Liputan6.com, Jakarta - Sejak virus corona menyebar ke berbagai penjuru dunia dan menjadi pandemi, berita palsu alias hoaks soal penyakit mematikan itu bertebaran muncul di media sosial. Jika tak waspada, hoaks bisa menjadi lebih berbahaya ketimbang virus corona sendiri. Namun demikian, hoaks bisa dicegah sedini mungkin, satu-satunya cara adalah dengan banyak membaca alias melek literasi.
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas, Woro Titi Haryanti, dalam Webinar 'Mencegah Hoaks dengan Membaca', yang digelar Jumat (26/6/2020) mengatakan, dalam suatu literatur, hoaks sudah ada sejak abad ke-17, dan terus berkembang seiring kemajuan teknologi informasi komunikasi.
Baca Juga
"Manusia cenderung ingin terlihat eksklusif. Menjadi yang pertama membagikan informasi. Apalagi jika informasi tersebut diperoleh dari lingkungan terdekat, seperti keluarga atau teman dekat," katanya.
Advertisement
Menurutnya, ada beberapa jenis hoaks yang biasa beredar di masyarakat. Ada yang seperti pesan berantai, penipuan online, pencemaran nama baik, kisah yang sedih atau memilukan, hingga hoaks seputar tentang mitos-mitos (urban legend).
"Bobotmu ditentukan dari seberapa banyak yang kamu baca,” ujarnya.
Woro mengutip sebuah filosofi dari Jepang, lewat kecintaan membaca yang berkembang menjadi kemampuan literasi digital, mencakup pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital secara sehat, cerdas, dan bijak.
Woro Titi juga punya cara jitu agar warga tidak mudah terpapar hoaks. Caranya adalah saat mendapat informasi yang terdengar ganjil, seseorang perlu mendiamkan informasi itu sejenak. Kemudian telusuri melalui sumber atau portal yang terpercaya. Bisa juga merujuk kepada perpustakaan sebelum menyebarkannya lagi.
"Jangan ikuti sensasi atau tren-tren yang berkembang. Setiap manusia harus bertanggung jawab dengan jarinya," ungkap Woro.
Sementara itu, Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab yang turut menjadi narasumber dalam Webinar mengatakan, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang suka ngobrol. Lebih-lebih di media sosial, dimana pengguna Facebook dan Instagram di Indonesia menyentuh angka puluhan juta.
Nana sendiri mengakui, ada beberapa alasan mengapa hoaks bisa beredar begitu cepat di masyarakat Indonesia. Pertama, karakter masyarakat Indonesia yang suka ngobrol, sehingga lebih rentan terkena hoaks. Kedua, masyarakat Indonesia juga lebih percaya jika mendapatkan informasi dari orang-orang terdekat. Ketiga, situasi yang mempengaruhi terlebih di saat pandemi.
"Ini yang membuat hoaks tumbuh subur karena masyarakat masih sulit mencari referensi Covid-19 yang terhitung baru," katanya.
Nana berpesan agar berhati-hati dengan judul berita yang provokatif, cermati alamat situs, abal-abal atau tidak. Lalu, cek keaslian foto. Saat ini sudah banyak aplikasi yang disediakan untuk mengecek keaslian sumber informasi, gambar, dan foto-foto.
Nana mengungkapkan, belum ajegnya budaya baca buku secara fisik namun sudah begitu cepat beralih ke budaya baca digital, menjadi salah satu faktor utama yang menjadikan hoaks begitu membanjiri masyarakat Indonesia.
Budaya baca digital, katanya, memerlukan kemampuan literasi yang kuat. Dan masyarakat Indonesia masih rentan karena belum mampu memilih serta memilah informasi yang tepat dan sesuai kebutuhan.
"Membaca buku secara fisik akan membawa karakter yang tidak mudah percaya dengan kiriman informasi. Punya rasa penasaran, berhati hati dalam mengambil keputusan, dan terbiasa mencari benang merah dari yang dibacanya. Tidak mudah dibohongi. Sedangkan membaca buku secara digital, biasanya yang dibaca hanya poin-poin atau sepotong-potong," kata Nana menambahkan.