Liputan6.com, Sikka - Hidup itu perjuangan. Tanpa perjuangan, niscaya keberhasilan tak akan diraih. Seperti kisah hidup Fransiskus Beny (25).
Pemuda ini tak pernah mengeluh dilahirkan dari keluarga miskin. Sejak kecil, ia hidup sendiri bersama ibunya, Yuvensia (61) karena ditinggal pergi sang ayah.
Advertisement
Baca Juga
Gubuk berukuran 2X2 meter di RT 039/RW 012, Kelurahan Waioti, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, NTT, menjadi tempat berlindung ibu dan anak ini.
Hidup serba keterbatasan di gubuk tanpa lampu listrik, tak membuat pemuda ini patah semangat. Baginya, ibu adalah segalanya. Apa pun ia lakukan agar ibunya bisa selalu tersenyum.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia menjual hasil kebun di pasar. Sesekali, ibunya pun turut membantu membawa hasil kebun untuk dijual. Meski hidup di wilayah kota yang sedang dihantui covid-19, Fransiskus bersama ibunya tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
"Apa pun saya tetap bertahan hidup dengan Mama. Jangankan listrik, beras miskin saja, kami tak dapat. Hidup dari hasil jualan saja sudah cukup. Intinya, mama sehat selalu," ujarnya kepada wartawan, Rabu (22/7/2020).
Untuk menerangi gubuk reyot pada malam hari, mereka mengandalkan lampu pelita buatan ibunya.
"Saya kadang sedih melihat tetangga dapat bantuan dari pemerintah," ujarnya.
Fransiskus mengaku dalam beberapa pekan terakhir, mereka hanya mendapatkan bantuan sembako dan bantuan peralatan bangunan rumah dari Pastor Paroki St Thomas Morus, KUB St. Yohakim dan beberapa tokoh masyarakat di Kelurahan Waioti.
Kepedulian warga dan pihak gereja itu lantaran melihat kesusahan ibu dan anak di gubuk reyot yang seringkali kebasahan saat hujan turun. Bahkan, saat malam tiba, mereka harus hidup dalam kegelapan karena tidak ada listrik untuk menerangi.
"Cuma pakai lampu pelita saja. Kadang juga tidak pakai karena tidak ada minyak tanah. Kalau hujan lari ke tetangga, kadang bisa sampai tidak pernah tidur semalaman," ucapnya.
Liputan6.com yang mengunjungi ibu anak ini pada Rabu (22/7/2020) sekitar pukul 18.00 Wita disambut dengan senyum ramah saat dipersilahkan masuk ke gubuk tak layak huni itu. Sungguh memprihatinkan memang. Gubuk kecil yang berada di tengah kebun ini sangat gelap. Hanya ada satu lampu pelita yang menerangi gubuk reyot itu.
Tak ada kamar di dalamnya. Hanya terdapat satu tempat tidur dari bambu tak bertikar. Ada juga karpet usang menutupi lantai tanah. Seluruh pakaian terisi dalam beberapa kardus bekas, tampak menumpuk di bawah kolong tempat tidur, bercampur dengan perlengkapan masak.
Di luar gubuk, terdapat tungku buatan yang digunakan untuk memasak. Ironis memang, masih ada warga kota yang luput dari perhatian pemerintah. Hanya harapan yang membuat mereka masih bertahan.