Liputan6.com, Balikpapan - Setengah berlari perempuan desa ini tergopoh memasuki rumah sebelah rumahnya. Ada kegaduhan di rumah panggung kayu tempat tinggal orangtuanya ini, Sugito Kasirin (82) dan Wasiyem (80) di Kelurahan Argosari, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim).
Mukanya pucat mendapati ayahnya tertelungkup tanpa daya di dekat kursi sofa dengan bantalan gabus terkelupas.
"Bapak sudah lama sakit tua, kakinya sudah tidak kuat menahan tubuh sehingga sering terjatuh dari kursi dan tempat tidur," kata Dewi Pertiwi (38), sembari membangunkan ayahnya, Kamis (20/8/2020).
Advertisement
Dewi adalah putri sulung pasangan Sugito dan Wasiyem. Pantas saja, ia merasa bertanggung jawab mengurusi orangtuanya yang sudah lanjut usia itu.
Baca Juga
Sugito sempat tercatat menjadi tapol partai terlarang sejak 1979. Ia dulu adalah tentara berpangkat terakhir prajurit satu kesatuan Batalyon 609 Balikpapan.
Malang tidak bisa ditolak, hidup Sugito hancur saat dituduh menjadi antek 'partai merah'. Dia ditahan dan dibuang bersama 167 tapol lain. Sanak saudara dan bahkan putri kandungnya enggan mengakuinya.
Ironis, Sugito tidak tahu kesalahannya saat dituding antek partai terlarang itu. Sejak muda, ia memang menggemari seni budaya Jawa, seperti ludruk, ketoprak, tari jaran kepang, dan wayang orang, yang tidak ada sangkut pautnya dengan ideologi Partai Komunis Indonesia.
Sugito ditahan selama tujuh tahun tanpa peradilan hingga diasingkan ke hutan Amburawang, yang menjadi cikal bakal Kelurahan Argosari.
Selama itu, ia dipaksa meninggalkan tiga anaknya, yaitu Sriyadi, Suyono, dan Warsini. Anak dari istri pertama ini tidak memperoleh pendidikan layak.
Di Argosari ini, Sugito membangun keluarga baru bersama warga setempat. Hasil perkawinannya ini membuahkan sepasang anak, Dewi dan Bari Subagyo (34).
Selama itu pula, kehidupan ekonomi keluarga Sugito morat-marit. Dewi dan Bari serba kekurangan, hanya mampu menamatkan jenjang bangku pendidikan sekolah dasar (SD).
"Kami berdua lulusan SD saja, tidak punya biaya untuk sekolah, bapak tidak mampu membayari," ungkap Dewi.
Meskipun begitu, Dewi enggan menyalahkan orangtuanya. Menurut dia, ayahnya hanya menjadi korban pertarungan politik era tahun 60-an.
"Saya sayang kedua orangtua, tidak akan menyalahkan mereka. Kalau bukan saya, terus siapa lagi," ujarnya.
Perempuan 38 tahun ini sudah berdamai dengan melupakan peristiwa masa lalu. Berjalannya waktu, ia berharap peruntungan anak-anaknya lebih baik dibanding dirinya. Setidaknya, mereka punya kesetaraan hak tanpa harus dibayangi dosa masa lalu. Apalagi secara logika, menurutnya, mereka semestinya tidak menanggung beban dosa politik masa lalu.
"Anak-anak saya juga punya cita-cita tinggi," tutur Dewi.
Dewi dikaruniai dua anak yang masih duduk di bangku SD. Putrinya bermimpi ingin menjadi dokter sedangkan adik laki-lakinya berniat menjadi tentara.
"Mereka memang masih SD sekarang ini, namun cita-cita keduanya sejujurnya membuat kami berkecil hati," keluhnya.
Namun demikian, Dewi ragu anak-anaknya bisa mulus menggapai cita-cita. Pasalnya keluarganya terus mendapat stigma PKI
.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Belenggu Stigma
Seorang eks tapol, Aloysius Paelan (82), juga merasalan kondisi yang membelenggu keturunan eks tapol Argosari. Apalagi, ia punya pengalaman minor tentang larangan keturunannya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/Polri.
"Tidak ada yang bisa menjadi pegawai negeri, seluruhnya kerja swasta," papar pria sepuh yang dulu tentara bertugas di Kodam Mulawarman.
Stigma negatif bahkan dialami kerabat jauh Paelan. Meskipun tidak terlibat PKI, keluarga kakaknya tetap dianggap bersalah. Cucunya gagal menjadi prajurit TNI AL. Ia ketahuan memiliki hubungan darah dengan tapol Argosari.
"Padahal kakak saya tidak tersangkut tuduhan PKI. Kesalahannya hanya dia punya adik yang dianggap antek PKI, yaitu saya," ungkapnya.
Institusi TNI/Polri tidak berkomentar banyak. Kepala Penerangan Kodam Mulawarman Kolonel (Kaveleri), Dino Martino, berdalih sistem penerimaan prajurit TNI memang masuk dalam radar intelejen.
"Kebijakan penerimaan prajurit ada di ranah staf intel, nanti saya tanyakan kepada yang bersangkutan," katanya.
Sedangkan Polri terlihat lebih kompromis. Pasukan Bhayangkara memastikan taat kebijakan diputuskan negara.
"Polri ikuti pemerintah, coba buka referensi di zaman Presiden Gus Dur," kata Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Komisaris Besar Ade Yaya Suryana.
Seperti diketahui, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat menggaungkan wacana rekonstruksi nasional eks tapol di Indonesia. Termasuk rencana penghapusan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Komunis/Marxisme.
Namun, Paelan tetap patah arang, negara bisa merehabilitasi nama baiknya. Menurutnya, penyelesaian persoalan eks tapol membutuhkan komitmen besar dari seluruh pihak. Kondisi terjadi saat ini, berbagai praktisi sosial, politik, agama, dan budaya terus menolak keberadaan tapol.
"Sekarang banyak orang memakai kata PKI sebagai komoditas untuk menyerang pihak lain, bahkan presiden juga diserang dengan kalimat ini," tutur Paelan yang menjadi perwakilan tapol tersisa, Sugito Kasirin, Wagiran, dan Maman Sudana.
Advertisement
Komoditas Politik
Perkampungan Argosari dulunya adalah area seluas 2.000 hektare di tengah hutan Kukar. Lokasinya berjarak tempuh dua jam perjalanan darat arah Balikpapan.
Kala itu pemerintah melakukan pembersihan oposisi di Kalimantan dengan tuduhan PKI di tahun 1979. Mayoritas diantara tapol di eksekusi tanpa proses persidangan, sisanya diasingkan ke Argosari. Mereka menjalani kerja paksa dengan membuka hutan sekaligus membangun barak tempat tinggal.
Tentara melarang tapol keluar dari area Argosari. Mereka pun dipaksa memperoleh kartu tanda penduduk (KTP) khusus berkode ET atau eks tahanan politik. Baru pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur, tapol Argosari mulai menghirup kebebasan.
Dalam kasus ini, Komnas HAM memastikan pemberangusan massa pascapemberontakan PKI 1965 adalah bentuk pelanggaran HAM berat.
Pemerintah harus mengakhiri manuver politik negara atas prilaku diskriminasi dengan rekonsiliasi nasional dan memperadilkan pelaku pelanggaran.
"Ada nuansa politik di sejumlah institusi negara membawa isu PKI sebagai komoditas politik praktis," ungkap Komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Padahal fakta di lapangan, kata Anam, sudah terjadi rekonsiliasi antara para tapol dengan masyarakat. Mayoritas rakyat Indonesia sudah melupakan konflik masa lalu PKI yang menjatuhkan ribuan korban jiwa.
"Kami memberikan advokasi terhadap eks tapol PKI di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kesimpulannya sudah terjadi rekonsiliasi dan perkawinan di antara kelompok masyarakat ini," ungkapnya.
Kalaupun ada kelompok intoleran, menurut Anam, bukan merupakan representasi mayoritas rakyat Indonesia. Kelompok kelompok ini hanya memanfaatkan stigma isu PKI demi kepentingan politik praktis tertentu.
Sehubungan itu, negara harus konsisten mendorong rekonsiliasi antar masyarakat dan kelompok elite. Komnas HAM mengapresiasi kebijakan positif negara bertahap menghapus prilaku diskriminasi eks tapol.
"Sudah boleh ikut pemilu dan memperoleh KTP," ungkap Anam.
Sementara itu, hal senada juga diungkapkan Deputi Direktur Human Right Working Grup, Daniel Awigra. Dirinya meminta negara bergegas mengupayakan rekonsiliasi eks tapol. Keterlambatan penanganan dikhawatirkan menghantui perjalanan sejarah bangsa ini.
"Kalau tidak segera diselesaikan akan menjadi stigma negative bangsa ini selama bertahun tahun," ujarnya.
Para penggiat HAM aktif menyuarakan tuntutan eks tapol PKI. Mereka menuntut permintaan maaf negara atas pelbagai pelanggaran HAM masa lalu. Eks tapol pun menuntut pemberian hak-hak sudah teramputasi.
"Hak-hak gaji, pensiun dan hak-hak lainnya. Sebenarnya tuntutan mereka sederhana dan masuk akal," papar Awigra.
Aktivis HAM aktif melakukan rekonsiliasi membantu eks tapol. Penolakan masih kerap terjadi disuarakan kelompok intoleran.
"Beberapa kali seminar tentang eks tapol di Jakarta dibubarkan kelompok ini. Mereka tidak pernah mau mendengar alasan kami," keluhnya.