Sukses

Tak Hanya Milik Bangsawan, Begini Perjalanan Panjang Perak Kotagede

Museum Sonobudoyo Yogyakarta melalui pameran koleksi perak bertajuk Rajata, Perak dan Kisah di Antaranya, mencoba memaparkan perjalanan panjang perak.

Liputan6.com, Yogyakarta- Yogyakarta, terutama kawasan Kotagede, terkenal dengan kerajinan perak. Namun, tidak banyak yang tahu perjalanan kerajinan perak tidak muncul begitu saja.

Museum Sonobudoyo Yogyakarta melalui pameran koleksi perak bertajuk Rajata, Perak dan Kisah di Antaranya, mencoba memaparkan perjalanan panjang perak. Pameran yang digelar mulai 4 sampai 24 Agustus 2020 ini mengambil judul yang sama dengan tujuannya. Rajata berarti perak dalam Bahasa Sansekerta.

Perak merupakan salah satu dari delapan hal yang dianggap penting dalam kitab Cilpasastra, sebuah kitab keagamaan Hindu-Buddha yang dipakai sebagai pedoman pembuatan arca-arca dewa.

“Melalui pameran ini, Sonobudoyo berharap industri perak terus lestari di Yogyakarta dan Kotagede, khususnya” ujar Kepala Museum Sonobudoyo, Setyawan Sahli, Minggu (9/8/2020).

Perak identik dengan Yogyakarta karena keberadaan Kotagede sebagai salah satu sentra kerajinan perak yang diperkirakan sudah muncul pada abad 16, masa kerajaan Mataram Islam.

Berdasarkan tradisi lisan, aktivitas pengolahan logam dan emas sudah berkembang lama di wilayah itu. Semula, kerajinan perak dari komunitas di Kotagede hanya diperuntukkan bagi kalangan kerabat keratin dan bangsawan istana.

Setelah perpindahan ibukota kerajaan, para pande perak di Kotagede tetap tinggal di sana dan berkembang menjadi kawasan kerajinan penghasil perak.

“Setelah Yogyakarta dikuasai pemerintah Hindia Belanda, maka dimulai era baru sentra kerajinan perak Kotagede,” ucap Setyawan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Perpaduan Barat dan Timur

Situasi politik serta kedatangan bangsa Eropa yang menyebabkan pecahnya Kerajaan Mataram Islam menjadi dua Keraton Yogyakarta dan dua Keraton Surakarta juga berdampak terhadap Kotagede. Sentra kerajinan perak itu harus melayani permintaan empat keraton sekaligus, yakni Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Puro Pakualaman, dan Mangkunegaran.

Menurut Setyawan, kerajinan perak yang semula hanya produk terbatas perlahan bertransformasi menjadi industri. Masyarakat Belanda yang tinggal di negara koloni turut andil mengubah wajah industri perak Kotagede dengan memadukan kultur barat dan timur dalam produksinya. Misal, pembuatan sendok dan garpu dari perak, serta penggunaan ornamen sulur dalam kerajinan perak biasanya ada di candi.

Totalitas Yogyakarta sebagai penghasil kerajinan perak juga ditunjukkan dengan berdirinya Kunstambachtsschool atau Sekolah Seni Kerajinan Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi yang diinisiasi oleh Java Instituut pada 1939. Bangunan sekolah ini berada di salah satu gedung Museum Sonobudoyo.

Berbagai karya seni kriya, termasuk kerajinan perak lahir dari tangan murid-murid sekolah ini. Sayangnya, sekolah ini hanya mampu meluluskan satu angkatan (1939-1941) karena gejolak Perang Dunia II setelah Jepang berhasil menguasai wilayah Hindia Belanda.