Liputan6.com, Aceh - Pemimpin redaksi salah satu media daring di Aceh berinsial TS harus berhadapan dengan pihak berwajib setelah kepala dinas pendidikan dan kebudayaan setempat melaporkannya ke polisi, Rabu (5/8/2020). Punca pelaporan tersebut tidak lain ialah karena berita yang tayang di media tersebut.
Berita tersebut tayang secara maraton atau berseri dengan berita perdana yang terbit berjudul "Utak-Atik Kepala Sekolah dan Surat Palsu Ala Kadis Pendidikan Langsa." Isinya dugaan bahwa kepala dinas berinisial S (50) telah mengeluarkan surat undangan palsu untuk acara pelantikan kepala sekolah.
Frasa "surat palsu" itu muncul karena ada dugaan bahwa sang kadis menandatangani surat undangan tersebut pada masa dirinya sedang cuti selama empat bulan untuk mengikuti PKN TK II Angkatan IX, terhitung dari Juni hingga Oktober mendatang. Dengan begitu, S hingga kini masih berstatus bebas dinas dan ada potensi pelanggaran hukum di dalam tindakannya tersebut.
Advertisement
Berita itu turut menyinggung soal dugaan bahwa terdapat niat monopoli anggaran di balik kebijakan sang kadis yang memutasi sejumlah kepala sekolah. Narasumber dalam berita adalah sejumlah kepala sekolah dan guru dengan identitas tidak tertulis alias rahasia.
Para kepala sekolah yang statusnya kini mantan kepala sekolah itu berkeluh kesah soal sikap S yang tiba-tiba mengganti posisi mereka dengan orang lain. Mutasi ini terjadi setelah anggaran dari pemerintah turun yang mereka sebut berkat usaha serta kerja keras secara swadaya dalam membangun dunia pendidikan di sekolah mereka.
Kemudian hari, media yang sama menerbitkan beberapa judul lainnya. Antara lain, "Wali Kota Dalam Genggaman Saya, Begitu Cara S******** Mengintimidasi Kepala Sekolah di Langsa" dan "S******** Bukanlah Seorang Kartini."
Menurut penasihat hukum pelapor, M Sa'i Rangkuti, kliennya merasa nama baiknya telah tercemar akibat pemberitaan terkait dirinya di media tersebut yang dia nilai tendensius dan subjektif. Rangkuti menilai pemberitaan yang menyeret nama kliennya itu cenderung tidak taat kode etik.
"Jelas adanya indikasi pencemaran nama baik, berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian, sangat berpotensi di sana," sebut Sa'i dalam percakapan melalui sambungan telepon dengan Liputan6.com, belum lama ini.
Salah satu yang Sa'i sorot adalah pemakaian frasa "surat palsu" pada judul dan isi berita. Dirinya menolak jika frasa ini orang sebut sebagai perumpamaan untuk menekankan maksud dan tujuan penulis dalam mendeskripsikan dugaannya terkait tindakan S yang telah menandatangani surat pada masa dirinya bebas dinas.
"Surat palsu itu, kan, pidana itu. Bahasa surat palsu itu sudah fitnah, kalau kritik bukan seperti itu, banyak sebenarnya bahasa-bahasa redaksi kritik, tapi itu bukan domain kritik," tegas advokat yang bekerja di firma hukum bernama Law Office M Sa'i Rangkuti & Associates ini.
Sebaliknya, pemimpin redaksi yang menjadi terlapor, TS, menampik jika pemberitaan yang S persoalkan hanya hantam kromo. Tajamnya isi tulisan di dalam berita tersebut berdasarkan apa yang para narasumber kata atau keluhkan sekalipun identitasnya rahasia.
"Dan itu, kan menindas kepala-kepala sekolah dan guru-guru di bawah jajaran dia. Kita dapat informasi, kita serap, langsung dari kepala-kepala sekolah, guru-guru," kata TS, kepada Liputan6.com, belum lama ini.
Namun, kerahasiaan identitas tersebut sama sekali tidak menyalahi kode etik bahkan tertera sebagai salah satu poin yang tidak haram malah wajib apabila memang narasumber yang meminta. Pun demikian, media yang dia pimpin juga telah menayangkan klarifikasi S atas berita yang mereka terbitkan.
"Secara resmi dia kirim di atas kop itu melalui email kita, kan, ada juga berita 'Begini klarifikasi S********.' Itu utuh kita buat, dia karena klarifikasinya lewat email, di atas kop dinas, kita tayangkan bulat-bulat itu," jelas TS.
Penayangan klarifikasi tersebut belum cukup menurut Sa'i. Yang kliennya inginkan ialah tanggapan bukan menayangkan klarifikasi berkop dinas secara mentah-mentah, kata dia.
"Ditanggapi, ditayangi, tapi tidak dikomen. Diterima, hanya dilayangkan saja surat kita, tapi tidak ditanggapi pemberitaan yang dia lakukan. Itu sebenarnya bukan tanggapan namanya. Malah, besoknya buat berita-berita yang lain lagi, sangat menyudutkan," ujar Sa'i.
Pelaporan yang S lakukan mendapat kritikan dari salah satu organisasi pers bernama Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Tayang di media terlapor, pemimpin pusat organisasi tersebut, Wilson Lalengke, mengatakan bahwa S tidak memiliki alasan sama sekali untuk membungkam komentar rakyat para era demokrasi.
Sementara, pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Posisi pers melengkapi tiga pilar lain, yakni, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang salah satu fungsinya menjadi corong kritikan.
Dari hasil analisisnya, berita-berita yang tayang di media tersebut serenteng dengan pakem penulisan beberapa jurnalis di Aceh yang senang menguliti objek hingga tidak tersisa. Gaya penulisan seperti itu memang bisa membuat objek gagu, keki, salah tingkah, mati langkah, dan kesal hingga ke ubun-ubun.
Menurut Wilson, rakyat telah membayar sang kadis dengan mahal melalui gaji, tunjangan, dan segala fasilitas hidup yang dia nikmati. Jika tidak ingin jadi objek kritikan, Wilson menyarankan agar S segera turun dari jabatan dan jadi rakyat biasa agar tahu bagaimana rasanya mengkritik.