Liputan6.com, Bandung - Peneliti Sains Atmosfer dengan Bidang Kepakaran Klimatologi dan Perubahan Iklim di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Erma Yulihastin menyebutkan hujan dini hari di pesisir telah dibuktikan secara statistik memiliki keterkaitan dengan hujan ekstrem yang selama ini memicu banjir-banjir besar di DKI Jakarta, seperti banjir Jakarta tahun 2002, 2004, 2007, 2008, 2013, dan 2014.
Erma melakukan sintesis terhadap tiga fenomena, yaitu hujan dini hari di kawasan pesisir, CENS, dan CT, yang ternyata saling berkaitan satu sama lain.
Advertisement
Baca Juga
“Kita tentu masih ingat, pada awal tahun 2020 lalu telah terjadi banjir besar di Jakarta dan sekitarnya yang dipicu oleh hujan ekstrem yang terjadi pada dini hari,” jelas Erma dalam keterangan tertulisnya Bandung, Sabtu, 20 Juni 2020.
Menurut Erma, hujan dini hari yang terjadi di kawasan pesisir yang diangkat dalam disertasinya merupakan suatu persoalan riset penting. Karena telah memberikan pengetahuan baru mengenai karakteristik hujan diurnal (hujan dalam rentang waktu 24 jam-red) di kawasan pesisir.
Erma telah membuktikan bahwa frekuensi kejadian hujan pagi hari di pesisir utara Jawa barat terjadi signifikan yaitu 45 persen.
“Bahwa kejadian hujan dini hari yang ekstrem tersebut ternyata disebabkan oleh anomali yang terjadi di permukaan atmosfer dan laut di wilayah Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan, yang berlokasi di utara Jakarta,” ucap Erma.
Erma menjelaskan anomali di atmosfer yang dikenal dengan istilah CENS tersebut tampak dari lonjakan aliran angin permukaan yang kuat dari Laut Tiongkok Selatan. Kemudian mengalami penetrasi kuat hingga mencapai pesisir utara Jawa bagian barat, termasuk wilayah Jakarta.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Sistem Peringatan Dini Cuaca Ekstrem DKI Jakarta
Selama ini lanjut Erma, CENS berperan utama dalam memicu aktivitas konveksi kuat yang membangkitkan hujan ekstrem penyebab banjir-banjir besar di Jakarta.
“Namun demikian, efek CENS ternyata dapat diperkuat oleh fenomena CT, yaitu berupa aliran massa air dingin dari Laut Tiongkok Selatan dekat pesisir barat Vietnam dan menjalar ke Laut Jawa sebagai suhu permukaan laut mendingin,” terang Erma.
Dengan demikian CT yang terjadi bersamaan dengan CENS dapat memperparah kejadian hujan ekstrem pada dini hari. Sehingga efek banjir yang ditimbulkan pun dapat semakin parah.
Tinjauan terhadap kejadian CENS-CT, yang dikaitkan dengan hujan dini hari dalam disertasi Erma, telah memberikan kontribusi pengetahuan mengenai interaksi atmosfer-laut di Laut Tiongkok Selatan dalam memengaruhi variasi pola diurnal curah hujan di utara Jawa bagian barat.
“Membuktikan bahwa variasi pola diurnal curah hujan tersebut berhubungan dengan perubahan amplitudo, frekuensi, fase, durasi, dan lokasi curah hujan,” ucap Erma.
Selain aspek sains, disertasi Erma juga telah berkontribusi secara praktis dengan menghasilkan rekomendasi penting bagi peningkatan akurasi sistem peringatan dini cuaca ekstrem untuk DKI Jakarta.
“Indeks CENS-CT tidak hanya perlu dimonitor terus menerus secara real time tapi juga diprediksi hingga 5 hari mendatang.”
Erma Yulihastin meraih gelar doktor dengan predikat Cum Laude pada Program Studi Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), setelah mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul,”Variasi Fase Siklus Diurnal Curah Hujan di Pesisir Utara Jawa Bagian Barat dan Kaitannya dengan Fenomena Cross Equatorial Northerly Surge (CENS) - Cold Tongue (CT)” pada Jumat (19/6) di Gedung Rektorat ITB, Bandung, Jawa Barat.
Advertisement