Sukses

Danau Maninjau 'Cantik dari Luar, Busuk di Dalam', Apa Solusinya?

Danau Maninjau jika dilihat dari ketinggian memang indah, namun ketika berada dipinggirnya terlihat bagaimana tercemarnya lingkungan di sana.

Liputan6.com, Agam - Pemandangan elok Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatera Barat ternyata berbanding terbalik dengan keadaan lingkungannya. Air danau yang keruh dan aroma busuk begitu kentara jika berdiri di pinggirannya.

Persoalan tercemarnya Danau Maninjau bukan baru-baru ini terjadi, tetapi sudah bertahun-tahun bahkan juga sudah menarik perhatian pemerintah pusat.

Namun hingga kini, belum ada solusi konkret untuk menyelesaikan masalah pencemaran air danau vulkanik tersebut. Penanganan masalah Danau Maninjau juga sudah masuk dalam perhatian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Salah seorang praktisi di bidang lingkungan, Indrawadi Mantari mengatakan di dasar Danau Maninjau pada kedalaman sekitar 15 meter terdapat sedimentasi dari limbah pangan dan bangkai ikan.

"Sedimentasi ini menyebabkan buruknya kualitas air dan sewaktu-waktu bisa saja naik ke permukaan dan menjadi penyebab matinya ikan berton-ton banyaknya," katanya yang juga aktif kegiatan menyelam itu.

Kemudian, sedimentasi limbah pakan dan bangkai ikan berakumulasi menyebabkan penurunan kualitas air serta menimbulkan bau busuk.

Limbah pangan dan bangkai ikan itu berasal dari Keramba Jaring Apung (KJA) milik pembudidaya, jumlah KJA di Danau Maninjau sudah berlebihan sehingga menimbulkan masalah lingkungan.

Persoalan yang dinilai berlarut-larut ini akhirnya mendorong berbagai elemen kelompok masyarakat mengadakan diskusi, bagaimana caranya menyiasati masalah tersebut.

Dalam salah satu diskusi yang diinisiasi pemuda Agam, Syamsul Bahri, membahas mengenai solusi dan langkah konkret yang mungkin bisa diusulkan sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di Danau Maninjau.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Solusi Alternatif

Salah seorang pembicara diskusi itu, seorang mahasiswa Program Pascasarjana jurusan Biologi di Universitas Andalas, Riska menawarkan penggunaan pakan alami.

Riska mengatakan selain jumlah KJA yang melampaui kapasitas penyebab utama pencemaran Danau Maninjau, penggunaan pelet sebagai pakan utama juga menjadi penyebabnya.

"Pelet yang tidak dikonsumsi menumpuk membentuk lapisan sedimen," kata dia.

Oleh sebab itu, ia menyodorkan gagasan penggunaan pelet digantikan dengan alga. Selain tidak mengandung zat kimia berbahaya, alga bisa berkembang biak dengan alami hanya dengan menggunakan cahaya matahari.

"Selama alga tersebut mendapatkan cahaya matahari selama itu pula ia bisa terus hidup dan berkembang biak," kata Riska yang juga pernah meneliti tentang alga tersebut.

Kemudian salah seorang tokoh muda di Agam, Syamsul Bahri menyebut solusi yang juga bisa dikembangkan adalah digagasnya ekowisata.

Ekowisata bisa merangsang pertumbuhan potensi ekonomi berbagai sektor seperti kerajinan, rumah makan, penginapan dan perhotelan serta jasa perjalanan wisata.

"Luasnya jangkauan ekowisata tidak serta merta akan mematikan potensi keramba yang selama ini sudah ditekuni oleh masyarakat," ujarnya.

Namun demikian, yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah kondisi Danau Maninjau yang sudah tercemar. Proses pembenahan ini mesti melibatkan elemen petani keramba, para pengusaha, masyarakat, dan pemangku kebijakan.

Ia berpendapat bahwa sedimentasi yang menumpuk di dalam mesti dikeluarkan terlebih dahulu. Sedimentasi ini sangat mungkin diolah menjadi pupuk.

Â