Liputan6.com, Palu - Di tengah pandemi Covid-19 burung-burung Maleo di Suaka Margasatwa (SM) Pinjan Tanjung Matop Tolitoli, Sulawesi Tengah masih “menikmati” musim bertelurnya. Maret hingga tengah Juni, 2020 ini, sebanyak 306 telur telah ditanam dalam kandang penetasan semi alami.
Musim bertelur burung endemik Sulawesi, Maleo, di SM Pinjan Tanjung Matop Tolitoli, Sulawesi Tengah mulai sejak bulan April lalu. Hingga pertengahan bulan Juni 2020 ini petugas BKSDA di suaka margasatwa itu telah mengumpulkan ratusan telur untuk dipindah dan ditetaskan di kandang semi alami, sebelum nantinya dilepasliarkan.
Advertisement
Baca Juga
“Sampai 18 Juni 2020 kami telah menanam telur dalam kandang penetasan semi alami sebanyak 306 butir,” kata Kasi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng, Haruna, Sabtu (20/6/2020).
Telur-telur Maleo di kandang semi alami itu didapat petugas dari area nesting ground atau area bertelur alami maleo seluas 1,5 kilometer di pinggiran pantai di suaka marga satwa tersebut. Butuh waktu hampir tiga bulan lamanya telur-telur itu berada dalam kandang penetasan untuk menetas. Penjagaan juga dilakukan petugas untuk mencegah pencurian.
Dari jumlah ratusan telur yang telah dipindah dan ditanam kembali itu, Haruna bilang, sudah ada yang menetas dan terus dipantau perkembangannya oleh petugas.
“Baru tujuh ekor yang menetas dan sedang dipelihara di kandang pemeliharaan anakan Maleo. Telur yang ditanam dalam kandang penetasan membutuhkan waktu 65 sampai 85 hari untuk menetas,” dia menceritakan.
Simak Video Pilihan Berikut:
Sehat-Sehat Burung Berjambul Hitam
Jumlah butir telur yang ditanam kembali dan menetas dalam kandang penetasan semi alami dimungkinkan akan terus bertambah. Sebab, musim bertelur bagi Maleo di SM Pinjan Tanjung Matop Tolitoli masih akan terjadi hingga tiga bulan ke depan.
“Kemungkinan masih akan terus bertambah, karena musim bertelur dari bulan April hingga September,” katanya.
Burung berciri panjang sekitar 50 sentimeter dengan jambul hitam keras di kepalanya, serta bulu warna putih di dada dan hitam sebagai warna dominannya itu, di Indonesia dilindungi dengan PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Status endemik juga membuat upaya konservasi dan perlindungan terus dilakukan untuk menjaga populasinya, meski di tengah pandemi Covid-19.
Advertisement