Sukses

Ahli Pidana Sebut Hasil Bisnis Bupati Bengkalis Bukan Gratifikasi, Mengapa?

Ahli pidana Universitas Riau, Erdiansyah, memberi keterangan untuk Bupati Bengkalis non-aktif Amril Mukminin di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Liputan6.com, Pekanbaru - Ahli pidana Universitas Riau, Erdiansyah, memberi keterangan dalam sidang Bupati Bengkalis non aktif Amril Mukminin di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Erdiansyah dihadirkan oleh kuasa hukum Amril, Asep Ruhiyat dan rekannya.

Erdiansyah dicecar pertanyaan terkait apakah itu suap, gratifikasi hingga pasal-pasal dalam Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Beberapa pertanyaan mengarah ke dugaan suap Rp5,2 miliar terkait proyek Jalan Duri-Sei Pakning Bengkalis. Uang ini beberapa waktu lalu sudah dikembalikan Amril Mukminin ke negara melalui penyidik KPK.

Menurut Erdiansyah, suap merupakan niat jahat seseorang terkait jabatan seseorang. Jika diringi niat baik, salah satunya dengan mengembalikan uang hasil tindak pidana, berarti tidak ada kerugian negara.

"Namun dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," kata Erdiansyah kepada majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina SH, Kamis siang, 10 September 2020.

Amril juga didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima gratifikasi terkait jabatannya sebagai anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014 -2019 dan Bupati Bengkalis 2016-2021.

Gratifikasi ini berasal dari pengusaha sawit Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755. Uang itu ada yang ditransfer atau diserahkan tunai.

Selama sidang berlangsung, Asep dan pengacara Amril Mukminin lainnya bertanya soal gratifikasi kepada Erdiansyah. Terutama terkait seorang yang menjalankan bisnis dengan pengusaha sebelum memangku jabatan sebagai kepala daerah.

Menurut Erdiansyah, selama perjanjian itu tidak menggunakan kekuasaan melekat tidak termasuk perbuatan pidana. Erdiansyah berpendapat itu merupakan ranah privat antara dua pihak.

Apalagi perjanjian itu, tambah Erdiansyah, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.

"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, sepanjang tidak menggunakan kekuasaan," kata Erdiansyah.

 

Simak video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Sering Laporkan Kekayaan

Erdiansyah menjelaskan, perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara).

LHKPN harus memuat dari mana sumber pendapatan dan ada item-item yang disebutkan detail, baik itu yang ditransfer ataupun diterima secara tunai.

Erdiansyah juga ditanyai terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp10 per kilogram. Usaha ini pernah dilakoni Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis.

Kata Erdiansyah, itu tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian di bawah akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima.

"Kalau setelah menjabat (bupati) hubungan privat masih berjalan itu tidak masuk gratifikasi," sebut Erdiansyah.

Terkait LHKPN ini, Amril melalui pengacaranya memperlihatkan bukti laporan ke majelis hakim. Begitu juga dengan bukti perjanjian kerjasama Amril Mukminin dengan pengusaha sawit.

Selain Erdiansyah juga dihadirkan ahli pidana lainnya, Dr Zulkarnaen. Dosen dari Universitas Islam Riau ini juga ditanyai pendapatnya soal suap dan gratifikasi.

Zulkarnaen juga menyebut jika beberapa poin perkara tidak bisa dibuktikan dalam persidangan, maka dakwaan bisa batal demi hukum. Konsekuensinya terdakwa harus dibebaskan.