Liputan6.com, Bali - Keterbatasan kemampuan bicara dan mendengar bukan menjadi alasan utama bagi warga Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng, Bali untuk berinteraksi dengan masyarakat dunia Internasional.
Tak ada perbedaan mencolok antara Desa Bengkala dengan desa lainnya di Bali. Aktivitas warganya pun berlangsung normal. Sebagaimana seperti masyarakat biasanya, yang kesehariannya diisi dengan waktu untuk bekerja, melakukan hubungan sosial, dan beribadah.
Namun, jika diperhatikan seksama, ada sejumlah warga yang memilih menggunakan bahasa isyarat. Hal ini lantaran banyak warganya yang bisu dan tuli sejak lahir.
Advertisement
Baca Juga
"Ada 12 Kepala Keluarga (KK) yang mengidap gangguan bisu dan tuli. Jumlah jiwanya ada 42 jiwa," kata Kepala Dusun Bengkala, Ketut Wenten pada Liputan6.com, Minggu (10/1/2016) Artikel ini telah ditulis ulang pada Rabu 5 Agustus 2020.
Ketut Wenten mengaku, keberadaan warganya yang mengidap bisu dan tuli sudah sejak dahulu kala. Kemudian, penyakit yang oleh warga Bali disebut 'kolok' itu terjadi secara turun temurun.
Menurut dia, ada banyak versi dari tetua desa mengenai awal mula penyakit tersebut. Namun, untuk kebenarannya kini tengah dilakukan penelitian.Â
"Tentu ini karena faktor genetik. Tapi bagaimana mula penyakit ini berkembang dan turun temurun saat ini sedang dalam penelitian. Masih dalam tahap pengumpulan data agar kita mendapat referensi dari sumber yang benar," ungkap Ketut Wenten.
Saksikan Video Pilihan Ini
Pola Aneh dan Semangat Maju
Ia menceritakan, tak melulu bisu tuli yang diidap warganya berdasarkan faktor genetika. Sebab, ada warganya pasangan suami istri normal justru melahirkan anak pengidap bisu tuli. Sebaliknya, pasangan suami istri bisu tuli justru melahirkan anak yang normal.
Di Desa Bengkala kini telah dibangun sekolah khusus untuk pengidap bisu dan tuli. Kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah pada umumnya.Â
"Ada sekolah khusus di sini, sekolah inklusi. Komunikasi yang digunakan antara guru dan murid ya, bahasa kolok. Tidak ada batasan usia. Mereka yang mau belajar dipersilakan," tutur dia.
Sementara untuk urusan administrasi di banjar, pengidap bisu tuli tak dibebankan iuran. "Misalnya ada pembangunan pura, mereka dibebaskan dari iuran," kata Ketut Wenten.Â
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Desa Bengkala memiliki Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) yang dibentuk berkat kerja sama PT Pertamania dan seluruh universitas yang ada di Bali. Di sana, mereka melakukan kegiatan ekonomi muali dari memproduksi karya kerajinan.
Ada juga yang beternak babi, sapi, menjadi buruh harian dan berkesenian adalah pekerjaan sehari-hari yang biasa mereka geluti.Â
"Jadi, dari sanalah perputaran roda ekonomi mereka," ujar Ketut Wenten.
Advertisement
Mengenal Internet
Seiring kemajuan teknologi, masyarakat pengidap bisa tuli di Bengkala pun mulai bertahap dikenalkan dengan komputer dan internet. Terbukti, kata Ketut Wenten, para Kolok lebih cepat belajar dan menguasai materi yang diajarkan.Â
"Kini, kolok di Desa Bengkala lebih maju dari pengidap penyakit serupa di daerah lainnya. Selain bisa membuat kerajinan, berkesenian dan menghasilkan uang sendiri, mereka juga memiliki pergaulan internasional melalui saluran internet," ucap dia.
Kini, para Kolok itu punya banyak teman di dunia, mereka juga kerpa mempromosikan Bali pada msayrakat dunia lewat dunia internet yang mereka mulai kuasai.