Sukses

Menyoroti Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai Paradigma Baru pada Masa Pandemi

Omnibus Law RUU Cipta Kerja sering ditakutkan para pekerja. Namun, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof Wihana Kirana Jaya menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus jadi paradigma baru.

Liputan6.com, Yogyakarta - Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi paradigma baru dalam menghadapi perkembangan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Prof Wihana Kirana Jaya menilai perlu mencari paradigma baru pada masa pandemi ini termasuk Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam menghadapi kemungkinan krisis ekonomi.

"Pemikirannya tidak bisa seperti di masa normal, harus di masa krisis juga. Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ada saat ini upaya pemerintah untuk memulai lebih awal, sebelum kondisi normal kita harus menarik perhatian dan investasi-investasi baru," kata Wihana dalam diskusi virtual bertajuk "Solusi Membangkitkan Ekonomi di Tengah Pandemi," Rabu (29/7/2020).

Menurutnya, Indonesia masih harus memperbaiki masalah kemudahan investasi. Staf khusus Kementerian Perhubungan ini menyoroti istilah investasi tidak bisa dilihat hanya sebagai investasi asing saja. Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga memiliki semangat untuk mendorong investasi lokal yang basisnya ekonomi masyarakat. 

"Justru dalam regulasi ini, ada batasan-batasan. Policy dan rule of the game-nya coba diselaraskan agar investasi lokal juga terdorong dan terakselerasi," katanya.

Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ahmad Maruf menyebut semangat RUU Cipta Kerja justru bisa menstimulus ekonomi rakyat. Ia menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pro terhadap kepentingan UMKM, jika disahkan bisa membantu UMKM dalam menjalankan perekonomian masyarakat.

"Kalau saya me-review dari RUU Cipta Kerja, saya melihat pro UMKM. Tampak sekali dari banyak pasal saya sudah petakan banyak pro UMKM. Saya yakin jika ini bisa terakselerasi dengan baik bisa menstimulus untuk kebangkitan ekonomi rakyat," kata Ma’ruf.

Dosen Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY ini mengatakan banyak UMKM di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah yang tidak mampu membayar upah di atas Upah Minimum Regional (UMR). Menurutnya, dengan RUU Cipta Kerja UMKM akan bisa bertahan meski tidak bisa membayar upah di atas UMR.

“UMKM diizinkan dan dimaklumi tapi bukan berarti aji mumpung tidak, ada regulasi turunannya. Tapi paling tidak bahwa ketika UMKM ini terpaksa tidak bisa membayar gaji upah karyawannya di bawah UMR itu statusnya tidak sebagai penjahat ekonomi tapi karena keterpaksaan. Nah hal-hal seperti ini bisa didialogkan,” jelas Ma’ruf.

Ma’ruf menambahkan, RUU Cipta Kerja relevan dengan ekonomi lokal masyarakat. Ma’ruf mencontohkan dalam RUU Cipta Kerja pemerintah diharuskan melakukan penyederhanaan administrasi perizinan.

"Ada pemangkasan administrasi pajak. UMKM misal pengusaha tahu kalau disuruh bikin IPAL berat sekali tidak ekomomis. Maka pemerintah di RUU Cipta Kerja itu wajib memfasilitasi penyediaan instalasi pengelolaan limbah. Bahkan sampai kalau UKL, UPL, dan AMDAL itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini kan sangat potensial," ujar Ma’ruf.

Ma’ruf menegaskan pro-kontra terhadap suatu kebijakan merupakan hal yang biasa terjadi, termasuk RUU Cipta Kerja ini. Dia meminta kepada pihak-pihak yang kontra untuk mau berdialog bisa duduk bersama mencari solusi yang terbaik untuk semua pihak.

"Bagi saya pro-kontra tidak ada masalah, yang penting ruang dialog itu terbuka, jangan pakai pokoke tolak. Nah saya kira ini tidak fair. Yang terpenting ruang dialognya terbuka dan saya menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini manfaatnya jauh lebih banyak bagi ekonomi rakyat," tegas Ma’ruf.

 

Simak juga video pilihan berikut ini: