Sukses

Menengok Pembuatan Suntiang, Mahkota 'Anak Daro' Saat Pesta Pernikahan Adat Minangkabau

Suntiang bagi perempuan Minangkabau yang sedang melangsungkan resepsi pernikahan ibarat sebuah mahkota.

Liputan6.com, Padang - Anak daro basuntiang, adalah istilah kepada perempuan Minangkabau ketika baralek. Suntiang dan perempuan di Sumatera Barat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan saat resepsi pernikahan.

Jika dalam bahasa Indonesia baralek berarti resepsi pernikahan, pada waktu baralek itulah mempelai wanita dipasangkan suntiang. Ketika dipakai, suntiang yang ada di kepala perempuan ibarat mahkota.

Suntiang biasanya disewa oleh keluarga pengantin, satu paket dengan pelaminan atau singgasana tempat mempelai duduk ketika resepsi.

Meski pada umumnya suntiang dipakai saat resepsi pernikahan, tetapi dalam sekali waktu juga ada dipakai ketika acara adat, kemudian juga saat pawai yang dipakai oleh anak-anak serta kegiatan besar lainnya.

Lalu, bagaimana proses pembuatan suntiang ini? Salah satu perajin suntiang yang ada di Sumatera Barat, berdomisili di Lubuk Basung Agam. Namanya Jumri, barangkali ia satu-satunya perajin suntiang yang ada di Lubuk Basung.

Pria berusia 60 tahun itu telah menekuni usaha pembuatan hiasan kepala perempuan Minangkabau tersebut sejak 1975. Ratusan suntiang yang dibuat Jumri, telah menyebar ke seluruh wilayah di Sumbar. 

Jumri kecil hidup di lingkungan perajin aksesoris di Kota Padang. Kemudian pada 1975 atau kelas 1 SMP ia sudah bisa membuat aksesoris untuk suntiang.

Lalu ketika di bangku SMA, ia memberanikan diri membuka usaha sendiri untuk pembuatan suntiang. Hasil usaha itu pula yang dijadikan oleh Jumri untuk pendidikan.

"Melalui usaha ini juga saya bisa menamatkan perguruan tinggi dan memperoleh gelar diploma ekonomi," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Cara Membuat Suntiang

Jumri menjelaskan, membuat kerajinan ini memang membutuhkan waktu dan kesabaran. Suntiang dirangkai menggunakan kawat kecil yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala.

Pada kawat itu kemudian dipasang sedikitnya lima jenis aksesoris atau penghias. Hiasan itu dinamakan suntiang pilin, gadang, mansi-mansi, jurai-jurai, dan bungo.

Ukuran sebuah suntiang pun bervariasi tergantung jumlah mansi atau kawat. Suntiang paling besar ukurannya 25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi.

"Suntiang 21 mansi yang paling umum dipakai saat ini," katanya

Kemudian, lanjutnya ada juga suntiang yang ukurannya lebih kecil. Suntiang ini biasa dipakai pelajar saat pawai peringatan 17 Agustus dan acara lainnya.

Bahan suntiang pun dibagi jadi tiga jenis berdasarkan bahan, lebih berat dan mahal terbuat dari seng aluminium kuningan. Kemudian mansi biasa, dan yang sekarang mulai banyak dipakai, terutama untuk pelajar.

"Untuk suntiang ukuran standar atau menengah saya menjualnya Rp1,4 juta, tapi semua tergantung ukuran dan kerumitan pembuatan," ujarnya.

Butuh waktu paling sedikit satu Minggu bagi Jumri menyelesaikan satu suntiang. Waktu tersebut akan lebih lama lagi untuk pembuatan suntiang menggunakan kawat tembaga.

3 dari 3 halaman

Pesanan Menurun

Pria yang sempat mengabdi sebagai dosen itu menyebut pemesanan suntiang saat ini jauh menurun. Bahkan, dalam 6 bulan terakhir dirinya sama sekali tidak mendapatkan pesananan.

Namun apa boleh buat, ia sudah mencoba pekerjaan lain, juga sudah banyak rantau yang didatanginya. Namun, dari membuat suntiang ia menemukan kenikmatan.

Meski saat ini pemesanan suntiang terbilang sepi, Jumri mengaku akan terus menekuni kerajinan itu. Bahkan, jika ada yang berniat belajar, dirinya bersedia membuka kelas kursus.

"Tapi saya melihat, minat anak muda sekarang sangat minim untuk menggeluti usaha semacam ini, apalagi pekerjaan ini membutuhkan kesabaran," ia menambahkan.