Liputan6.com, Yogyakarta - Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta memang sudah tak beroperasi. Namun jejaknya masih sangat jelas. Dunia seni mencatat tegas dengan huruf tebal.
Lalu apa jadinya ketika para alumni ini gelisah dan ingin menghidupkan roh berproses kesenian?
Para alumni yang ada mencoba menggelar reuni. Bukan reuni besar, namun cukup kuat menjadi penanda bahwa bangunan tua di Jalan Sompilan Ngasem 12 Yogyakarta ini adalah rumah bersalinnya para seniman.
Advertisement
Ditandai dengan pameran tunggal lukisan dari salah satu alumninya, Jeddink. Semua lukisan yang dipamerkan adalah lukisan wajah yang menjadi tokoh-tokoh besar di Indonesia. Dibuka oleh Yani Saptohoedojo sejak Minggu (30/08/2020).
Baca Juga
Menurut Mahmoed El Qadri yang menjadi sekjen Ikatan Alumni ASDRAFI sekaligus pengamat seni rupa, menyaksikan lukisan Jeddink sama saja menenggelamkan diri dalam energi ekpresinya.
“Terselip sebuah fragmen (subjek matter) kronologis sejarah tubuh berbicara, terpapar pada dunia hamparan kanvas ,” kata Mahmoed.
Dalam lukisan yang dipamerkan, scene fragmen atas potret dan figur berkelindan, bermunculan dari rahim sepi, dari kesenyapan hiruk pikuk pasar kehidupan. Jauh dari transaksi barang, jasa, politik, harga diri manusia juga agama (pun Tuhan).
Dijelaskan Mahmoed bahwa memulai suatu karya tidak begitu saja terjadi. Proses dari gagasan yang menyergap benak harus segera diwujudkan dari pemikiran estetik. Tak sekadar terlena dalam kenikmatan artistik, atau romantisme ekspresi yang mencandu kebutuhan dorongan pelepas kegelisahan saja.
“Karena proses berkarya bukan otoritas ide dan teknik saja. Membaca teks dan subyek sisi kemanusiaan sering terabaikan,” katanya.
Persoalan laten kemanusiaan menjadi tanggung jawab bersama dan makin kompleks terpapar, bergerak di semua sendi. Lalu bersenyawa dengan ragam jenis wajah apapun.
“Saya melihat, sisi figur kemanusiaan ini menarik perhatian Jedink dan wajar jika sikap tersebut lalu menjadi pilihan dan tak sekadar bermain dan bermanja pada obyek dan subyek saja. Tapi meng-ada dalam pusaran dunia intuisi estetikanya,” kata Mahmoed, yang juga alumni ASDRAFI.
Simak video Pameran Jeddink selengkapnya
Imajinasi Jeddink
Sebagai seniman Jeddink menyadari bahwa membaca manusia adalah mengeja kemanusiaan di satu sisi. Kesadaran melawan sihir invasi modernitas yang semakin mengecilkan posisi manusia.
Karya Jeddink tak sekadar teknis menggambar. Lukisan Jedink dengan obyek potret membutuhkan kecermatan membaca karakter tokoh. Sebuah kerja karya yang spontan dan personal. Ekspesi murni yang lahir dari jiwa dan pemikiran yang merdeka.
“Memang karya figuratif Jedink yang menggunakan persepsi potret tokoh tentu melibatkan proses sejarah tersendiri. Jika ini sebuah pilihan, tentu melahirkan tanya dan jawabannya tentang ragam fragmen karakter tokoh yang menarik pemikirannya. Satu dunia yang sedang ia bayangkan dan ia masuki sebagai potongan sejarah yang parsial dalam benaknya,” kata Mahmoed.
Karya seni tak bisa lepas dari perspektif senimannya. Jedink mempunyai cara pandang hidup yang berumah pada realitas dan imajinasi sublim yang samar. Antara batas ada dan ketakpastian yang akhirnya mengikat kegamangan dalam melihat idealitas, yang sedang ia bayangkan.
Jedink tidak sekadar menggambar, ia lagi melukiskan cara pandang hidupnya di kanvas yang berantai dan berkelanjutan melampaui hari-harinya.
“Benar kiranya, Jeddink menuangkan gagasannya lewat goresan yang diidealisasikan seperti cara pandangnnya terhadap seni,” tambah Mahmoed.
Advertisement
Jeddink Adalah Karya Itu Sendiri
Lalu apa yang menyebabkan itu semua terjadi?
Tentu karena ada filosofi besar dalam hidup dan kemampuan menyikapi sebagai seorang seniman. Jedink lebih memilih istilah menggambar dunia tokoh dalam potret dengan kanvas kehidupan sang tokoh yang dia temukan dalam benaknya
Apakah ketika narasi dunia seni rupa sudah menjadi ekslusif dan elitis dan tampilan yang besar besar dengan menunjukkan kemegahan estetika. Jedink seperti menjaga kesederhanaan dengan menjaga intensitas kreativitasnya dalam dunia fragmen.
“Jeddink adalah sosok karya itu sendiri yang terpapar dalam frame-frame kehidupan. Goresan warna hidupnya memenuhi mata dan jiwanya adalah roh yang mempertegas keberadaan dirinya di lintasan waktu yang terus bergerak meningalkan jejak tanda,” kata Mahmoed.
Jeddink sendiri menjelaskan bahwa karya-karyanya ini dihasilkan selama masa pandemi. Ini membuktyikan bahwa penetapan pandemi bisa diubah menjadi energi luar biasa.
"Saya sangat mengagumi Sri Sultan yang sukses mengendalikan covid-19. Maka salah satu karya favorit saya adalah lukisan Sri Sultan," kata Jeddink.
ASDRAFI sendiri adalah perguruan tinggi seni yang legendaris. Tokoh-tokoh besar kesenian seperti WS Rendra, Putu Wijaya, Teguh Karya, Jemek Sapardi semua pernah bersinggungan dengan kampus yang saat itu menjadi satu dengan garasi bus kota.Yani Saptohoedojo salam sambutan saat membuka pameran mengakui hal ini.
"Dari tempat ini lahir manusia-manusia yang sejati. Seniman-seniman besar banyak dilahirkan dari tempat ini," kata Yani.
Dari kampus sederhana dan tua itu, kini para alumninya tersebar berkarya untuk negeri. Ada yang tersesat menjadi ASN, Guru, Pengusaha, Seniman bahkan peternak dan petani. Tak sedikit pula yang menapak jalur sebagai pedagang angkringan hingga pemilik cafe besar.
Satu yang menyatukan mereka, menjadi magma kesenian dalam kehidupan di lingkungannya.