Liputan6.com, Yogyakarta- Miliaran bintang di langit pada malam hari menimbulkan pertanyaan, apakah kita sendirian di alam semesta? Pencarian terkait Extraterrestrial Intelligence (ET) atau kecerdasan alam semesta (di luar tata surya) ini berupaya menjawab pertanyaan itu. Caranya, dengan mencari tanda-tanda peradaban maju dalam kosmos yang maha luas ini.
Venzha Christ, seorang penggiat sains antariksa di Indonesia dan menjadi satu-satunya orang Indonesia yang terlibat proyek pelatihan ke Mars bersama dengan NASA menceritakan pengalamannya.
Ada sebuah lembaga bernama Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) Institute di San Fransisco Amerika Serikat yang berkecimpung di ranah ini. Lembaga ini juga memimpin beragam riset serta memberikan edukasi kepada masyarakat dunia perihal kehidupan di luar planet Bumi.
Advertisement
Para ilmuwan, insinyur, teknisi, guru, dan staf pendukung lainnya yang tergabung dalam SETI Institute menjadi pemain terbesar dalam perburuan kehidupan di luar tata surya.
Baca Juga
Pada 1988, NASA mulai mendanai strategi untuk memetakan semua bagian sudut dan arah langit dalam perburuan yang dilakukan secara non-stop.
“Pengamatan pertama dimulai pada 1992, saat itu peringatan 500 tahun kedatangan Christopher Columbus ke Benua Amerika,” ujar Venzha Christ di Yogyakarta, Sabtu (27/6/2020).
Venzha melakukan riset ke SETI Institute pada 2018, bersamaan dengan perjalanan risetnya ke SpaceX yang juga bermarkas di California. Dalam pertemuannya dengan Seth Shostak, Direktur SETI Research dan juga tokoh dalam institusi Carl Sagan Center (CSC). Dalam percakapan dengan Seth Shostak, Venzha mempresentasikan tentang International SETI Conference yang setiap tahun diadakan oleh Indonesia Space Science Society (ISSS) dan menjadi SETI Conference yang pertama di Asia Tenggara.
Ia mengulang kembali pendapat Seth Shostak kala itu. Menurut astronom SETI Institute itu, ada tiga cara untuk menemukan kehidupan di dunia lain atau luar planet Bumi.
“Yang pertama adalah pergi dan melihat, suatu proses yang hanya bisa dilakukan dalam tata surya,” ucap Venzha Christ.
Kedua, mempelajari cahaya dari planet untuk menyelidiki atmosfernya. Sekarang proses ini sedang berlangsung dan dapat diamati dengan instrumen seperti teleskop luar angkasa Hubble NASA.
Ketiga, mencari sinyal yang bisa menunjukkan tanda-tanda serta kecerdasan di luar tata surya dan inilah yang dilakukan oleh SETI Institute.
Dalam penelitian SETI, ketika sinyal yang menarik dan spesifik terdeteksi, para ilmuwan harus terlebih dahulu melakukan verifikasi. Tujuannya, untuk mengetahui sinyal itu berasal dari luar planet Bumi atau bukan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pakai Teknologi Radio
Konfirmasi pengamatan dilakukan dengan teleskop radio lain, sehingga mereka dapat saling menilai dan memastikan bahwa mereka tidak mengambil sinyal buatan manusia di Bumi. Ketika alat penerima yang berupa antena sudah menentukan sumbernya bukan berasal dari Bumi, masih ada tahap lain berupa instrumen tambahan yang membuat duplikasi sinyal dan menganalisis dengan sebuah proses ilmiah.
Faktanya, sinyal yang sebenarnya dicari oleh para pemburu dan ilmuwan SETI hari ini tidak kompleks seperti yang diasumsikan oleh para pakar matematika. Mereka tidak mencari pesan dengan kode yang rumit, hitungan matematika berlapis, atau bahkan versi bahasa-bahasa alien.
Instrumen yang ada saat ini sebagian besar tidak sensitif terhadap modulasi atau pesan yang mungkin disampaikan oleh siaran luar angkasa.
“Sinyal radio SETI dari jenis yang benar-benar bisa kita temukan adalah bunyi seperti peluit pita sempit yang persisten,” tutur Venzha.
Ia mengungkapkan para ahli memandang fenomena sederhana seperti itu tidak memiliki tingkat struktur berdasarkan sains yang kuat, meskipun sangat mungkin sinyal itu berasal dari sebuah planet yang sangat jauh tempatnya. Jadi, sampai saat ini telah dibangun antena-antena raksasa yang lebih sensitif dan lebih akurat untuk meneliti dari mana asal sinyal-sinyal unik itu.
Menurut Venzha, tanda-tanda kehidupan ekstraterestrial (ET) bisa dicari dengan menangkap komunikasi radio yang datang dari luar Bumi. Mengapa menggunakan teknologi radio? Jawabannya, karena teknologi radio tidak hanya sebagai sarana komunikasi yang murah, tetapi juga merupakan tanda peradaban teknologi.
Peradaban di Planet Bumi ini secara tidak sengaja telah mengumumkan kehadirannya sejak 1930-an melalui gelombang radio dan siaran televisi yang melakukan perjalanan dari Bumi ke luar angkasa setiap hari dan ke segala arah.
Venzha menambahkan juga bahwa riset yang baik adalah melalui sebuah pertemuan dan percakapan, diskusi, serta pertanyaan. Riset tidak harus berbiaya besar, tapi yang terpenting adalah bahwa sebuah penelitian dan observasi membutuhkan kedislipinan dan sebuah konsistensi.
Venzha Christ sebagai Founder dari HONF Foundation (1999), v.u.f.o.c Lab (2010), ISSS (2015), International SETI Conference (2016), dan Indonesia UFO Network - IUN (2019), aktif melakukan kerjasama di persinggungan antara seni dan sains antariksa.
Riset di ranah ini sudah Venzha dilakukan ke lebih dari 40 institusi serta lembaga penting dunia pada area Space Science dan Space Exploration. Lembaga yang dimaksud, antara lain, LHC-CERN (European Organization for Nuclear Research), NASA -AMES research center, SETI Institute-USA, Roswell, AREA 51, Griffith Observatory, CSC (Carl Sagan Center), MARS Sociery, JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency), Tsukuba Space Center, KEK (High Energy Accelerator Research Organization), J-PARC (Japan Proton Accelerator Research Complex), ELSI (Earth Life Science Institute), KAVLI IPMU (Institute for the Physics and Mathematics of the Universe), CEOU (Center for Exploration of the Origin of the Universe), CPPM (Le Centre de Physique des Particules de Marseille), IAP (The Institut d'astrophysique de Paris), Station de Radio Astronomie de Nançay, LAM (The Laboratoire d’Astrophysique de Marseille), VIRAC (Ventspils International Radio Astronomy Centre), dan IRAM (International Research Institute for Radio Astronomy).
Advertisement