Liputan6.com, Makassar - Lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) mengadukan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) ke Jaksa Agung.
Hamka, Peneliti ACC Sulawesi mengatakan pengaduan ACC Sulawesi ke Jaksa Agung terkait kinerja Kejati Sulsel, dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Kabupaten Pangkep, tahun anggaran 2016 yang dinilai sangat tidak profesional.
"Sejak awal dalam penanganan kasus alkes Pangkep ini, Kejati Sulsel berulah sangat tidak profesional," kata Hamka, Peneliti Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Sabtu (4/7/2020).
Advertisement
Baca Juga
Ia mengatakan Kejati Sulsel seenaknya menghentikan kasus dugaan korupsi alkes di Kabupaten Pangkep itu, karena alasan tidak ditemukan kerugian negara, sementara kata Hamka, hal itu bertolak belakang dengan kesimpulan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dengan jelas-jelas menemukan bahkan menguraikan kerugian negara yang terjadi dalam kegiatan pengadaan alkes tersebut.
"Dari penyidikan kasus dugaan korupsi alkes di Pangkep ini juga ada 3 orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Tapi tiba-tiba dihentikan padahal LHP BPK temukan kerugian negara lumayan besar," terang Hamka.
Hasil Audit BPK
Berdasarkan LHP BPK terhadap kegiatan tersebut, kata Hamka, telah timbul kerugian negara akibat penyusunan Harga Penetapan Satuan (HPS) tidak didasarkan atas survey harga di wilayah setempat. Melainkan, HPS tersebut disusun berdasarkan surat penawaran yang diperoleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kasubag Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.
Kemudian juga dalam kegiatan pengadaan alkes tersebut, lanjut Hamka, ditemukan indikasi mark up harga dalam penyusunan HPS. HPS disusun dengan dasar penawaran dari penyalur.
Harga satuan untuk dental unit, jauh melebihi harga satuan standar yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Pangkep Nomor 486 tahun 2016. Diantaranya harga dental unit merek king asal negara Jepang, ditetapkan melalui SK sebesar Rp180.000.000 sedangkan dental unit dalam HPS sebesar Rp625.000.000.
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan BPK juga, kata Hamka, menemukan bahwa SK Bupati tentang penetapan standarisasi harga satuan barang dan jasa tersebut itu diterbitkan pada tanggal 26 Juli 2016. Meski setelahnya tepatnya pada tanggal 1 September 2016, SK Bupati itu dicabut dan diganti dengan SK Bupati nomor 569 tahun 2016 yang sama sekali tak mencantumkan penetapan harga standarisasi.
Tak hanya itu, lanjut Hamka, BPK juga menemukan proses pengadaan alkes tidak melalui sistem e-purchasing. Melainkan proses lelang dilakukan karena mengikuti perintah Pengguna Anggaran (PA) dan tidak pernah melakukan pengecekan di e-katalog. Padahal sesuai ketentuan yang ada, proses pengadaan untuk barang-barang yang sudah ada di e-katalog dilakukan e-purchasing.
Selanjutnya juga ditemukan adanya indikasi pengaturan peserta lelang. Dimana dari tiga perusahaan yang memasukkan penawaran yakni PT. Aras Sanobar, PT. Toba Medi Sarana dan CV. Jaga Sarana Kencana, terdapat dua penawaran yang diunggah dari sumber yang sama yakni berasal dari desktop IP 180.251.172.8.
Dua perusahaan yang memasukkan penawaran dari sumber yang sama tersebut diketahui penawaran milik PT. Aras Sanobar dan CV. Jaga Sarana Kencana.
Kemudian berlanjut, BPK kembali menemukan bahwa Pokja ULP tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran. Diantaranya tak permah mengunduh dokumen penawaran yang masuk. Tapi dokumen penawaran hanya pernah diunduh oleh user inisial AY yaitu auditor BPK yang sedang melakukan pemeriksaan.
Temuan lainnya yakni, kata Hamka, dimana BPK menyatakan bahwa izin edar alat kesehatan yang diadakan juga tidak dapat ditelusuri dan enam unit alat kesehatan belum didistribusikan dan masih berada di gudang rekanan.
Kemudian temuan BPK selanjutnya yakni terkait enam unit alat kesehatan masing-masing 3 unit dental unit dan 3 unit incubator bayi yang rencananya didistribusikan ke 3 unit puskesmas yakni ke Puskesmas Lk. Kalmas, Puskesmas Lk. Tangata dan Puskesmas Sarappo tersebut ditemukan tersimpan di gudang milik PT. Aras Sanobar.
Tak sampai disitu, BPK juga menemukan sikap PPK yang tidak cermat dimana melakukan pembayaran tidak sesuai dengan kontrak yang ada. PPK, membayar pengerjaan sebesar 30 persen atau senilai Rp6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 20 persen.
Berdasarkan hal diatas, kata Hamka, sangat jelas bahwa terjadi penyimpangan dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) di Kabupaten Pangkep.
"Anti Corruption Committee (ACC) tegas meminta kepada Jaksa Agung untuk memerintahkan Kejati Sulsel membuka ulang kasusnya dan segera mengevaluasi kinerja Kejati Sulsel," Hamka menandaskan.
Advertisement
Kajati Firdaus Berjanji Evaluasi
Di awal menjalankan tugasnya sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel), Firdaus Weldimar berjanji membenahi kinerja-kinerja jajarannya dalam rangka mewujudkan pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Salah satunya dengan mengevaluasi penanganan sejumlah kasus korupsi warisan kepemimpinan lama yang berjalan mandek.
"Para Asisten, Koordinator serta Tim Penyidik semuanya dikumpulkan dalam rapat evaluasi penanganan perkara guna percepatan dan penyelesaian perkara korupsi yang ditangani di Kejati Sulsel. Itu salah satu wujud bukti Komitmen kami," kata Firdaus usai memimpin rapat evaluasi penanganan perkara korupsi saat itu di Kantor Kejati Sulsel, Senin 21 Oktober 2019.
Tak hanya itu, ia juga sempat menjelaskan bahwa penghentian perkara di tingkat penyidikan (SP.3) bukan merupakan harga mati.
Jika nantinya ditemukan kembali adanya bukti baru, maka penyidikan terhadap perkara yang dimaksud, itu bisa dibuka kembali.
"Secara filosofi kan, penghentian (SP.3) itu bisa dikarenakan alat bukti yang belum cukup atau secara teknis belum terpenuhi. Dalam penanganan perkara harus ada kepastian hukum tidak dibiarkan berlarut-larut," jelas Firdaus saat bersilaturahmi di Kantor ACC Sulawesi saat itu.
Meski demikian, upaya penghentian penyidikan perkara seperti perkara dugaan korupsi pengadaan alkes di Kabupaten Pangkep yang dimaksud, kata dia, bukan berarti berlaku seterusnya.
"Jadi bukan harga mati. Sewaktu-waktu ada temuan baru terkait alat bukti misalnya, maka tidak menutup kemungkinan akan dibuka kembali," terang Firdaus.
Kedepannya, ia berjanji juga akan mengevaluasi seluruh penanganan perkara dugaan korupsi yang telah ditangani pihaknya. Baik itu masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga tahap penuntutan.
"Paling lambat awal bulan depanlah. Saya tentu akan evaluasi semuanya dan akan transparan setiap perkembangan yang ada khususnya dalam penanganan perkara-perkara korupsi yang sementara ditangani," akhir kata Firdaus saat bertandang ke Kantor ACC Sulawesi saat itu.
Detik-Detik Penghentian Drama Penyidikan Kasus Alkes Pangkep
Jauh sebelumnya, dari hasil penyidikan kasus alkes Pangkep ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Namun belakangan, penyidikan kasus yang dikabarkan melibatkan adik Bupati Pangkep tersebut, berhenti setelah salah seorang tersangka melalui istrinya diam-diam menyetorkan uang senilai Rp 6 miliar pada bulan Juli 2017 kepada penyidik Kejati Sulsel.
“Disitulah terakhir kejadiannya. Selanjutnya tak ada kabar dan tiba-tiba muncul diekspose dinyatakan dihentikan (SP.3). Tapi saat ACC Sulawesi menyurat meminta salinan SP3 tak dibalas hingga saat ini. Jadi SP3 kasus ini tak jelas,” ungkap Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement