Sukses

Cerita Pengusaha Tionghoa Bantu Kiai dan Santri dalam Perang Gerilya di Pegunungan Cilacap

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun berkobar. Di berbagai daerah, laskar perjuangan kembali mengkonsolidasi kekuatan. Tak terkecuali golongan ulama dan santri.

Liputan6.com, Cilacap - 75 tahun lalu, Indonesia merdeka. Pada 17 Agustus 1945, proklamasi dibacakan oleh Bung Besar, Soekarno, didampingi oleh Bung Hatta.

Pekik kemerdekaan dari Pegangsaan Timur itu lantas merembet ke kota-kota lain, disebarkan lewat radio, dan menyulut konvoi rakyat di berbagai daerah. Salah satunya, Kota Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Majenang menjadi penting lantaran wilayah ini adalah kota pertama Jawa Tengah, usai melintas perbatasan Provinsi Jawa Barat. Di sini pula, ada perkebunan seluas ribuan hektare yang dikelola perusahaan Belanda.

Tetapi euforia kemerdekaan itu tak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, sekutu yang menang Perang Dunia II masuk ke Indonesia. Tujuannya tentu melucuti kekuatan Jepang, yang sebelumnya bercokol tiga tahun. Yang jadi masalah, NICA membonceng.

Konfrontasi pun tak terhindarkan. Segera saja, tentara dan pejuang kembali ke suasana perang. Terlebih, usai sekutu dan NICA mulai menduduki Jakarta dan kota-kota penting lainnya. Rupanya Belanda tak rela, Hindia Belanda yang kaya itu lepas dari cengkeramannya.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun berkobar. Di berbagai daerah, laskar perjuangan kembali mengkonsolidasi kekuatan. Tak terkecuali golongan ulama dan santri.

Di Majenang, ada laskar Hisbullah dan Sabilillah, wadah perjuangan rakyat, yang sebagian besar anggotanya adalah kiai dan santri. Namun begitu, ada pula anggota yang berasal dari rakyat biasa.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Gerilya Hisbullah dan Sabilillah

KH Amin Mustolih, pengasuh Ponpes Baabussalam, Ciawitali, Cimanggu, adalah salah satu saksi mata awal kemerdekaan RI di Cilacap. Usianya sudah sepuh, kisaran 85 tahun. Tatkala berkecamuk perang mempertahankan kemerdekaan Kiai Amin adalah remaja tanggung.

“Kalau Sabilillah itu berlatih. Itu menjaga masyarakat. Orang-orang itu mengungsi ke hutan, ke gunung,” kata kiai sepuh ini, beberapa waktu lalu.

Penjagaan harus dilakukan lantaran Belanda mulai merangsek maju ke Jawa Tengah. Berbulan-bulan, tentara dan pejuang dibantu masyarakat membuat rintangan di jalan dengan melintangkan pohon-pohon berukuran besar.

“Biar kendaraan Belanda tidak bisa melintas. Tapi ternyata mereka itu bawa buldoser itu,” ujarnya.

Kala itu, makanan begitu sulit dicari. Perang menyebabkan petani tak leluasa bercocok tanam. Krisis pangan melanda. Tentara republik dan pejuang pun tak lepas dari krisis ini. Mereka mesti bersiaga dan bergerilya dalam kondisi perut lapar.

Masyarakat membantu tentara dan laskar dengan bahan pangan apa saja. Pun dengan orang-orang kaya prorepublik. Salah satunya yang paling dikenang adalah seorang pengusaha Tionghoa di Majenang, Oey Kim Tjin.

Kim Tjin, kerap menyalurkan bantuan logistik dan pembiayan untuk laskar Sabilillah. Baik untuk latihan, maupun perang gerilya.

“Salah satu yang membantu mendanai,” dia mengungkapkan.

 

3 dari 4 halaman

Bintang Jasa untuk Pengusaha Tionghoa Pro-Republik

Cucu Oey Kim Tjin, Yoseph Budhi Wiharja mengaku tak tahu persis perjuangan yang dilakukan oleh kakeknya. Maklum, Budhi lahir pada 1958, atau sekitar satu dasawarsa setelah peristiwa itu terjadi. Namun, dari cerita kakek dan ayahnya, Oey Tjang Tjin, keduanya sangat prorepublik.

Bahkan, kakeknya mendapat dua bintang jasa, yakni dari presiden dan Legiun Veteran RI. Bintang jasa itu menjadi bukti bahwa meski tidak langsung terlibat dalam pertempuran, bantuan yang diberikan pada masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan sangat berarti.

Budhi bercerita, Oey Kim Tjin sendiri adalah pengusaha hasil bumi dan transportasi. Cengkih, pala, ketela, beras, dikirim ke Bandung dan Jakarta. Pulangnya, kakeknya membawa lampu dian, petromaks, dan peralatan rumah tangga lainnya.

Sebagai sosok pengusaha yang mengusai wilayah, Oey Kim Tjin dipercaya pemerintah kolonial untuk mendistribusikan logistik untuk markas-markas Belanda di sisi Jawa selatan. Karenanya, kakeknya lantas memiliki kendaraan angkut.

Kendaraan tersebut merupakan kendaraan tempur yang diubah sesuai dengan kebutuhan, sebagai alat angkut barang sipil.

“Tapi kakek saya ibaratnya berkhianat kepada Belanda. Logistik itu banyak yang diselundupkan untuk para pejuang,” ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Pemindahan Dokumen Negara ke Yogyakarta

Armada milik kakeknya bahkan pernah digunakan untuk mengangkut dokumen penting saat ibu kota negara dipindah ke Yogyakarta. Nama perusahaan transportasi itu adalah EMTO. Oey Kim Tjin sendiri memiliki armada bekas kendaraan tempur semenjak sebelum kemerdekaan RI.

“Nama awalnya EMTO, kemudian berubah menjadi GS EMTO. Itu terlibat dalam pemindahan dokumen negara,” dia menjelaskan.

Budhi menempati rumah peninggalan kakeknya yang bergaya Eropa. Rumah ini juga pernah dibumihanguskan oleh sang kakek dibantu pejuang. Taktik bumi hangus itu dilakukan lantaran mereka tak rela bangunan ini digunakan sebagai markas oleh sekutu dan NICA.

Sebab, rumahnya sengat strategis digunakan sebagai pangkalan militer. Selain rumah tinggal, terdapat pula gudang berukuran besar dan garasi armada angkutan.

“Maka dibakar. Sengaja dibakar,” ucap Budhi.

Di kemudian hari, bangunan ini juga sempat digunakan sebagai markas tentara dan pejuang. Oey Kim Tjin pada masa orde baru bernama alias Masdjan Kartowihardjo. Sedangkan ayahnya, bernama Untung Kencono.

“Pernah ini digunakan sebagai markas tentara, Koramil, sementara,” ucapnya.