Liputan6.com, Bangkalan - Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) terus menuai banyak protes. Protes terbaru datang dari Komisi VIII DPR karena dalam salah satu pasalnya mencantumkan perihal izin pendirian pondok pesantren harus berupa perizinan berusaha yang dikeluarkan pemerintah pusat.
Baca Juga
Advertisement
Bila tak memenuhi syarat yang termaktub dalam pasal 68 ayat 5 RUU Cipta Kerja, ayat 10 di pasal yang sama mencantumkan sanksi pidana hingga Rp1 miliar bagi pendiri pesantren.
Anggota Komisi VIII, Hasani Bin Zuber menilai sanksi pidana untuk sebuah pelanggaran administratif sebagai sesuatu yang janggal karena mestinya pelanggaran administrasi sanksinya berupa sanksi administratif pula.
Politikus Demokrat ini juga melihat syarat pendirian pesantren dalam Omnibus Law, bertentangan dengan Undang-undang Pondok Pesantren yang telah disahkan pada 2019 silam.
Dalam pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Pesantren hanya menyaratkan pesantren yang telah memenuhi syarat berupa adanya kiai, santri, asrama, musala, atau masjid dan kelas, cukup mengajukan izin terdaftar dari menteri terkait.
"Saya melihat ada potensi tumpang tindih peraturan," ujar dia kepada Liputan6.com saat ditemui di Kabupaten Bangkalan, Senin (31/8/2020).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Perlu Dikaji Ulang
Selain dua hal itu, Hasani juga menilai kurang tepat bila perizinan pendirian pesantren masuk dalam RUU Cipta Kerja.
Karena sejak awal tujuan utama Omnibus Law dirancang hendak menyederhanakan lebih dari 70 undang-undang karena dianggap menghambat investasi.
Sementara menurut Hasani, pondok pesantren bukanlah lembaga berorientasi profit sehingga mestinya tidak termasuk dalam kategori yang harus mengantongi perizinan berusaha.
"Saya kira, aturan tentang pesantren dalam Omnibus Law perlu dikaji ulang, agar tak menjadi masalah di kemudian hari," ungkap aktivis muda Nahdlatul Ulama ini.
Advertisement