelolaan gambut sehingga masyarakat berupaya memaksimalkan lahan yang ada, tapi daya dukungnya tidak ada. Itu menjadi pemicu terjadinya problem lain. Kemudian daya potensi kelola di lahan masyarakat yang rendah sehingga perusahaan mengokupansi lahan masyarakat.
Itu tentu berisiko karena gambut sebagai objek yang dikuaasi oleh banyak pihak. Gambut itu kan satu hamparan ekosistem. Kalau bocor satu, maka jadi bocor semua.
Dari 716.838 hektare lahan gambut di Jambi, bagaimana kondisinya sekarang Walhi melihat?
Akumulasi total luas wilayah gambut 70 persen atau 400 ribuan sudah dibebankan izin untuk sektor kehutanan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Dan kalau kita klasifikasikan dari izin itu, ada yang betul betul lengkap, ada yang izin prinsip saja.
Artinya dalam konteks penguasaan areal saja, konteks legalnya punya masalah besar. Kemudian konteks krisisnya ada antara kehutanan dan perkebunan sama sama saling tumpang tindih dalam penguasaan, tidak memperhatikan keberlanjutan, yang dilakukan perusahaan untuk menyelamatkan aspek bisnis saja.
Hingga akhirnya risiko yang dihadapi masyarakat Jambi setiap musim kebakaran hutan dan lahan hingga berdampak kabut asap, masyarakat akan mengalami kesusahan yang luar biasa.
Â
Advertisement
Implementasi Restorasi
Setelah puncak kebakaran tahun 2015, kemudian tahun 2016 Presiden membentuk BRG yang bekerja merestorasi gambut. Namun kebakaran di area gambut masih berlanjut, tahun 2019 terjadi kebakaran yang hampir sama dengan tahun 2015. Bagaimana Anda melihat restorasi gambut itu?
Dalam konteks semangat atau komitmen negara untuk melindungi gambut sudah masuk. Tapi kalau kita lihat bagaimana proses implementasi yang dilakukan, misalnya Badan Restorasi Gambut (BRG) bertanggung jawab untuk memulihkan, tapi dalam konteks kewenangan ada yang dibatasi.
Di Jambi misalnya ada sekitar 200 ribu hektare wilayah gambut yang harus direstorasi. Dan setelah kita overlay dari 200 ribu, di antaranya 140 ribunya berada di pemegang izin sektor perkebunan dan HTI yang harus direstorasi. Sisanya restorasi 60 ribuan hektare dilakukan oleh BRG karena APBN tidak bisa mengintervensi di area yang telah dibebankan izin.
Bagaimana dengan wilayah yang telah dibebankan izin?
Di wilayah yang telah dibebankan izin ini harus dilakukan retorasi oleh pemegang izin, apakah ini bisa dilakukan?. Dalam pemantauan yang kami tidak dilakukan oleh pemegang izin. Prinsip 3R (rewetting, revegatasi, dan revitalisasi) tidak dilakukan pemegang izin.
BRG hanya bisa melakukan supervisi. Dalam terjemahan yang sederhana supervisi ini, BRG hanya memberikan catatan dan rekomendasi. Ini menjadi problem restorasi di kawasan yang telah dibebankan izin.
Kemudian hal lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) tidak memberikan informasi secara detail dalam pelaksanaan teknis perusahaan yang melakukan restorasi. Seharusnya kalau KLHK dari bagian penyelamatan gambut mereka harusnya memberikan keterbukaan informasi terkait mekanisme yang telah perusahana lakukan.
Laporan Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan tahun 2019 mengklaim telah memulihkan ekosistem gambut di kawasan konsesi mencapai 3,4 juta hektare, bagaimana menurut Anda atas klaim ini?
Kalau bicara data itu hanya kuantitatif. Memang ada intervensi, tapi apakah kualitas restorasi berdampak? Menurut saya belum. Walau ada statmen para ahli dan BRG sendiri, kalau pemulihan gambut tidak bisa dalam waktu sebentar. Kalau itu untuk ukuran indikatornya oke. Tapi kalau setiap tahun masih mengalami kebakaran, menurut kita enggak ada progres sama sekali, intervensinya tidak secara maksimal di lakukan.
Kecuali memang, wilayah yang tidak terbakar ditahun ini, tahun depan tidak mengalami kebakaran, pindah ke wilayah yang lain. Tapi kalau di wilayah yang sama terbakar dan itu terbakarnya berulang, berarti intervensi restorasinya tidak maksimal.
BRG punya kewenangan supervisi, tapi dari supervisi itu kalau dilihat masih setengah hati, dan BRG juga mengakui masih banyak perusahaan yang tidak melakukan restorasi secara lengkap...
Kami melihat semangat yang dicapai BRG cukup tinggi. BRG harus merestorasi 2,7 juta hektare, di antaranya 1,7 juta hektare restorasi di area perusahaan, dan 1 juta di area nonizin. Dalam proses implementasi tidak dilakukan secara maksimal.
Supervisi itu satu sisi kewenangan BRG untuk menyelamatkan diberikan, tapi kewenangan eksekusi tidak diberikan dan dibatasi. Ibaratnya kalau dalam bahasa Jambi kepala dimunculkan, tapi ekor dipegang, sama saja.
Lima Tahun BRG, Masih Diperlukan?
BRG akan berakhir tahun 2020, kedepan apakah lembaga ini masih diperlukan?
Seperti yang disampaikan Kepala BRG, penyelamatan gambut masih terus dilakukan. Benar Perpres tentang BRG berakhir sampai 31 Desember 2020, dan kalau BRG masih ada sampai ke depannya tapi kalau kewenangan yang diberikan tidak maksimal, sama saja mengulang lagi dari proses sebelumnya.
Artinya BRG harus diperkuat dan diberi kewenangan full dalam upaya restorasi baik di area konsesi dan nonkonsesi harus dimaksimalkan. Dalam konteks itu terealisasi atau tidak BRG yang memastikan.
Kemudian KLHK punya peran yang cukup besar, tapi kalau untuk kewenangan teknis restorasi sebaiknya diberikan kepada BRG, lebih jelas spesisifknya. KLHK juga mempunyai ruang yang sama sebaiknya fokus bagaimana mengevalusasi dan pelaksanaan restorasinya saja, tidak pada konteks mengimplentasikan restorasi.
Konteks restorasi yang dilakukan BRG di arena non izin secara data dimunculkan, tapi lagi-lagi bicara kualitas hasil retorasi perlu hasil evaluasi mendalam. Temuan kami di lapangan restorasi yang menggunakan dana APBN untuk pembangunan infrastruktur pembasahan gambut seperti sekat kanal, sumur bor banyak yang tidak layak. Kemudian yang kedua restorasi di area konsesi perusahaan ini yang menjadi risiko berat oleh gambut sendiri karena sampai sekarang belum terbuka sejauh mana implementasi restorasi di area konsesi.
Jadi implementasi restorasi harus terbuka, terutama restorasi di area konsesi, karena pengelolaan gambut itu kan berbasiskan ekosistem atau KHG. Yang terpenting KLHK harus membuka seluruh infromasi data yang diberikan terhadap pelaksanaan retorasi yang dieklakukan perusahaan.
Kalau kita mau mengukur semangat implementasi restorasi itu bagaimana dokumen rencana pemulihan bisa diakses. Namun nyatanya dokumen rencana pemulihan tidak bisa diakses oleh publik. Kalau kita lihat dari di sektor perkebunan yang diintervensi BRG sudah cukup terbuka, tapi yang di sektor kehutanan yang menjadi kewenangan KLHK masih tertutup betul, makanya sektor kehutanan ini tidak pernah kita lihat publikasi soal restorasinya secara detail implementasinya.
Dalam proses restorasi ada prinsip 3R, salah satunya revitalisais ekonomi. Dan perusahaan punya kewajiban untuk revitalisasi ekonomi, tapi ternyata tidak dilakukan..
Satu menurut kita karena akses informasi perintah dokumen rencana pemulihan yang tidak bisa diakses sehingga kita sulit untuk melihat upaya apa yang dilakuakn perusahaan. Kemudian regulasi perusahaan harus melaksanakan prinsip 3R, kalau ini tidak tebuka perusahaan tidak melakukan restorasi sama sekali. Dalam sisi lain, kalau itu tidak masuk dalam kerja perusahaan, maka itu hanya sebagai lip servis, tidak menuntaskan masalah yang ada di tengah masyarakat.
Masyarakat gambut, terutama kelompok ibu-ibu justru menjadi buruh perusahaan, mereka bekerja sebagai tukang pupuk, nyemprot...
Akhirnya satu sisi tanggung jawab korporasi untuk perlindungan dan pengelolaan gambut pelaksanan revitalisasi ekonomi masyarakat tidak dilakukan. Lagi-lagi masyarakat dimanfatakan dalam konteks sebagai pekerja saja, dan itu tidak adil dalam situasi dan keberadaan masyarakat gambut yang sudah bergenerasi, masyarakat hanya memanfaatkan sebagai buruh perkebunan saja.
Dan itu juga buruhnya belum tentu ideal sebagai pekerja formal yang seharusnya mendaptkan hak normatif secara nyata. Kadang kita telusuri malah diperkejakan tidak ada jaminaan sama sekali. Ini pilihan pahit untuk masyarakat, mereka terpaksa menjadi buruh karena lahan gambut sudah dikapling semua oleh perusahaan.
BMKG memperkirakan musim kemarau akan mulai terjadi pada Juli 2020. Gambut yang kering masih rawan terbakar, kabut asap masih mengancam, bagaimana tanggapan Anda?
Menurut kami ini catatan menarik, BMKG yang sudah memberikan surat kepada seluruh gubernur, kepala daerah agar siap mengantisipasi Kahutla. Warning ini tidak main-main.
Ini juga menjadi momentum untuk melihat bagaimana upaya yang dilakukan oleh negara untuk mencegah Karhutla. Kalau itu tidak ada maka butuh evaluasi secara utuh bagi instansi atau badan yang melaksanakan restorasi itu.
Terakhir, Covid-19 dan kabut asap, ini ada dua problem. Langkah apa yang tepat harus dilakukan pemerintah, agar kabut asap dapat dicegah?
Kalau kita lihat memang dalam penanganan Karhutla itu instansi yang betul-betul punya fungsi kuat itu di instansi teknis perizinan. Misalnya Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, dan Dinas Lingkungan Hidup. Kalau BPBD itu kan kita lihat lebih kepada banyak tindakan di lapangan.
Nah upaya mitigasi ada di ketika instansi teknis itu. Apalagi tiga instansi ini tidak punya peran terhadap Covid-19, jadi ketiga instansi ini punya peran besar untuk memitigasi. Kalau mitigasi itu tidak dijalankan dengan baik, artinya bisa saja masyarakat akan dihadapkan pada dua problem, masyarakat rentan akan berdampak pada kesehatannya.
Advertisement