Sukses

Filolog Ungkap Tidak Ada Trah Sunan Gunung Jati di Keraton Kasepuhan Cirebon

Sejarah panjang perjalanan Cirebon dari zaman kerajaan hingga Belanda yang memengaruhi kebijakan keraton hingga penentuan sultan baru

Liputan6.com, Cirebon - Kisruh perebutan tahta Keraton Kasepuhan Cirebon terus bergulir. Pihak keluarga Rahardjo Djali menunjuk dirinya menjadi Polmak atau PJS Sultan XV Keraton Kasepuhan Cirebon hingga ditetapkan sultan definitif.

Sementara pihak keluarga Putra Mahkota PR Luqman Zulkaedin bersikukuh tahta Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon jatuh kepadanya usai Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat meninggal dunia.

Luqman juga mengklaim adat dan tradisi pergantian sultan sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu. Yakni sebelumnya ditetapkan putra mahkota oleh sultan yang masih bertahta.

Namun, di tengah bergulirnya polemik perebutan tahta, kedua belah pihak diketahui tidak memiliki keturunan atau trah murni Sunan Gunung Jati.

Filolog Cirebon Raffan S. Hasyim mengatakan, jika melihat silsilah ke belakang trah murni keturunan Sunan Gunung Jati di Keraton Kasepuhan Cirebon sudah tidak ada.

"Sebenarnya sudah melenceng jauh dan sudah lama sekali melencengnya," kata pria yang akrab disapa Opan Safari itu, Minggu (9/8/2020).

Opan mengungkapkan, berdasarkan catatan sejarah Cirebon, menyimpangnya keturunan asli Sunan Gunung Jati bermula sejak tahta dipegang oleh Sultan Sepuh VI bernama Ki Muda atau Sultan Sepuh Hasanudin.

Ki Muda, dalam catatan sejarah diketahui membunuh pamannya sendiri, yaitu Sultan Sepuh ke V Keraton Kasepuhan Cirebon Pangeran Matangaji.

"Saat itu Sultan Sepuh VI itu jabatannya hanya polmak karena menggantikan Sultan Sepuh V yang wafat, tapi seharusnya kan setelah selesai jadi polmak itu posisi sultan sepuh dikembalikan. Saat itu yang berkuasa adalah Belanda maka Belanda yang saat itu memutuskan. Sultan sepuh ke VI itu buatan Belanda sampai sekarang," ujar dia.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Meluruskan Sejarah

Berdasarkan keterangan yang dihimpun, usai Sultan Sepuh VI berkuasa, tahta kemudian tidak kembali kepada turunan yang asli.

Tahta Keraton Kasepuhan Cirebon, kata Opan, jatuh ke tangan Sultan Sepuh VII atau Sultan Sepuh Djaharudin yang merupakan adik kandung dari Sultan Sepuh VI.

"Harusnya kan takhta itu dipegang adiknya Pangeran Matangaji. Sampai saat ini keturunannya masih ada," kata Opan.

Menyikapi kisruh imbas pengukuhan Rahardjo Djali sebagai PJS Sultan Sepuh ke XV Keraton Kasepuhan, Opan mengaku tidak ada yang melanggar.

Dia menjelaskan, jabatan Polmak atau PJS sultan sudah ada dan diterapkan di Keraton Kasepuhan maupun Keraton Kanoman Cirebon.

"PJS di masa transisi sudah pernah terjadi. Jadi kalau ada keputusan Rahardjo jadi Polmak ya tidak masalah sambil menunggu siapa orang yang pantas menduduki tahta Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon setelah almarhum PRA Arief," kata dia.

Opan menegaskan, jabatan Polmak belum tentu otomatis menjadi sultan definitif. Meski demikian, kemungkinan itu bisa saja terjadi.

Berdasarkan aturan adat, pergantian tahta di Keraton Kasepuhan Cirebon adalah keturunan yang memiliki nasab garis laki-laki. Opan berharap, kisruh yang tengah bergulir tersebut menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang upaya meluruskan sejarah.

Dia mengaku tidak ikut campur dalam urusan perebutan tahta yang terjadi di Keraton Kasepuhan Cirebon.

"Memang benar garis laki-laki nasabnya kalau Rahardjo ini setahu saya dari keturunan Sultan Sepuh XI tapi dari garis ibu. Tapi secara garis laki-laki nyambungnya ke Sunan Gunung Jati," ujar dia.