Liputan6.com, Banjarnegara - Keputusan mentato tubuh bukan hal mudah bagi Hoho, panggilan akrab Welas Yuni Nugroho, Kepala Desa Purwasaba Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Maklum, latar belakang keluarganya terbilang religius dan terpandang.
Hoho pertama kali tato tubuh saat duduk di bangku SMA. Dia terinspirasi dari film-film laga yang ia tonton.
Ia melihat bagaimana heroiknya gangster-gangster bertato berkelahi membela kawanya yang dianiaya. Di sisi lain, ia tinggal di lingkungan yang kental nuansa premanismenya.
Advertisement
Setelah mentato gambar kecil di dadanya, ia habis-habisan menyembunyikan dari orangtuanya. Namun orangtuanya akhirnya tahu setahun kemudian.
Baca Juga
Hoho bersikeras mengelak. Ia mengatakan tato itu terbuat dari spidol. Namun setelah digosok dengan bensin tato itu tidak hilang.
Ibu dan ayahnya marah besar. Mereka meminta agar tato itu dihapus, bagaimanapun caranya.
"Namanya anak-anak ya waktu itu saya takut banget," ujar dia.
Orangtuanya sempat berencana membawa Hoho ke rumah sakit untuk menghapus tato dengan laser. Namun mereka mengurungkan rencana itu.
Hoho berhasil meyakinkan orangtuanya bahwa penggunaan laser bisa berakibat fatal. Ia menunjukkan contoh kegagalan metode laser menyebabkan luka bakar yang bisa membuat cacat.
Meskipun ditentang keras kedua orangtuanya, Hoho tak jera. Semakin besar Hoho semakin tertarik mentato tubuhnya.
Keinginan mentato tak pernah surut. Ia mengaku keinginan tato tubuh seperti candu yang tak mengenal kata puas. Meskipun tato sudah memenuhi tubuhnya, keinginan mentato tetap ada.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Tato Terakhir
Ia menemukan titik balik ketika ia mengemban posisi kepala desa. Ia merenungkan nasihat almarhum ayahnya yang meninggal dunia ketika berhaji. Selain itu keluarga juga tak berhenti mengingatkannya agar mengubah diri.
Ia mulai gemar menyimak tausyiah para ustaz dan kiai. Suatu ketika, ia menyimak tausyiah dari Gus Miftah yang menyampaikan tobatnya orang yang bertato adalah ketika ia berhenti menambah tato di tubuhnya.
Sejak saat itu, ia memutuskan tidak menambah tato meskipun godaan terus datang. Ia kerap ditawari ditato dan disodori gambar-gambar yang menjadi favoritnya.
Sebagian besar tatonya bertema oriental. Paling banyak ia menato tubuhnya dengan gambar sosok Geisha. Gambar lain misalnya pagoda. Ia mengenal Geisha dari film yang ia tonton. Setelah menonton film itu, ia tertarik untuk mentato gambar Geisya.
Tato terakhirnya pun gambar Geisha di pergelangan tangan kanannya. Semula tatonya hanya sampai lengan sehingga bisa tertutup ketika memakai baju lengan panjang.
Namun tato terakhir digambar di dari lengan bawah hingga ke pergelangan tangan sehingga bisa tetap terlihat meskipun memakai baju lengan panjang. Gara-gara tato ini, kakak tertuanya memarahinya habis-habisan.
Meskipun bukan anak-anak lagi, namun kakaknya tetap memperlakukan Hoho seperti anak-anak. Hal ini tak lepas dari amanat orangtua agar menjaga Hoho.
"Katanya sudah tua, sudah punya anak, kalau bertato ya yang tidak kelihatan,"Â dia menuturkan.
Sementara, dua anak Hoho sejauh ini tidak ada yang mengikuti kegemaran Hoho mentato tubuh. Ia sempat menguji anaknya dengan menawarkan ditato, namun anaknya menolak.
"Katanya kalau ditato susah dapat kerja," kata Hoho menirukan jawaban anaknya.
Advertisement
Kisah Anjing Belgian Malinois dan 3 Maling
Hoho memiliki hewan peliharaan yang tak biasa di kampungnya. Ia memelihara anjing.
Dibanding dengan tato, memelihara anjing justru lebih kontroversial, terutama ketika mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Kompetitornya menggunakan isu anjing untuk menumbuhkan antipati terhadapnya. Di desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memelihara anjing menjadi sesuatu yang tidak biasa.
Namun ia tak menanggapi hal itu. Selain sebagai kesenangan, anjing peliharaannya juga digunakan untuk menjaga rumah maupun gudang material miliknya.
Ia memelihara anjing jenis Belgian Malinois. Anjing jenis ini terbilang anjing mahal karena kecerdikan dan kesetiaannya. Selain itu, anjing jenis ini juga tak mengenal takut.
Suatu ketika, satu di antara tiga rumahnya disambangi tiga orang tak dikenal diduga maling. Malam itu, rumah dalam kondisi kosong.
Ketika orang tak dikenal itu mengendap-endap masuk, anjingnya yang bernama Herkules tak ragu melawan tiga orang itu. Satu di antaranya bahkan terluka parah sampai dipapah dua kawannya saat kabur.
"Di CCTV kelihatan, anjingnya dipukul tapi tetap tidak melepas gigitannya," ucapnya.
Alasan Pelihara Anjing
Anjingnya juga kerap memenangkan kontes. Pialanya berjejer di lemari di rumahnya.
Beberapa anjingnya yang terlatih juga kerap dipinjam polisi sebagai bagian Satuan K9. Polisi menggunakan jasa anjing ini untuk berjaga saat acara-acara yang rentan terjadi kerusuhan.
Dari anjing-anjing koleksinya, ia juga bisa meraup puluhan juta rupiah. Dari hasil perkawinan dengan induk yang terlatih, seekor anak anjing bisa dibanderol Rp 10 juta. Sementara sekali melahirkan, anjingnya bisa melahirkan belasan ekor.
Ia tak terlalu merisaukan sebagian warga yang mempersoalkan kegemarannya. Ia meyakini bahwa dalam agama yang ia anut memelihara anjing diperbolehkan dengan alasan yang tepat.
Baik tato maupun anjing merupakan isu kontroversial jika dilihat secara sempit dari satu sudut pandang. Namun masyarakat Purwasaba menunjukkan mampu melepaskan diri dari jebakan stigma dan berlaku adil sejak dalam pikiran. Bahwa yang privat tak bisa dijadikan tolak ukur untuk yang publik. Begitupun sebaliknya.
Advertisement