Liputan6.com, Yogyakarta- Peringatan Indonesia UFO Day 2020 tidak seperti tahun sebelumnya. Pertemuan tahunan International SETI Conference tidak bisa dilaksanakan karena pandemi Covid-19.
Sebagai gantinya, Indonesia Space Science Society (ISSS), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), dan Indonesia UFO Network (IUN), menjadikan momentum Indonesia UFO Day 2020 sebagai kegiatan riset dan observasi yang diadakan pada masa adaptasi kebiasaan baru. Kegiatan itu dilakukan di Balai Uji Teknologi dan Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BUTPAA) LAPAN Garut pada 21 sampai 22 Juli lalu yang juga dihadiri Kepala BUTPAA Lapan Garut, Unggul Satrio Yudhotomo.
Pada tanggal itu juga bertepatan dengan LAPAN seluruh Indonesia melakukan observasi pertamanya untuk pengamatan komet NEOWISE. Sesuai protokol ketat di tengah pandemi Covid-19, observasi dan riset ini diikuti peserta dalam jumlah yang terbatas. Hanya enam orang perwakilan dari ISSS dan IUN yang mengikuti acara ini.
Advertisement
"Dunia astronomi dan space science (sains antariksa) masih minim peminat, jika dibandingkan dengan jumlah populasi Indonesia yang saat ini sudah mencapai 269 juta jiwa,” ujar Venzha Christ, Direktur ISSS sekaligus salah satu pendiri IUN, di Yogyakarta, Senin (27/7/2020).
Baca Juga
Ia menilai, Indonesia masih jauh tertinggal jika dilihat dari ketersediaan infrastruktur, fasilitas observasi, wahana pembelajaran sains antariksa untuk masyarakat, serta lembaga pendidikan yang memiliki jurusan astronomi atau space science. Ketertinggalan itu juga terasa dalam level kecintaan atau ketertarikan masyarakat untuk mengobservasi fenomena-fenomena alam yang terjadi.
Meskipun demikian, masih ada harapan di dalam negeri. Perkembangan seni dan teknologi di Indonesia menunjukkan kemajuan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Venzha menuturkan, perkembangan yang positif itu tidak bisa lahir sendiri. Komunitas juga harus bergerak aktif menciptakan inovasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kemajuan sains antariksa di dalam negeri. Rencana pembangunan Observatorium Nasional di Kupang menjadi salah satu angin segar bagi masyarakat Indonesia.
“Dunia astronomi masih sangat membutuhkan kerjasama, kolaborasi, serta budaya saling berbagi ilmu pengetahuan secara mandiri, sederhana, dan mudah,” ucapnya.
Venzha memaparkan cara-cara ini dikenal dengan budaya DIY (Do It Yourself) serta DIWO (Do It With Other). Oleh karena itu, perlu elemen masyarakat, komunitas, praktisi independen, peneliti amatir, pecinta ilmu alam, penggiat astronomi, lembaga pendidikan dasar dan menengah, dan elemen lainnya untuk turut berpartisipasi dan mengembangkan kecintaan terhadap astronomi dan sains antariksa secara umum.
Langkah nyata yang bisa dilakukan melalui berbagai lokakarya, presentasi, seminar, kegiatan riset dan penelitian, diskusi-diskusi kecil. Tujuannya, supaya simpul-simpul pengetahuan dari berbagai ranah ilmu pengetahuan bisa terjalin, mengingat perbedaan adalah sebuah kekayaan dan keberagaman adalah pilar pemersatunya.
“Dengan melihat kenyataan tersebut maka komunitas mandiri serta lembaga-lembaga independen, seperti ISSS dan IUN ini, sebagai penggiat astronomi dan sains antariksa di Indonesia yang aktif melakukan kolaborasi dengan berbagai lembaga serta kelompok-kelompok riset, maka diharapkan bisa merealisasikan hubungan simbiosis mutualisme ini pada posisi yang benar di masyarakat,” tuturnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Rangkaian Riset Sejak 2016
Riset yang dilakukan di BUTPAA LAPAN Garut merupakan rangkaian riset, observasi, serta kolaborasi yang secara aktif dilakukan oleh ISSS sejak tahun 2016 dan IUN sejak 2019. ISSS pertama kali pertama kali pada 2014 digagas oleh Venzha Christ, direktur HONF Foundation, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang seni dan teknologi sejak 1999.
“Platform ini berdiri dengan semangat di tengah minimnya infrastruktur dan platform yang nyata, masyarakat di Indonesia bisa dekat dengan space science dan space exploration di Indonesia secara mudah dan sederhana,” kata Venzha.
Sementara, IUN adalah wadah berkumpulnya berbagai komunitas dan Institusi lintas disiplin. Selain komunitas UFO, di dalamnya juga terdapat penggiat atau periset di ranah astronomi, ET, SETI, sejarah peradaban, maupun space science. Sebagai forum terbuka, IUN juga memungkinkan untuk berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan institusi yang bermanfaat untuk masyarakat, terutama ranah space science.
ISSS dalam perkembangannya banyak melibatkan institusi-institusi penting nasional maupun internasional, seperti space agency, lembaga-lembaga riset, maupun berbagai universitas dari berbagai negara. Sampai 2019 tercatat ssdah lebih dari 40 lembaga dan institusi dalam ranah space science dan space exploration yang sudah dituju sebagai tempat riset dan observasi, baik untuk membina jaringan maupun untuk berkolaborasi.
Banyak riset, kolaborasi, serta penelitian dilakukan Venzha Christ bersama dengan v.u.f.o.c lab yang secara berkala dipresentasikan dan dibagikan kepada masyarakat luas di tanah air.
“International SETI Conference adalah salah satu output unggulan dari ISSS yang diselenggarakan setiap tahunnya di Indonesia dengan mengundang berbagai pakar dan ilmuwan dari berbagai negara,” ujarnya.
Menurut Venzha, space science tidak bisa dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia.Faktanya, peradaban juga sejalan dengan pertumbuhan dan evolusi peradaban tersebut yang tak lepas dari berbagai fenomena alam. Hal ini menjadikan dunia astronomi dan space science terus berkembang menembus batas.
Advertisement
Bonus Demografi di Indonesia Emas
Venzha mengatakan Menuju Indonesia Emas, Hebat dan Mandiri 2045 adalah jargon yang sering didengar akhir-akhir ini. Sudah selayaknya menjadi cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa untuk mengejar dan mewujudkannya di tengah karut marut persoalan bangsa.
“Pendidikan menjadi ujian yang nyata, yang harus segera bisa kita cari cara efektif untuk menaikkan parameter yang terpuruk ini,” ucapnya.
Venzha mengungkapkan pendidik harus memiliki strategi dalam menyongsong bonus demografi. Pada 2045, generasi saat ini akan berada pada puncak usia produktif mereka. Mereka akan berumur 40 sampai 51 tahun. Artinya, nasib Indonesia mendatang ditentukan oleh generasi milenial hari ini.
Lantas, muncul sederet pertanyaan yang dilontarkan Venzha. Apakah benar kita sudah membekali mereka dengan jangkauan pengetahuan yang benar? Apakah kita sudah menjadikan budaya membaca dan belajar yang tinggi untuk mengejar ketertinggalan kita khususnya pada ranah astronomi dan space science?
Ia menilai, kondisi ini menjadi tantangan serius bagi Indonesia pada 2045 bila tidak diantisipasi dengan baik. Sebaliknya, kondisi-kondisi tersebut juga dapat menjadi peluang besar, jika dikelola dengan bijaksana.
Namun, untuk mencapai itu Venzha tidak sepakat jika hanya bergantung kepada pendidik sepenuhnya.
“Apakah kita sudah mampu untuk bergantung pada para pendidik? Tidak, sebaliknya kita sebagai generasi muda kreatif harus bisa memastikan bahwa sebuah perubahan adalah sebuah revolusi untuk kemajuan,” ucapnya.