Sukses

Sanksi untuk Pengusaha yang Tutup Tempat Ritual Adat 7 Suku Desa Tana Duen Sikka

Tempat ritual adat 7 suku desa Tana Duen, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, ditutup dengan urukan tanha oleh Charles seorang pengusaha

Liputan6.com, Sikka - Tempat ritual adat tujuh suku Desa Tana Duen, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, ditutup dengan urukan tanah oleh Charles seorang pengusaha tersebut, Sabtu (5/9/2020).

Penutupan tempat ritual itu memicu kemarahan warga. Warga Bolawolon, Desa Tana menggelar aksi protes terhadap pengusaha itu dan meminta untuk segera membongkar tanggul pengaman abrasi yang dibangun di Bolawolon RT15/006.

Di dalam tanggul pengaman abrasi ini berdiri sebuah pohon asam dengan sebuah batu besar yang menurut tokoh adat Desa Tana Duen, merupakan tempat penyembahan leluhur. Di tempat itu, warga biasa memberikan makan leluhur untuk meminta hujan.

Ketua Lepo Adat dari Lepo Tana Puan, Silifester Felix mengatakan, sebagai tua adat dan masyarakat Desa Tana Duen ia merasa kecewa dengan perbuatan pengusaha yang sengaja menutup tempat batu penyembahan.

"Batu ini sakral. Kami biasa lakukan ritual adat di tempat ini,” ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (6/9/2020).

Ia mengatakan, penutupan tempat ritual adat ini sudah diketahui warga pada Minggu (30/9/2020). Warga pun sudah berupaya melalui telepon untuk membicarakan hal pembongkaran, namun tidak diindahkan.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Tanah Milik Leluhur

"Tanah ini punya leluhur Tana Duen yang mewariskan kepada siapa saja yang berdomisili di Tana Duen. Ini tanah ulayat. Kalau secara pemerintahan, memang milik negara, tetapi secara adat ini milik warga," dia menegaskan.

Setelah melalui negoisasi, tokoh adat Desa Tana Duen meminta pengusaha untuk segara membongkar tanggul pengaman. Warga pun meminta sang pengusaha, Charles membayar sanksi adat.

Sementara itu, Charles berdalih kalau tempat ini bukan ditutup tetapi untuk mencegah terjadinya abrasi.

“Saya mau benahi supaya jadi baik,” kata Charles.

Dia mengaku tidak tahu jika di belakang gedung itu adalah tempat sakral yang dijadikan tempat seremoni adat.

"Tidak ada niat atau ada unsur kesengajaan," ucap Charles.

Meski demikian, ia pun langsung meminta para pekerja langsung membongkar tumpukan batu yang telah menutup batu sakral. Setelah selesai membongkar, tokoh adat pun melakukan ritual adat dengan memberi makan leluhur di lokasi itu.